Site icon TAJDID.ID

Angka Kasus Keracunan Program MBG Terus Meningkat, Ethics of Care: Bukan Sekadar Statistik, tapi Potret Kegagalan Sistemik

Farid Wajdi, Founder Ethics of Care.

TAJDID.ID~Jakarta || Hingga Oktober 2025, angka keracunan akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) terus meningkat tanpa kendali. Tiga lembaga pemerintah mencatat data berbeda, menunjukkan lemahnya koordinasi dan pengawasan program yang digadang-gadang untuk memperkuat gizi generasi muda tersebut.

Kementerian Kesehatan melalui aplikasi Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR) mencatat 11.660 kasus dari 119 kejadian di 25 provinsi per 5 Oktober. Sementara Badan Gizi Nasional melaporkan 70 insiden dengan 5.914 penerima manfaat terdampak sepanjang Januari hingga September. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga menemukan 17 persen sampel MBG positif bakteri, dengan 5.320 korban dari 55 kasus hingga 10 September.

Namun, angka yang disampaikan Kantor Staf Presiden (KSP) jauh lebih kecil—sekitar 5.000 kasus hingga akhir September. Sementara dari masyarakat sipil, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) melaporkan jumlah korban menembus 13.168 orang hingga 20 Oktober 2025.

“Angka ini bukan sekadar statistik, tetapi potret kegagalan sistemik,” tegas Farid Wajdi, Founder Ethics of Care, kepada wartawan, Kamis (30/10).

Menurut Farid, program yang semula dimaksudkan untuk memperkuat gizi generasi muda justru berubah menjadi sumber penyakit massal. Ia mencontohkan insiden di Lembang, Bandung Barat, di mana 124 siswa dan guru terkapar usai menyantap menu MBG, serta di Gunungkidul, tempat hampir 700 anak mengalami gejala serupa.

“Polanya selalu sama: makanan dikirim, siswa sakit, dapur ditutup sementara, lalu semuanya senyap tanpa evaluasi menyeluruh,” ujarnya.

Akar Masalah: Desain Kebijakan yang Rapuh

Farid menilai, akar persoalan MBG terletak pada desain kebijakan yang lemah. Ia menyebut anggaran per porsi terlalu kecil, sehingga tidak cukup menjamin bahan makanan segar dan pengolahan yang aman.

“Banyak dapur berdiri dadakan hanya demi memenuhi kontrak proyek. Peralatannya seadanya, tenaga masaknya minim pelatihan, dan kebersihannya sering hanya formalitas. Dalam kondisi seperti itu, risiko kontaminasi menjadi keniscayaan,” ujar Farid.

Selain itu, rantai distribusi yang panjang dan tanpa pendingin memperparah risiko keracunan. “Dalam suhu tropis, dua jam saja cukup bagi bakteri berkembang biak. Ketika ribuan sekolah diawasi dengan jumlah petugas terbatas, kelalaian kecil bisa menjadi bencana besar,” tambahnya.

Tumpulnya Penegakan Hukum

Hingga kini, belum satu pun pengelola dapur atau pemasok diproses hukum. Farid menilai, lemahnya penegakan hukum menunjukkan negara abai terhadap hak dasar warganya.

“Hak atas pangan aman dan bergizi adalah hak konstitusional. Pelanggaran terhadapnya adalah kegagalan negara melindungi rakyat. Tapi kompensasi bagi korban hanya sebatas pengobatan gratis. Tak ada restitusi, tak ada akuntabilitas,” katanya.

Ia juga menyoroti lambannya hasil laboratorium dan lemahnya tindak lanjut. “Hukum tampak tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Satgas dibentuk, korban dirawat, dapur ditutup sementara, lalu kasus menguap dari perhatian publik,” ujar Farid.

Usulan Solusi: Libatkan Kantin Sekolah

Untuk memperbaiki sistem, Farid mengusulkan pelibatan kantin sekolah sebagai pengelola utama program MBG. Menurutnya, model ini dapat mengurangi risiko kontaminasi karena proses distribusi lebih singkat dan lebih mudah diawasi oleh guru serta orang tua.

“Model kantin sekolah bisa menjadi titik balik. Di banyak negara, pendekatan ini berhasil karena berbasis pada transparansi, pelatihan tenaga, dan pengawasan tanpa kompromi,” jelas Farid.

Ia mencontohkan berbagai praktik baik dari negara lain:

Seruan Tanggung Jawab Negara

Farid menutup dengan seruan moral agar pemerintah tidak lagi abai terhadap keamanan pangan anak-anak.
“Setiap suapan seharusnya menghadirkan rasa aman. Kita punya ahli, aturan, dan sumber daya yang cukup. Yang kurang hanya satu: kemauan untuk bertanggung jawab,” pungkasnya.

Exit mobile version