TAJDID.ID~Lubuk Pakam || Akademisi dari FISIP UMSU, Shohibul Anshor Siregar, menilai bahwa integrasi antara Program Makan Bergizi (MBG) dan Program Jaminan Pekerjaan atau Job Guarantee (JG) adalah langkah strategis untuk memperkuat kemandirian ekonomi rakyat dan menegakkan keadilan sosial di Indonesia.
Hal itu ditegaskannya dalam dialog publik seputar Program Nasional Makan Bergizi Gratis yang diselenggarakan oleh aliansi kelompok mahasiswa Cipayung Plus di komplek perkantoran Pemkab Deliserdang, Selasa (28/10).
Menurutnya, kedua program ini tidak boleh dipandang sebagai kebijakan populis, tetapi sebagai kewajiban konstitusional negara dalam memenuhi hak dasar warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 34 UUD 1945.
“Negara tidak sedang memberi hadiah ketika menjamin rakyatnya makan dan bekerja. Itu kewajiban konstitusional. Kata gratis sebaiknya dihapus dari narasi pembangunan,” ujar Siregar saat dihubungi, Selasa (28/10).
Dari Bantuan Sosial Menuju Sistem Produktif
Siregar menilai kebijakan sosial selama ini terlalu menekankan aspek bantuan tunai tanpa membangun struktur ekonomi yang produktif dan berkelanjutan. Ia menyebut, program Makan Bergizi dapat menjadi pintu masuk pembenahan sistem pangan nasional, sementara Job Guarantee menjadi sarana memperluas lapangan kerja produktif.
“Keduanya saling terkait. Program Makan Bergizi menjamin kesehatan dan kualitas sumber daya manusia, sedangkan Job Guarantee menjamin partisipasi ekonomi rakyat secara merata,” jelasnya.
Siregar menambahkan bahwa kebijakan tersebut dapat menumbuhkan ekonomi rakyat dari bawah, menciptakan lapangan kerja di desa-desa, dan memperkuat rantai pasok pangan lokal.
Landasan Teori dan Prinsip Ekonomi
Dalam pandangannya, program MBG dan JG didukung oleh sejumlah teori ekonomi besar. Ia mengutip pemikiran John Maynard Keynes tentang efek pengganda (Keynesian multiplier), di mana belanja pemerintah yang diarahkan pada kebutuhan dasar rakyat dapat memperkuat pertumbuhan ekonomi nasional.
Selain itu, ia juga menyoroti konsep Modern Monetary Theory (MMT) yang dikembangkan oleh ekonom seperti Stephanie Kelton dan Randall Wray, yang menjelaskan bahwa negara berdaulat dengan kendali atas mata uangnya mampu membiayai program pekerjaan penuh (full employment) tanpa mengancam stabilitas fiskal selama sumber daya produktif tersedia.
“Selama ada tenaga kerja menganggur dan lahan tidak produktif, negara seharusnya tidak bicara defisit, tetapi bagaimana menciptakan nilai tambah sosial,” kata Siregar.
Ia juga mengaitkan pendekatan ini dengan pandangan Amartya Sen dalam Development as Freedom (1999), bahwa pembangunan sejati adalah perluasan kebebasan manusia untuk hidup layak dan bermartabat, bukan semata pertumbuhan ekonomi.
Krisis Gizi dan Pangan yang Mendesak
Menurut data Badan Pangan Nasional tahun 2024 yang dikutip Siregar, ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan pangan strategis masih tinggi, termasuk 100 persen gandum impor dan 30 persen daging sapi impor.
“Kita menghadapi paradoks gizi. Di satu sisi, masih banyak anak stunting dan kekurangan gizi, di sisi lain, konsumsi berlebihan dan obesitas meningkat. Semua itu menunjukkan ketimpangan sistem pangan nasional,” ujarnya.
Siregar menilai, masalah ini bukan semata soal produksi, melainkan juga distribusi dan tata kelola kebijakan pangan. Ia menyoroti politisasi bantuan sosial dan lemahnya pengawasan publik.
“Bantuan sering dijadikan alat elektoral. Kalau tidak ada mekanisme anti-politisasi, maka program bergizi pun akan kehilangan makna sosialnya,” tambahnya.
Desain Integrasi MBG dan JG
Siregar mengusulkan model kebijakan terpadu yang menggabungkan tiga elemen utama: integrasi simbolik, mekanisme anti-politisasi, dan peta jalan implementasi bertahap.
Pertama, integrasi simbolik: Koperasi dijadikan pengelola kolektif yang menghubungkan petani, UMKM, dan penerima manfaat.
Kedua, Anti-politisasi: Distribusi pangan dan dana publik berbasis sistem blockchain untuk menjamin transparansi dan mencegah korupsi.
Ketiga, tahapan implementasi:
- 2024–2025: percontohan di 50 kabupaten
- 2026–2027: perluasan ke 200 kabupaten
- 2028–2029: penerapan nasional
Dengan pola ini, setiap daerah bisa menyesuaikan dengan kapasitas fiskal dan kondisi sosialnya.
Job Guarantee Bukan Subsidi, Tapi Produktivitas Sosial
Menurut Siregar, Job Guarantee bukanlah bentuk subsidi, tetapi mekanisme produktif yang membuat negara menjadi “employer of last resort” — pemberi kerja terakhir bagi siapa pun yang menganggur.
“Setiap warga yang mau bekerja harus dijamin punya pekerjaan. Negara bisa memberi upah untuk kegiatan yang bernilai sosial tinggi seperti pertanian pangan lokal, pendidikan anak usia dini, dan konservasi lingkungan,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa uang publik dalam program semacam ini tidak hilang, melainkan berputar dalam ekonomi rakyat. Studi ILO (2023) menunjukkan bahwa setiap 1 persen peningkatan investasi pemerintah dalam proyek padat karya bisa menurunkan pengangguran hingga 0,3 persen dan meningkatkan pertumbuhan PDB sebesar 0,2 persen.
Belajar dari Negara Lain
Siregar juga menyinggung contoh internasional seperti Brasil dan India. Brasil berhasil menekan kemiskinan pedesaan lewat kebijakan pengadaan pangan 30 persen dari petani lokal, sementara India melalui National Rural Employment Guarantee Act (NREGA) memberikan hak pekerjaan legal minimal 100 hari per tahun bagi warga desa.
“Kunci keberhasilan mereka bukan besarnya anggaran, tapi sistem tata kelola dan keterlibatan masyarakat yang kuat,” tutur Siregar.
Pergeseran Paradigma Pembangunan
Siregar menegaskan bahwa Indonesia perlu bergeser dari paradigma lama berbasis bantuan menjadi sistem ekonomi yang menegakkan tanggung jawab sosial negara.
“Dari bantuan menuju kewajiban konstitusional, dari proyek jangka pendek menuju sistem berkelanjutan, dan dari politik elektoral menuju ekonomi rakyat,” katanya.
Menurutnya, pembangunan tidak boleh diukur dari seberapa banyak proyek dikerjakan, melainkan seberapa besar kebijakan mampu mengangkat martabat manusia dan menghapus ketimpangan struktural.
Menuju Ekonomi Rakyat Berdaulat
Siregar menutup pandangannya dengan menegaskan bahwa integrasi Program Makan Bergizi dan Job Guarantee merupakan langkah visioner yang dapat membangun ekonomi rakyat yang sehat, produktif, dan mandiri.
“Negara tidak boleh terus-menerus mengobati kemiskinan. Sudah saatnya menciptakan struktur ekonomi baru yang menumbuhkan martabat manusia,” ujar Siregar. (*)

