Site icon TAJDID.ID

Sampah Pemuda

Oleh: M. Risfan Sihaloho

Judul di atas bukan typo alias salah ketik. Bukan juga hasil autokoreksi yang kelewat iseng. Ia memang sengaja ditulis begitu: “Sampah Pemuda”. Sebuah satire yang menyayat nalar, tapi sayangnya juga potret yang makin akurat dari keadaan hari ini.

Dulu, “pemuda” adalah kata sakral—mengandung semangat perubahan, idealisme, keberanian melawan ketidakadilan, dan cita-cita besar tentang Indonesia yang merdeka. Pemuda dulu berani melawan penjajahan, berdebat tentang ide bangsa di ruang sempit asrama, menulis dengan darah dan keringat, bahkan rela dipenjara demi kebenaran.

Kini, kata itu kehilangan maknanya. Pemuda hari ini bukan lagi pelopor perubahan, tapi pelaku konten. Bukan lagi pembawa obor perjuangan, tapi pemburu followers dan algoritma. Bukan lagi penggerak bangsa, tapi penggembira di TikTok.

Kalau pemuda 1928 melahirkan “Sumpah Pemuda”, maka sebagian besar pemuda hari ini hanya mewarisi “sampah pemuda: sampah moral, sampah etika, sampah karakter. Mereka lebih sibuk menata feed Instagram ketimbang menata pikiran. Lebih peduli vibe ketimbang value. Mereka punya kuota internet, tapi tak punya kuota akal sehat.

Ya. Mari kita jujur. Sepertinya semangat Sumpah Pemuda 1928 itu kini tinggal kenangan dan potongan soal ujian sejarah di sekolah.

Dulu para pemuda berkumpul di kongres untuk menyatukan bangsa. Sekarang para pemuda berkumpul di kafe untuk menyatukan WiFi dan charger.

Di jalanan, banyak yang menjadikan tawuran sebagai ajang unjuk eksistensi.

Di kampus, ada yang lebih fasih menyontek ketimbang membaca.

Di pemerintahan, anak muda malah berebut kursi, bukan ide.

Dan di ruang digital, mereka saling menghujat demi validasi virtual.

Bangsa ini dulu dibangun dari semangat kaum muda yang berpikir jauh ke depan, bukan generasi yang sibuk dengan healing karena gagal move on.

Bayangkan jika pemuda-pemuda yang memprakarsai Sumpah Pemuda 1928 itu hidup di zaman ini — mungkin mereka akan lebih memilih mematikan ponsel daripada melihat betapa muramnya arah “pemuda penerus bangsa”.

Kini, istilah “pemuda” seolah hanya gelar usia, bukan gelora jiwa.

Kita punya banyak anak muda, tapi sedikit yang benar-benar muda.

Kita punya banyak yang berteriak “nasionalis!”, tapi lebih banyak yang sibuk menjadi buzzer politik, bangga jadi relawan atau “ternak politik”.

Kita punya festival kepemudaan, seminar motivasi, dan lomba pidato bertema “pemuda inspiratif” — tapi semua itu hanya jadi panggung narsisisme, bukan ruang refleksi.

Sungguh ironis, dulu pemuda bersumpah untuk menyatukan bangsa, kini sebagian pemuda justru memecahbelahnya lewat komentar, hoaks, dan konten receh.

Dulu pemuda rela dipenjara karena melawan penjajah, sekarang pemuda rela ditangkap demi konten prank.

Kalau nukilan Sumpah Pemuda 1928 dulu isinya: “Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu…”

Maka versi 2025 mungkin begini: “Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah — kalau lagi donor, biar dapet sertifikat dan upload di story.”

Bangsa ini dulu punya pemuda yang menulis manifesto dan pamflet perlawanan.

Sekarang? Pemuda menulis caption galau dengan tagar #selflove dan #healingislife.

Jangan salah, mereka tetap punya idealisme, tapi terbatas pada feed aesthetic.

Mereka punya semangat juang, tapi cuma buat rebutan kursi di co-working space.

Mereka punya nasionalisme, tapi hanya kalau timnas menang, itu pun sebentar, sampai sinyal buffering.

Yang lebih tragis: ada pemuda yang bangga disebut “generasi micin”, seolah kebodohan sudah jadi gaya hidup. Ada juga yang bilang “gue tuh anaknya slow”, padahal cuma malas.

Dan yang paling heroik, ada yang berani bersumpah setia kepada bangsa… selama dapat endorse dan viewer di atas seratus ribu.

Lihat saja linimasa kita: isinya perang komentar, adu receh, dan lomba siapa paling sensitif. Dulu pemuda bersatu karena bangsa, sekarang terpecah karena idol K-pop, klub bola favorit dan capres pilihan.

Ironi? Tentu. Tapi inilah kenyataan.
Kaum muda dulu mengangkat bambu runcing; kaum muda sekarang mengangkat ring light.

Dulu menulis “Kami bangsa yang satu”, sekarang mengetik “First comment, guys!”.

Tentu tak semua begitu. Masih ada pemuda yang berpikir, membaca, dan bergerak. Tapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari, dan sisanya sedang sibuk bikin konten unboxing kesadaran.

Jadi, selamat Hari Sumpah Pemuda — atau lebih tepatnya “Selamat Hari Sampah Pemuda”.

Mari kita rayakan dengan selfie di cermin sejarah, sambil menuliskan caption: “Dulu para Pahlawan sudah berjuang, kini giliran kita rebahan.” (*)

Exit mobile version