TAJDID.ID~Medan || Founder Ethics of Care, Farid Wajdi, menyoroti tajam kondisi tata kelola pemerintahan Kota Medan yang dinilainya mengalami kemunduran serius, baik secara moral maupun administratif. Ia menilai, di balik persoalan klasik seperti jalan rusak, drainase tersumbat, dan sampah menumpuk, sesungguhnya tersimpan krisis kepemimpinan yang akut.
“Kota Medan hari ini bukan hanya menghadapi jalan berlubang dan drainase buruk, tetapi krisis moral dalam kepemimpinan,” tegas Farid kepada tajdid.id, Ahad (26/10/2025).
Menurutnya, berbagai kawasan seperti Medan Tembung, Mabar Hilir, hingga Marelan telah lama hidup dalam rutinitas genangan air dan tumpukan sampah. Namun yang lebih menyedihkan, kata Farid, pemerintah kota tampak lebih sibuk dengan pencitraan ketimbang kerja nyata.
“Drainase tersumbat adalah simbol tersumbatnya nurani birokrasi. Sampah yang dibiarkan menumpuk itu cermin dari kepemimpinan yang lebih suka menimbun masalah ketimbang menuntaskannya,” ujar Farid.
Ia menegaskan, setiap lubang jalan dan setiap meter kubik sampah sejatinya dibayar dengan uang pajak rakyat. Karena itu, kegagalan pemerintah kota dalam menyediakan pelayanan publik yang layak merupakan bentuk pengingkaran terhadap kontrak sosial antara rakyat dan negara.
“Ketika infrastruktur runtuh dan lingkungan kotor, yang hancur bukan hanya fisik kota, tetapi juga kepercayaan publik. Itu pelanggaran kontrak sosial antara warga dan pemerintahnya,” ungkap Farid.
Autopilot Birokrasi dan Kehilangan Arah
Farid menilai Wali Kota Medan seharusnya menjadi nakhoda yang menavigasi kota keluar dari kemacetan kebijakan dan banjir ketidakpedulian. Namun, yang terlihat justru kepemimpinan yang kehilangan arah dan rasa urgensi.
“Pemerintah kota hari ini lebih sibuk memoles citra dan memburu pujian digital ketimbang membangun sistem pengelolaan yang efisien dan berkeadilan. Ia hadir di spanduk dan baliho, tapi absen di parit dan pemukiman warga yang terendam,” katanya sinis.
Lebih jauh, Farid menilai kepemimpinan tanpa empati bukan hanya lemah, tetapi juga berbahaya. Karena, menurutnya, ketika pemimpin mulai menganggap keluhan publik sebagai gangguan, maka kota telah kehilangan rohnya.
“Medan sekarang berjalan dengan autopilot birokrasi yang tak peduli arah. Pemerintahan berubah jadi ritual administratif tanpa jiwa pelayanan,” tambahnya.
Legislatif yang Hilang Nurani
Farid juga menyinggung peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Medan yang dinilainya gagal menjalankan fungsi pengawasan. Menurutnya, lembaga legislatif justru ikut larut dalam kenyamanan politik transaksional.
“DPRD mestinya menjadi corong aspirasi rakyat, tapi kini hanya menjadi gema hampa yang memantulkan kepentingan jangka pendek. Tali mandat antara rakyat dan wakilnya telah putus di tengah jalan,” ucap Farid.
Ia menilai kondisi ini memperparah krisis tata kelola karena rakyat kehilangan representasi politik yang sejati.
Rakyat Harus Melawan Secara Moral dan Politik
Farid menyerukan agar warga Medan tidak diam. Ia menegaskan bahwa pajak yang dibayarkan warga bukanlah bentuk sedekah, tetapi kontrak sosial yang wajib dikembalikan dalam bentuk pelayanan publik yang layak.
“Warga Medan harus sadar, hak mereka bukanlah belas kasihan pejabat, tapi kewajiban negara. Pajak adalah bentuk kepercayaan, dan ketika kepercayaan itu dikhianati, rakyat berhak menggugat secara moral, politik, bahkan hukum,” katanya.
Farid mendorong masyarakat untuk mulai menuntut transparansi penggunaan pajak, meminta audit terbuka terhadap proyek-proyek infrastruktur, dan menolak setiap pembenaran yang menutup-nutupi ketidakmampuan birokrasi.
“Kota ini tidak rusak karena kurang dana, tapi karena kepemimpinan yang kehilangan malu dan legislatif yang kehilangan nurani. Saat pejabat menganggap uang publik sebagai milik pribadi, maka perlawanan moral warga adalah satu-satunya cara untuk merebut kembali hak atas kota yang layak dihuni,” tegasnya.
Farid menutup dengan peringatan keras bahwa masa depan Medan tidak akan berubah oleh pidato atau spanduk pencitraan, melainkan oleh tekanan publik yang konsisten.
“Medan tidak kekurangan uang. Yang hilang adalah keberanian untuk bertanggung jawab,” pungkasnya. (*)

