Site icon TAJDID.ID

Ethics of Care Serukan Moratorium Program MBG: Audit secara Total!

Foto ilustratif by AI.

TAJDID.ID~Medan || Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang semestinya menjadi simbol kepedulian terhadap generasi muda kini menuai sorotan tajam. Berbagai kasus keracunan massal dilaporkan terjadi di sejumlah daerah, mulai dari Kupang, Lampung, Sleman, hingga Laguboti. Alih-alih menyehatkan, program ini justru meninggalkan jejak ironi: anak-anak berakhir di Instalasi Gawat Darurat (IGD).

Puluhan ibu rumah tangga bersama koalisi warga turun ke jalan di depan kantor Badan Gizi Nasional (BGN) untuk menuntut penghentian sementara program MBG. Mereka menegaskan aksi ini bukan penolakan terhadap gizi, melainkan jeritan agar pemerintah memperbaiki sistem penyelenggaraan yang dianggap tergesa-gesa dan tanpa pengawasan layak.

“Ini soal akal sehat. Anak-anak jangan dijadikan kelinci percobaan dari proyek populis. Hentikan sejenak, perbaiki, baru lanjutkan,” ujar salah satu peserta aksi.

Founder Ethics of Care, Farid Wajdi, menilai pemerintah keliru jika menanggapi kasus keracunan dengan logika persentase. Menurutnya, penyataan bahwa korban hanya “sebagian kecil dari jutaan penerima manfaat” adalah bentuk kelalaian berbungkus statistik.

“Dalam urusan nyawa, tidak ada yang namanya margin error. Satu anak yang keracunan saja sudah tragedi, bukan sekadar angka,” tegas Farid, Rabu (15/10).

Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 ini mengkritik lemahnya standar keamanan pangan dalam program MBG. Di lapangan, dapur penyedia makanan beroperasi layaknya “pabrik darurat”. Ibu rumah tangga yang terbiasa memasak untuk 10 orang harus menyiapkan hingga 3.000 porsi. Tanpa sistem Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP), tanpa rantai dingin, dan minim higienitas.

“Dengan anggaran Rp15 ribu per porsi, jangankan menjamin penyimpanan yang benar, membeli lauk yang layak saja tidak cukup. Negara menuntut gizi tinggi dengan biaya rendah. Hasilnya, risiko tinggi dan anak-anak jadi korban,” jelasnya.

Farid juga menyoroti indikasi adanya tekanan agar pihak sekolah menutupi kasus keracunan. Jika benar, menurutnya, hal itu tidak hanya maladministrasi, tetapi juga pelanggaran moral.

“Itu artinya negara lebih menjaga citra ketimbang nyawa rakyatnya. Di sinilah protes publik menjadi wajar, bahkan perlu,” katanya.

Farid menegaskan, kegagalan MBG bukan hanya soal teknis dapur, melainkan kesalahan desain kebijakan. Ia merekomendasikan moratorium selektif disertai audit independen nasional untuk mengevaluasi program.

“Perlu dibongkar dari akarnya. Naikkan alokasi biaya per porsi agar realistis, wajibkan sertifikasi dapur penyedia, dan buka seluruh laporan audit ke publik. Kalau tidak, MBG hanya akan jadi singkatan baru: Makan, Berisiko, Gawat,” ucap Farid.

Ketua Majelis Hukum dan HAM PW Muhammadiyah Sumut ini menutup dengan peringatan bahwa keselamatan anak-anak tidak boleh dikorbankan demi kepentingan citra politik.

“Kalau pemerintah benar ingin menyehatkan bangsa, maka yang pertama harus disehatkan adalah niatnya: keselamatan di atas citra, kejujuran di atas propaganda, akuntabilitas di atas ambisi. Sebab dalam soal gizi anak, kegagalan sekecil apa pun bukan sekadar kesalahan teknis—itu dosa kebijakan,” pungkas Farid. (*)

Exit mobile version