TAJDID.ID~Medan || Founder Ethics of Care, Farid Wajdi, menilai pemerintah belum benar-benar belajar dari sejarah panjang proyek mercusuar pendidikan di Indonesia. Ia menyoroti kebijakan pembangunan Sekolah Garuda—sekolah model berbiaya hingga Rp200 miliar per unit—yang dinilai hanya mempercantik wajah pendidikan tanpa menyentuh persoalan mendasar.
Menurut Farid, langkah pemerintah yang bersemangat membangun sekolah unggulan di berbagai daerah menunjukkan salah urus prioritas anggaran pendidikan.
“Masih banyak sekolah dasar yang atapnya bocor, laboratorium rusak, dan guru yang harus membeli spidol dengan uang sendiri. Di tengah kondisi itu, pemerintah justru membangun sekolah baru yang megah dengan dalih melahirkan ‘talenta masa depan’. Ini bukan visi pendidikan, ini salah urus arah,” ujar Farid di Medan, Ahad (12/10/2025).
Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 ini menegaskan, ketika anggaran pendidikan masih terbatas, keputusan membangun sekolah baru dengan biaya besar justru menunjukkan kaburnya orientasi kebijakan publik.
“Bukankah lebih rasional bila dana ratusan miliar itu digunakan memperkuat sekolah yang sudah ada—yang kondisinya nyata, menjerit, dan jauh dari kata layak?” tambahnya.
Farid juga mengingatkan bahwa program Sekolah Garuda dan Sekolah Rakyat yang kini menimbulkan polemik luas berpotensi menciptakan sistem pendidikan dua jalur (dual-track system): antara sekolah elitis dan sekolah biasa.
“Anak-anak di Sekolah Garuda akan menikmati fasilitas lengkap, sementara jutaan siswa lain tetap bergulat di ruang kelas pengap dengan bangku reyot. Ini bukan sekadar soal keadilan anggaran, tapi juga filosofi dasar: untuk siapa pendidikan nasional dibangun?” tegasnya.
Lebih jauh, Ketua Majelis Hukum & HAM PW Muhammadiyah Sumut ini menyebut pemerintah terjebak dalam obsesi infrastruktur, seolah kemajuan pendidikan bisa diukur dari megahnya bangunan.
“Gedung megah tanpa guru berkualitas hanyalah monumen diam. Pendidikan bukan pameran kemewahan, tapi proses membangun manusia dari bawah,” ujarnya.
Ia juga menilai, tanpa desain sistemik yang menjamin transfer praktik baik dari Sekolah Garuda ke sekolah lain, proyek tersebut hanya akan menjadi etalase kebijakan.
“Kalau memang Sekolah Garuda dimaksudkan sebagai model, mestinya ada mekanisme pembinaan guru, perbaikan kurikulum, dan pendampingan berkelanjutan. Kalau tidak, ini hanya proyek cantik di atas kertas—indah dilihat, tapi miskin dampak,” jelas Farid.
Farid menutup dengan menegaskan bahwa esensi pembangunan pendidikan adalah pemerataan kualitas dan perhatian yang konsisten.
“Ribuan sekolah rakyat hanya butuh sanitasi layak, internet, dan buku yang mutakhir. Di situlah letak keadilan pendidikan. Sebelum menambah deretan sekolah unggulan, benahi dulu fondasi sistem yang timpang. Kalau tidak, Sekolah Garuda hanya akan menjadi simbol paradoks—megah dari luar, tapi kosong dari jiwa kemanusiaan,” pungkasnya. (*)