Site icon TAJDID.ID

Ericktoral

Oleh: M. Risfan Sihaloho

Mimpi Timnas Indonesia tampil di Piala Dunia 2026 akhirnya kandas.
Gol semata wayang dari Iraq seolah menjadi peluit panjang yang membangunkan kita dari mimpi panjang penuh euforia dan harapan. Skor 0-1 yang sederhana, tapi getirnya luar biasa.

Seperti biasa, begitu peluit akhir berbunyi, bangsa ini berubah menjadi 270 juta pelatih dan komentator. Mulai dari menyalahkan wasit, menuding pemain yang “kurang greget”, hingga menyumpahi pelatih dan tentu—PSSI, rumah besar semua drama sepak bola kita.

Tapi mari kita jujur: kali ini bubur sudah jadi terlalu asin karena dimasak oleh tangan politik. Dan di dapur itu, sang koki utama bernama Erick Thohir.

Erick Thohir bukan orang sembarangan. Ia bukan sekadar pebisnis sukses atau mantan bos Inter Milan. Ia adalah pemain politik ulung yang tahu betul bahwa bola adalah panggung paling efektif untuk membangun brand awareness.
Menjadi Ketua PSSI saja sudah cukup strategis. Tapi merangkap juga sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga? Itu seperti menjadi wasit sekaligus kapten dalam satu pertandingan—dan anehnya, tak ada yang meniup peluit.

Dari awal, aroma politik di tubuh PSSI versi Erick sudah tercium kuat. Banyak yang bilang, langkah-langkahnya bukan hanya demi bola, tapi juga demi bola-bola politik 2029.
Semua diatur, dikoreografi dengan rapi—penuh slogan, konferensi pers yang sinematik, dan narasi “transformasi sepak bola” yang terdengar seperti iklan kampanye.

 

Pemecatan STY di Tengah Jalan

Puncak drama terjadi ketika Shin Tae-yong (STY) dipecat di tengah jalan—padahal ia adalah pelatih yang berhasil mengubah mentalitas timnas dari “tim penggembira” menjadi “tim penggigit”.

Digantikan oleh Patrick Kluivert, sosok yang bahkan banyak fans baru mendengar namanya saat konferensi pengumuman. Alasannya: demi lolos ke Piala Dunia.

Ironisnya, justru di bawah Patrick, mimpi itu benar-benar berakhir.
Gol impian berubah jadi mimpi buruk. Dan sekarang, setelah semua berakhir, PSSI seolah kehilangan arah—seperti tim yang bermain tanpa pelatih, tanpa game plan, dan hanya mengandalkan doa.

Tapi kalau mau jujur, Patrick tak layak terlalu disalahkan. Dia hanya pion di papan catur. Sementara tangan yang menggerakkan bidak itulah yang patut dipertanyakan: apakah dia sedang bermain untuk sepak bola, atau untuk kursi kekuasaan?

 

Politisasi Sepak Bola 

Sejak lama, sepak bola Indonesia memang tidak pernah steril dari politik. Sejarah mencatat sejak era kolonial, olahraga ini dimanfaatkan sebagai alat perlawanan, tetapi pasca-kemerdekaan, intervensi semakin sistematis melalui keputusan presiden, keterlibatan militer, dan pengaruh partai politik.

Di era Orde Baru, sepak bola jadi alat pencitraan dan kontrol sosial. Di era reformasi, ia jadi kendaraan elektoral.

Kini, di era Ericktoral, sepak bola seperti dijadikan stadion kampanye tanpa baliho. Semua langkah dihitung, semua keputusan punya kalkulasi politik.

Sayangnya, di tengah permainan strategi itu, yang paling dirugikan tetaplah pemain dan suporter.
Pemain berjuang sampai keringat habis, suporter berkorban waktu dan uang demi mendukung, sementara elitnya sibuk menghitung suara—bukan skor.

Kini bola panas kembali di kaki Erick Thohir. Akankah ia bertahan di kursi PSSI dengan alasan “proyek jangka panjang”? Atau justru ini menjadi alasan sempurna untuk menggiring bola ke lapangan politik nasional—menuju 2029?

Yang jelas, publik mulai muak dengan drama yang sama: Setiap kali kalah, yang disalahkan pemain. Setiap kali gagal, yang bertahan justru pengurus.

Sepak bola seharusnya tentang sportivitas, bukan strategi politik. Tentang gol di lapangan, bukan gol elektoral. Tapi tampaknya, di Indonesia, bola dan politik memang sulit dipisahkan. Di negeri ini, bola tak hanya bulat—tapi juga bermuatan politis.

Kalau sepak bola terus dimainkan di atas papan kekuasaan, jangan heran kalau Timnas kita bukan gagal karena tak bisa mencetak gol—melainkan karena terlalu sibuk menggiring kepentingan.

Dan pada akhirnya, yang jadi korban bukan cuma STY, PK, atau pemain,
tapi seluruh rakyat yang masih percaya bahwa sepak bola seharusnya tentang mimpi anak negeri, bukan ambisi segelintir politisi. (*)

 

 

 

Exit mobile version