Oleh: M. Risfan Sihaloho
Pemred TAJDID.ID
Siapa sangka “tepuk” bisa jadi barometer peradaban? Dulu kita cuma kenal tepuk pramuka: sederhana, kompak, dan penuh semangat ala tenda bocor dan semur jengkol perkemahan. Belum sembuh dari nostalgia itu, belum lama ini datanglah style “Tepuk Sakinah”—sebuah inovasi spiritual bercita rasa TikTok yang viral di tengah-tengah masyarakat. Belum sempat mencerna maknanya, sekarang muncul lagi: “Tepuk Coretax”, entah apa maksud dan manfaatnya.
Fenomena ini bukan soal tepuknya, tapi haus panggung publik digital. Di era ketika otak dan jempol sama-sama dijadikan alat produksi, segala sesuatu bisa dijadikan sound effect budaya. Kita hidup di zaman di mana tepuk tangan tak lagi butuh alasan, cukup butuh algoritma dan nada yang bisa didaur ulang di Reels.
Budaya pop hari ini adalah pasar loak kreativitas receh: semua hal bisa dijadikan tren, asal bisa diviralkan dengan filter lucu dan backsound remix. Tepuk bukan lagi ekspresi kebersamaan, tapi komoditas visual-audio: gampang ditiru, mudah dibagikan, dan cocok untuk disisipi sponsor.
Jadi, kalau hari ini ada “Tepuk Coretax”, besok bukan tidak mungkin lahir inovasi lanjutan: Misalnya “Tepuk Bansos”: dua kali tepuk, sekali selfie, lalu tag lurah.
Kemudian bisa juga “Tepuk MBG” (Makan Bergizi Gratis): tepuk kiri untuk susu basi, tepuk kanan untuk perut mulas massal.
Akhirnya bukan tidak mungkin kelak akan muncul “Tepuk Jidat”: refleks nasional saat baca berita pejabat ngomong hal absurd.
Tak berhenti di situ, bisa jadi muncul “Tepuk Konsorsium”, “Tepuk Revisi UU”, atau “Tepuk Netizen Budiman”—dengan gerakan tangan meniru scroll komennya.
Intinya, kita sedang menyaksikan evolusi budaya yang tidak lagi tumbuh dari nilai, tapi dari kebutuhan tampil di For You Page. Kalau dulu tradisi diturunkan, sekarang cukup di-duet-kan. Kalau dulu orang menghormati, sekarang orang me-react.
Bukan mustahil, sebentar lagi tepuk akan jadi indikator ideologi. Tinggal tunggu saja: tepuk apa yang disahkan lewat Perpres, tepuk mana yang jadi konten kampanye, dan tepuk mana yang dianggap radikal.
Sampai saat itu tiba, mari tepuk dada—bukan bangga, tapi memastikan masih ada akal yang tidak ikut trending. (*)