TAJDID.ID ~ Medan || Gelombang keracunan massal akibat Program Makan Bergizi Gratis (MBG) terus meluas dan kini berubah menjadi kritik keras terhadap tata kelola kebijakan publik pemerintah. Lebih dari 9.000 anak dilaporkan mengalami sakit setelah mengonsumsi makanan dari program tersebut di berbagai provinsi, mulai dari Sumatera hingga Sulawesi.
Founder Ethics of Care, Farid Wajdi, menilai situasi ini bukan lagi insiden lokal, melainkan tragedi nasional yang menuntut intervensi serius. “Ketika ribuan anak menjadi korban secara serempak, istilah ‘lokal’ kehilangan relevansinya. Ini kegagalan sistemik yang tak bisa disikapi dengan tambal sulam administratif,” tegasnya, Senin (6/10).
KLB Tak Cukup, Pemerintah Dinilai Lengah
Kementerian Kesehatan telah menetapkan sejumlah daerah sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Namun Farid menilai respons pemerintah masih parsial dan tidak menyentuh akar masalah. Ia menilai, keputusan tidak menghentikan program secara nasional menunjukkan lemahnya empati dan prioritas negara terhadap kelompok rentan.
“Negara tak boleh menutup mata atas skala penderitaan ini. Menunggu program berjalan sambil korban terus berguguran adalah sikap abai. Moratorium nasional MBG adalah langkah paling rasional dan bermartabat sebelum korban bertambah,” katanya.
Niat Baik, Pelaksanaan Ceroboh
Menurut Farid, visi program MBG sebenarnya mulia karena menyasar perbaikan gizi anak dan penurunan angka stunting. Namun ia menilai pelaksanaannya terbukti tidak siap.
“Peluncurannya penuh gegap gempita, tapi logistiknya rapuh, dapur produksi seadanya, dan pengawasan mutu nyaris tak ada. Anak-anak seolah dijadikan objek uji coba kebijakan yang belum matang,” ujarnya.
Ia menyebut banyak dapur umum di daerah dijalankan tanpa standar kebersihan, penyimpanan bahan pangan tak higienis, dan distribusi tanpa rantai dingin. Akibatnya, tujuan menyehatkan anak malah berubah menjadi ancaman kesehatan massal.
Dari Kelalaian Teknis ke Pelanggaran Hak
Farid menyebut lambannya perbaikan dan absennya jeda program membuat persoalan ini masuk wilayah pelanggaran hak asasi manusia.
“Dalam perspektif hak atas kesehatan, pembiaran terhadap risiko yang sudah diketahui adalah bentuk negligensi negara. Kalau pemerintah tahu rantai pasok rawan tapi tetap jalan terus tanpa koreksi, itu bukan lagi sekadar kelalaian teknis,” ungkapnya.
Ia menegaskan, anak-anak bukan angka statistik dalam dokumen pembangunan, tetapi warga negara yang hak hidupnya dijamin konstitusi.
Audit Independen dan Jeda Program Mendesak
Farid mendorong pemerintah segera menghentikan sementara program MBG dan membentuk audit independen yang melibatkan masyarakat sipil dan lembaga nonpemerintah.
“Publik berhak tahu di mana keretakan sistemnya: apakah di pengadaan, produksi, atau distribusi. Selama keselamatan belum bisa dijamin, program ini harus dijeda,” ujarnya.
Menurutnya, jeda bukan tanda kekalahan politik, melainkan keberanian moral untuk menyelamatkan nyawa.
Evaluasi Total Lebih Penting dari Citra
Farid menilai tragedi MBG menjadi cermin rapuhnya tata kelola negara ketika ambisi politik mengalahkan kehati-hatian.
“Tugas negara bukan mempertahankan program, tetapi melindungi rakyat. Jika keselamatan anak saja belum bisa dijamin, menghentikan MBG sementara adalah keputusan paling waras, paling manusiawi,” tutupnya. (*)