Site icon TAJDID.ID

Akademisi Soroti Fenomena Migrasi Politisi: Cermin Politik Pragmatis Indonesia

Foto ilustratif by AI.

TAJDID.ID~Medan || Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (FISIP UMSU), Shohibul Anshor Siregar, menilai perpindahan sejumlah kader dan politisi senior Partai Nasdem ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bukan peristiwa luar biasa dalam tradisi dan budaya politik Indonesia.

Menurut Siregar, fenomena tersebut hanyalah sebuah cermin dari karakter politik Indonesia yang cenderung pragmatis, yang di dalamnya partai politik lebih sering diposisikan sebagai alat bertahan ketimbang wadah perjuangan ideologis.

“Fenomena perpindahan partai itu bukan hal baru. Dalam politik Indonesia, perjuangan sering dimaknai sebagai seni bertahan dan wadah aktualisasi diri, bukan perjuangan nilai,” ujar Siregar di Medan, Senin (6/10/2025).

Ia menegaskan bahwa pola seperti ini telah berlangsung lama, meniru langkah sejumlah tokoh politik besar.

“Surya Paloh sendiri dulu keluar dari Golkar dan mendirikan Nasdem. Prabowo Subianto meninggalkan Golkar untuk membangun Gerindra, dan Wiranto mendirikan Hanura. Semua ini contoh bagaimana politisi Indonesia menafsirkan perjuangan politik sebagai seni bertahan dan ruang aktualisasi diri,” jelasnya.

 

Partai Keluarga vs Partai Demokratis

Siregar menguraikan bahwa fenomena perpindahan partai erat kaitannya dengan karakter struktural partai politik di Indonesia, yang secara umum terbagi dua: partai keluarga dan partai demokratis.

“Partai keluarga biasanya memitoskan satu figur sentral yang dianggap suci dan tak tergantikan, sementara partai demokratis memberi ruang bagi kaderisasi dan sirkulasi kepemimpinan yang sehat,” paparnya.

Sebagai contoh, ia menyebut Golkar dan PKS sebagai dua partai yang berupaya menjaga praktik demokrasi internal.

“Sudah berapa kali Golkar berganti ketua umum, atau PKS berganti presiden partai? Bandingkan dengan partai keluarga yang terus meneguhkan kesakralan satu tokoh yang diglorifikasi dalam pengabadian hegemoninya,” ujarnya.

PSI dan Realitas Politik Baru

Dalam konteks perpindahan kader dari Nasdem ke PSI, Siregar menilai langkah itu lebih banyak dipengaruhi oleh perhitungan peluang dan kebutuhan untuk tetap eksis secara politik, bukan pilihan ideologis.

“PSI kini tampil sebagai ladang kompetisi politik alternatif bagi politisi yang ingin tetap survive setelah menghadapi dinamika internal Nasdem dan perubahan peta kekuasaan nasional,” ungkapnya.

Namun, Siregar menekankan bahwa harapan para politisi bermigrasi itu bisa saja kandas karena realitas internal PSI yang tidak jauh berbeda.

“PSI bukan partai modern. Citra partai muda dan progresif yang dulu mereka bangun kini telah berubah menjadi partai loyalis Jokowi. Ketika Kaesang Pangarep, yang sama sekali tidak berpengalaman, bisa langsung menjadi Ketua Umum, itu indikator buruk dalam tata kelola partai,” tegasnya.

“Jika segalanya normal dan sehat secara politik, mustahil seorang kader pindah ke partai lain. Pindahnya mereka hanyalah pilihan untuk keluar dari kesulitan yang tak bisa diselesaikan di partai lama, sambil menghitung peluang di partai tujuan. Namun, mereka bisa kecewa bila ternyata partai baru itu sama saja,” lanjutnya.

 

Masalah Struktural: Demokrasi yang Dikooptasi

Lebih jauh, Siregar menilai akar dari gejala migrasi partai ini tidak dapat dilepaskan dari literasi politik masyarakat yang rendah serta buruknya tata kelola pemilu oleh KPU dan Bawaslu.

“Selama rakyat belum cukup dewasa secara politik, fenomena anomali seperti ini akan terus terjadi. Pemilih kita belum terbiasa menilai partai berdasarkan nilai dan sistem, tetapi masih terjebak pada figur dan popularitas,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa kelemahan integritas dan independensi KPU serta Bawaslu justru memperkuat sistem politik yang transaksional.

“KPU dan Bawaslu membiarkan pengaruh eksternal merancang budaya politik transaksional yang kini menjadi determinan utama demokrasi prosedural Indonesia. Akibatnya, politik uang, kooptasi kekuasaan, dan kompromi elektoral menjadi warna dominan dalam proses demokrasi,” jelasnya.

Menurutnya, kondisi ini menyebabkan demokrasi Indonesia berjalan tanpa substansi.

“Kita memang melaksanakan pemilu secara rutin, tetapi tanpa pembenahan sistem dan kelembagaan yang independen, demokrasi hanya menjadi ritual prosedural yang dikendalikan oleh transaksi dan kepentingan eksternal,” pungkasnya. (*)

 

Exit mobile version