TAJDID.ID~Medan || Isu reformasi Polri kembali mengemuka pasca Pileg dan Pilpres 2024. Padahal, hasil survei Litbang Kompas maupun Ipsos Global Trustworthiness Index menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap Polri berada pada angka cukup tinggi, yakni di atas 60% hingga 80% sebelum kontestasi politik berlangsung.
Dosen Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Dr. Alpi Sahari SH MHum, menegaskan bahwa wacana reformasi yang belakangan muncul tidak berdasar pada kajian ilmiah, melainkan bagian dari upaya terstruktur untuk melemahkan institusi Polri.
“Polri dijadikan sasaran oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab pasca tragedi akhir Agustus, saat demonstrasi damai yang menolak kenaikan tunjangan DPR RI berujung ricuh. Aparat yang menjalankan tugas menjaga Kamtibmas justru diserang, bahkan fasilitas kepolisian dirusak. Dari sini muncul wacana reformasi Polri, padahal hal tersebut tidak memiliki korelasi yang kuat secara metodologis,” ujar Alpi, Selasa (30/9).
Menurutnya, Polri justru telah membuktikan diri sebagai institusi yang menjalankan reformasi berkelanjutan sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Capaian itu diakui secara luas, baik di level nasional maupun internasional.
“Transformasi Polri yang PRESISI sudah terbukti dengan banyaknya penghargaan yang diraih. Misalnya dari Ombudsman RI, Kementerian PANRB, Komnas HAM, Komnas Perempuan, hingga Komnas Perlindungan Anak. Bahkan assessment SSDM Polri kini dijadikan rujukan oleh kementerian, pemerintah daerah, sampai negara lain,” jelasnya.
Alpi menyebutkan, berbagai terobosan yang dilakukan Polri tidak lepas dari konsep Organized Heat Audit (OHA) yang menopang manajemen internal. Contohnya, keterbukaan dalam rekrutmen proaktif bagi hafiz Al-Qur’an, penerimaan penyandang disabilitas, hingga keberhasilan pengungkapan kasus perdagangan orang, terutama yang melibatkan perempuan dan anak.
“Kalau kita objektif, sulit menafikan keberhasilan Polri. Oleh sebab itu, seharusnya tokoh-tokoh bangsa, termasuk Prof. Mahfud MD yang saat itu menjabat Menkopolhukam, menyuarakan pencapaian ini agar masyarakat tidak gegabah mendukung reformasi yang justru melemahkan institusi,” tegasnya.
Lebih jauh, Alpi menyoroti bahwa organisasi masyarakat besar di Indonesia, Muhammadiyah, yang memiliki struktur organisasi dari pusat sampai tingkat ranting (desa/kelurahan) di seluruh wilayah Republik Indonesia dan memiliki Perguruan Tinggi hampir di seluruh wilayah Republik Indonesia dengan jumlah ribuan mahasiswa, juga telah mengingatkan pemerintah agar tidak buru-buru mengubah struktur dan kewenangan Polri. Fokus utama seharusnya, kata dia, adalah memperkuat koordinasi lintas sektoral serta peningkatan kesejahteraan rakyat di tengah dinamika global.
Dr Alpi menuturkan, ada dalil yang menyatakan “qu amfusakum wa’ahlikum na’ra” yang dapat dimaknai kritik dan aspirasi berbeda dengan kebencian. Menurutnya, hal inilah yang mendasari Transformasi Reformasi Polri yang dibentuk oleh institusi Polri.
“Mengkritik kebijakan tentu sah dan bagian dari demokrasi. Tetapi membenci dan melemahkan institusi yang justru dipercaya masyarakat, itu berbeda. Transformasi Polri adalah kerja panjang dan harus terus dikawal, bukan dipangkas,” pungkas Dr Alpi. (*)