Site icon TAJDID.ID

Diabetes Politicus

Foto ilustratif by ChatGPT.

Oleh: M. Risfan Sihaloho

Pemred TAJDID.ID

 

Selama ini sepertinya ada epidemi baru tengah melanda republik ini, namun nyaris tak terdeteksi. Apa itu? “diabetes politicus” namanya.

Mirip diabetes millitus, tapi diabetes politicus ini bukan karena gula pasir, bukan karena teh manis, melainkan karena terlalu sering menelan janji-janji manis para politikus.

Selama ini, banyak rakyat awam begitu lahap mengonsumsinya tanpa pernah membaca kandungan gizi di balik setiap janji yang disajikan di atas meja perjamuan demokrasi. Akibatnya, banyak yang kini rakyat menderita komplikasi: penurunan daya kritis, kebutaan terhadap fakta, hingga gagal jantung demokrasi.

 

Gejala Diabetes Politicus

Penderita diabetes politicus biasanya sulit membedakan antara realitas dan retorika. Saat harga beras melambung, ia tetap berkata, “Yang penting pemimpin kita merakyat.”.

Saat kualitas hidup menurun, ia masih tetap optimis, percaya janji pasti ditepati.” Bahkan ketika dapurnya kosong, ia berkilah, “Mungkin ini bagian dari strategi besar yang belum kita pahami.”

Gejala lainnya termasuk kecanduan baliho, keranjingan spanduk, dan mabuk survei elektabilitas. Saking parahnya, penderita diabetes politikus bisa lebih percaya wajah senyum lebar di poster daripada isi dompetnya sendiri.

 

Perilaku Penderita Diabetes Politicus

Mereka ini mirip pasien yang menolak diet. Bukannya mengurangi konsumsi janji manis, justru makin rakus menelannya.

Pengidap penyakit ini juga gampang baper dengan pencitraan. Kendati berkali-berkali telah ditipu, mereka cepat amnesia, apalagi kalau sudah terkena guyuran bansos.

Selain itu, mereka gampang tersulut emosinya jika ada yang mencoba mengingatkan dan memberi pencerahan.

Ironisnya, penderita ini bangga dengan penyakitnya. Bagi mereka, loyalitas buta lebih mulia daripada kewarasan kritis.

 

Cara Mengobati Diabetes Politikus

Sayangnya, hingga kini obat medis untuk diabetes politicus belum ditemukan. Tapi beberapa terapi satir sudah diuji coba:

Pertama, diet janji. Kurangi konsumsi janji manis. Belajarlah makan fakta pahit, karena hanya itu yang menyehatkan akal sehat.

Kedua, olahraga logika. Rutin gunakan otak untuk bertanya: “Benarkah janji ini realistis? Siapa yang diuntungkan?” Jangan biarkan otak kaku karena jarang dipakai.

Ketiga, detoks media sosial. Biasakan puasa dari baliho digital dan pidato bombastis. Sementara ini, lebih baik menonton konten memasak daripada kampanye politik di TikTok.

Keempat, suntikan skeptis. Biasakan diri mengajukan pertanyaan; “Mana buktinya?” sebelum menelan janji. Skeptisisme adalah insulin yang dapat menurunkan kadar gula politik.

Kelima, ubah pola makan politik. Ajari lidah politik kita mencintai data, program nyata, dan rekam jejak, bukan sekadar jargon manis yang menggemukkan ilusi.

 

Penutup
Diabetes politicus adalah penyakit kronis yang hanya bisa disembuhkan dengan keberanian rakyat untuk berhenti menjadi konsumen pasif. Selama kita terus menelan janji manis tanpa protes, para politikus akan tetap jadi pedagang gula murahan yang merusak kesehatan demokrasi.

Ingat, bukan mereka yang memberi penyakit ini. Kita sendiri yang memilih untuk mengonsumsinya.

Singkatnya, hanya rakyat yang bisa menyembuhkan dirinya sendiri diabetes politicus. Kalau tidak, penyakit ini akan kronis, dan demokrasi pelan-pelan masuk ICU. (*)

Exit mobile version