Site icon TAJDID.ID

Shohibul Anshor Siregar: Tuntutan Tutup TPL Terbentur Kepentingan Nasional Ekstraktivis

Foto ilustratif by ChatGPT.

TAJDID.ID~Medan || Suara menuntut penutupan PT Toba Pulp Lestari (TPL) terus bergema. Dari komunitas masyarakat adat di sekitar Danau Toba, aktivis lingkungan, hingga organisasi masyarakat sipil, semua menyuarakan keresahan yang sama: kerusakan ekologis yang semakin parah dan ruang hidup yang kian terancam. Namun, di balik suara lantang itu, benteng besar menghadang—yakni kepentingan nasional yang masih berwatak ekstraktivis.

Hal ini disampaikan Shohibul Anshor Siregar, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), sekaligus Sekretaris Yayasan Advokasi Hak Konstitusi Indonesia (YAKIN), Jakarta. Menurutnya, problem TPL tidak bisa dilihat semata-mata sebagai sengketa perusahaan dengan masyarakat lokal, melainkan sebagai gambaran lebih besar tentang arah pembangunan Indonesia.

“Negara kita masih menempatkan ekstraktivisme sebagai wajah kepentingan nasional. Itu sebabnya desakan menutup TPL sulit diterima, walau bukti kerusakan ekosistem di sekitar Danau Toba sudah parah,” ujar Siregar.

Luka Ekologis di Danau Toba

Bagi masyarakat sekitar Danau Toba, operasi TPL meninggalkan jejak panjang kerusakan. Ekosistem hutan yang dulu menjadi benteng penyangga kehidupan kini berubah menjadi lahan monokultur eukaliptus. Sumber air yang dulunya jernih kini tercemar limbah industri.

“Air, tanah, dan udara telah berubah kualitasnya. Ini bukan lagi soal protes emosional masyarakat adat, tapi fakta ekologis yang bisa diukur,” tegas Siregar.

Kerusakan itu berdampak langsung pada hilangnya sumber pangan, berkurangnya hasil pertanian, serta meningkatnya risiko bencana lingkungan. “Masyarakat adat kehilangan ruang hidup. Generasi baru dipaksa berhadapan dengan masa depan yang lebih rapuh,” tambahnya.

Data Kuantitatif Konsesi TPL

Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara (LHKP PWM Sumut) ini menekankan bahwa besarnya skala izin usaha TPL menjadi bukti bahwa ekstraktivisme telah lama dilegitimasi negara.

Izin awal TPL mencapai 269.060 hektare berdasarkan SK No.493 KPTS-II Tahun 1992.

Dari total itu, sekitar 167.912 hektare konsesi masih aktif, dengan 46.885 hektare berada di Bentang Alam Tele, kawasan dengan keanekaragaman hayati tinggi dan fungsi ekologis vital.

Tidak kalah penting, ± 36.500 hektare dari konsesi TPL berada dalam Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba, zona yang seharusnya dilindungi untuk menjamin suplai air bersih dan keseimbangan hidrologi.

Setidaknya 23 komunitas adat Batak memiliki wilayah adat yang tumpang tindih dengan konsesi TPL, memicu konflik berulang dari masa ke masa.

“Data ini menunjukkan bukan sekadar konflik kecil, tapi kerusakan sistemik yang melibatkan fungsi ekosistem esensial dan kehidupan nyata masyarakat,” ujar Siregar.

 

Ekstraktivisme sebagai Kepentingan Nasional

Mengapa tuntutan menutup TPL begitu sulit direspons negara? Jawabannya, menurut Siregar, ada pada paradigma pembangunan nasional yang masih berwatak ekstraktivisme.

Sejak Orde Baru hingga hari ini, negara menempatkan eksploitasi sumber daya alam sebagai pilar utama pembangunan. Hutan ditebang, tambang digali, danau dieksploitasi—semua dikemas dalam narasi kepentingan nasional dan pertumbuhan ekonomi.

“Ketika negara mengatasnamakan kepentingan nasional, yang dikorbankan justru lingkungan hidup, masyarakat adat, dan ruang hidup generasi mendatang,” ujarnya.

Kontradiksi dengan Slogan Pembangunan Berkelanjutan

Pemerintah kerap mengusung jargon green economy, pembangunan berkelanjutan, hingga transisi energi. Namun, Siregar menilai semua itu tidak lebih dari retorika jika praktik di lapangan masih mengandalkan ekstraktivisme.

“Tidak mungkin kita berbicara soal green economy sementara praktik ekstraktivisme seperti TPL tetap dilanggengkan. Itu kontradiksi yang jelas,” katanya.

Ia mengingatkan, jika paradigma ini tidak berubah, maka cita-cita pembangunan berkelanjutan hanya akan menjadi slogan politik tanpa substansi.

 

Tuntutan Publik dan Jalan Buntu

Sejak bertahun-tahun lalu, berbagai kelompok masyarakat sudah menyuarakan penolakan terhadap TPL. Demonstrasi, audiensi, hingga jalur hukum ditempuh. Namun, hasilnya kerap menemui jalan buntu.

Menurut Siregar, hal ini disebabkan karena negara lebih memilih memihak pada logika investasi daripada keberlanjutan ekologi. “Selama kepentingan nasional dipersempit hanya pada pertumbuhan ekonomi, maka aspirasi rakyat kecil akan terus terpinggirkan,” ujarnya.

 

Seruan Perubahan Paradigma

Di tengah kebuntuan itu, Siregar menyerukan perlunya perubahan mendasar pada paradigma pembangunan Indonesia. Ekstraktivisme harus segera ditinggalkan, digantikan dengan model pembangunan yang menempatkan keberlanjutan ekologis dan keadilan sosial sebagai fondasi utama.

“Jika negara benar-benar serius dengan agenda keberlanjutan, maka keberanian menutup industri yang terbukti merusak lingkungan harus diambil. Ini bukan soal mengurangi investasi, tetapi soal menyelamatkan masa depan,” tegasnya.

 

Tantangan Politik dan Harapan Baru

Siregar menyadari, langkah ini tidak mudah. Ada kekuatan besar yang menopang ekstraktivisme, mulai dari kepentingan politik, ekonomi, hingga jaringan oligarki. Namun, ia tetap percaya bahwa suara publik bisa menjadi pendorong perubahan.

“Gerakan masyarakat sipil tidak boleh berhenti. Walau TPL sulit ditutup sekarang, tekanan publik yang konsisten bisa memaksa negara mengubah arah kebijakan. Jangan biarkan kepentingan nasional terus didefinisikan hanya oleh ekstraktivisme,” pungkasnya.

Kasus TPL menjadi cermin besar bagi arah pembangunan Indonesia. Apakah negara akan terus bertahan dalam paradigma lama yang mengorbankan ekosistem demi pertumbuhan ekonomi? Atau berani beralih menuju pembangunan yang benar-benar berkelanjutan?

Pertanyaan itu kini mengemuka, sementara Danau Toba dan masyarakat sekitarnya menunggu jawaban yang adil. (*)

Exit mobile version