Site icon TAJDID.ID

Polemik Anggaran Pendidikan: Rp223 Triliun untuk MBG, Fondasi Pendidikan Terancam

Foto ilustrasi by ChatGPT.

TAJDID.ID~Medan || Polemik anggaran pendidikan kembali mencuat setelah pemerintah menetapkan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dalam RAPBN 2026 dengan alokasi fantastis Rp335 triliun. Dari jumlah itu, sekitar Rp223 triliun bersumber langsung dari pos pendidikan.

Founder Ethics of Care, Farid Wajdi, menilai kebijakan tersebut menimbulkan tanda tanya besar: apakah pemerintah sedang berinvestasi jangka panjang bagi generasi mendatang, atau sekadar menghadirkan gimik politik yang justru mengorbankan hal mendasar dalam pendidikan.

“Pendidikan kita masih menghadapi masalah serius. Banyak sekolah di pelosok rusak, laboratorium minim, bahkan toilet layak pun jarang ada. Ironisnya, anggaran untuk infrastruktur sekolah dalam program MBG hanya sekitar Rp3 triliun—sangat kecil dibanding total paket Rp335 triliun,” kata Farid, Kamis (25/9/2025).

Menurutnya, kondisi ini berisiko menjadikan sekolah sekadar ruang distribusi makanan, bukan pusat pembelajaran yang bermartabat.

Farid juga menyoroti kesejahteraan guru, khususnya honorer, yang masih jauh dari layak. “Banyak guru honorer dibayar di bawah UMR, kontrak pendek, tanpa kepastian karier. Tapi anggaran terbesar justru terserap ke pengadaan makanan. Padahal kualitas pendidikan jauh lebih ditentukan oleh kualitas guru ketimbang lauk di meja makan,” tegasnya.

Tak hanya itu, perguruan tinggi dan riset ikut terimbas. Ia mengingatkan bahwa anggaran riset nasional sudah tipis, sementara kebutuhan inovasi kian mendesak di era global.
“Jika dana pendidikan habis tersedot untuk MBG, peluang menghasilkan riset unggul akan makin kecil. Itu sama saja dengan menutup jendela masa depan kita di tengah persaingan teknologi dunia,” ujar Farid.

Meski demikian, ia mengakui program makan gratis memiliki manfaat tertentu. Pengalaman India, Amerika, hingga Brasil menunjukkan makan sekolah bisa meningkatkan kehadiran dan gizi anak. Namun, kata Farid, perbedaannya terletak pada sumber pembiayaan.

“Di India, AS, maupun Brasil, beban program makan tidak sepenuhnya ditanggung sektor pendidikan. Di Indonesia justru sebaliknya: angka pendidikan terlihat besar, tapi isinya tergerus. Itu sebabnya banyak pakar menyebut alokasi ini sekadar gimik—indah di permukaan, rapuh di dalam,” jelasnya.

Farid menegaskan pentingnya menata ulang strategi pembiayaan MBG agar tidak membebani pos pendidikan.
“Nutrisi anak jelas penting, terutama bagi keluarga miskin. Tapi jangan jadikan anggaran pendidikan keranjang serbaguna. Pendidikan punya misi khusus: mencetak manusia unggul, kreatif, dan berdaya saing. Itu mustahil terwujud jika infrastruktur terbengkalai, guru tetap miskin, dan riset diabaikan,” tutupnya. (*)

Exit mobile version