TAJDID.ID~Medan || Keputusan pemerintah mengalokasikan 44,2 persen anggaran pendidikan untuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menuai kritik. Founder Ethics of Care, Farid Wajdi, menilai kebijakan tersebut berpotensi menggerus prioritas utama pendidikan sekaligus membuka ruang praktik rente politik.
“Alih-alih memperkuat akses dan mutu pendidikan, sebagian besar dana justru digeser ke program yang efektivitasnya masih dipertanyakan. Ini bukan sekadar persoalan teknis, tetapi menyentuh inti apakah negara sungguh menempatkan pendidikan sebagai prioritas pembangunan manusia atau sekadar menjadikannya dompet politik populis,” kata Farid di Medan, Selasa (17/9).
Menurutnya, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menegaskan hak pendidikan gratis tanpa pungutan sebagai mandat konstitusional. Namun, realitas menunjukkan putusan itu tidak dijalankan. Pemerintah justru fokus pada MBG, sebuah program yang meski memiliki tujuan mulia mengurangi stunting, namun belum terbukti efektif.
“Studi dari UGM dan sejumlah lembaga memperlihatkan distribusi bermasalah, kualitas gizi tidak terjamin, minim keterlibatan ahli gizi, serta lemahnya pengawasan publik. Jadi, memindahkan hampir separuh anggaran pendidikan ke MBG bukan hanya salah kaprah, tetapi juga mengabaikan kewajiban negara menegakkan konstitusi,” tegasnya.
Farid menambahkan, pendidikan masih menghadapi masalah mendesak seperti peningkatan kualitas guru, perbaikan fasilitas, digitalisasi pembelajaran, hingga penghapusan pungutan liar di sekolah. Menurutnya, mengorbankan kebutuhan dasar itu demi proyek makanan massal sama dengan “menambal luka di kaki dengan merobek kulit kepala.”
Lebih jauh, Farid menilai MBG rawan menjadi ladang rente. Transparency International Indonesia, ujarnya, sudah mengingatkan risiko korupsi dalam pengadaan massal yang rentan mark-up, distribusi tidak transparan, hingga monopoli penyedia.
“Tanpa regulasi ketat, audit independen, dan partisipasi masyarakat sipil, MBG lebih mirip proyek politik ketimbang investasi sosial. Jangan sampai program bergizi gratis berubah jadi pesta rente dengan bungkus kesejahteraan rakyat,” tutur Farid.
Ia mengingatkan, efektivitas kebijakan tidak cukup diukur dari niat baik, melainkan hasil nyata. Jika stunting tetap tinggi sementara kualitas pendidikan merosot akibat anggaran terpangkas, maka generasi mendatang menanggung kerugian ganda: tubuh lemah dan pikiran tumpul.
Farid merekomendasikan tiga langkah. Pertama, pemerintah tidak boleh serampangan menggeser anggaran pendidikan untuk program non-pendidikan.
Kedua, jika MBG tetap dianggap strategis, perlu dasar hukum jelas, pos anggaran tepat, serta mekanisme transparansi dan akuntabilitas yang ketat. Ketiga, putusan MK soal sekolah gratis wajib dipatuhi penuh.
“Pendidikan adalah investasi jangka panjang, bukan ruang eksperimen politik sesaat. Menggadaikan hampir separuh anggarannya untuk MBG sama dengan mempertaruhkan masa depan bangsa. Kalau pemerintah serius memperjuangkan gizi anak, silakan, tapi jangan dengan cara merampas hak pendidikan,” pungkas Farid. (*)