Site icon TAJDID.ID

RUU Perampasan Aset, Ethics of Care: Jalan Panjang Mewujudkan Efek Jera Koruptor

TAJDID.ID~Medan || Pemberantasan korupsi di Indonesia kembali berada di persimpangan jalan setelah wacana pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset kembali mengemuka. Komisi III DPR menyatakan siap membahas draf terbaru. Meski memberi harapan, langkah itu tetap menyisakan keraguan publik: apakah instrumen hukum ini benar-benar mampu merampas keuntungan haram para koruptor, atau sekadar menambah daftar regulasi tanpa daya gigit.

Founder Ethics of Care, Farid Wajdi, menilai urgensi RUU tersebut tidak bisa ditawar. Selama ini, katanya, hukuman bagi pelaku korupsi lebih banyak berupa pidana penjara, sementara hasil kejahatan masih bisa dinikmati keluarga maupun jejaring pelaku.

“Lubang besar dalam sistem kita adalah pelaku memang kehilangan kebebasan, tetapi uang hasil jarahan masih sempat disembunyikan, dialihkan bahkan diwariskan. RUU perampasan aset hadir untuk menutup celah itu. Korupsi bukan hanya tindak pidana, melainkan pengkhianatan terhadap keadilan sosial. Tanpa pemulihan aset, hukuman terasa ompong,” ujar Farid, Sabtu (14/9).

Namun ia mengingatkan, undang-undang yang bagus di atas kertas belum tentu efektif di lapangan. RUU ini akan berhasil hanya jika dirancang dengan presisi, transparan, dan terbuka terhadap kontrol publik.

“Perampasan aset memang penting untuk pemulihan kerugian negara. Tapi jika prosedurnya kabur, ia berpotensi melanggar hak konstitusional warga. Ujian sebenarnya adalah bagaimana menyeimbangkan kebutuhan mengembalikan uang negara dengan prinsip fair trial dan asas praduga tak bersalah,” tegasnya.

Farid juga menyoroti kapasitas aparat penegak hukum yang akan menjadi ujung tombak implementasi aturan ini. Menurutnya, merampas aset koruptor tidak cukup hanya dengan penyidikan kasus suap biasa, tetapi membutuhkan keahlian forensik keuangan, kemampuan melacak arus dana lintas negara, hingga membaca skema pencucian uang.

“Pertanyaan reflektifnya: sudahkah aparat kita siap, atau masih terjebak dalam pola lama yang lamban, birokratis, dan rentan kompromi?” tanyanya.

Lebih jauh, ia menekankan efek jera dari RUU ini tidak bergantung pada ancaman pidana semata, melainkan konsistensi penerapan.

“Masyarakat akan percaya ketika benar-benar melihat aset koruptor disita, rumah mewah disegel, rekening dibekukan, dan harta dikembalikan untuk kepentingan rakyat. Kalau hanya segelintir kasus disentuh, sementara tokoh berpengaruh tetap lolos, citra hukum kembali runtuh,” ujar Farid.

Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 ini juga mengingatkan bahwa dimensi politik tidak bisa diabaikan. Menurutnya, perampasan aset berpotensi menabrak kepentingan elite, termasuk jejaring bisnis dan politik tingkat tinggi, sehingga resistensi bisa saja muncul.

“Karena itu keterlibatan publik sipil, media, dan akademisi harus diperkuat sebagai pengawas independen. Tanpa tekanan masyarakat, proses legislasi rawan melenceng menjadi kompromi,” tambahnya.

Farid menutup dengan menegaskan bahwa pemberantasan korupsi bukan sekadar urusan regulasi, melainkan cermin komitmen bangsa.

“RUU Perampasan Aset, bila benar-benar disahkan dan dijalankan konsisten, bisa menjadi tonggak penting untuk mengembalikan uang negara sekaligus menegaskan bahwa korupsi tidak lagi menguntungkan. Tapi jika lagi-lagi berhenti di retorika, rakyat hanya akan menyaksikan episode lama: undang-undang hadir, korupsi tetap subur, dan publik yang menanggung biaya,” pungkasnya. (*)

 

 

Exit mobile version