Site icon TAJDID.ID

Hukum yang Mencerahkan

Foto Ilustrasi.

Oleh: Dr Faisal SH MHum

Ketua Forum Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah (Fordek FH PTM) Se-Indonesia/Dekan FH UMSU

 

Dalam percakapan sehari-hari, hukum kerap dipersepsikan sebagai seperangkat aturan yang keras, mengekang, dan bahkan menakutkan. Banyak orang melihat hukum identik dengan sanksi, jeruji besi, dan proses yang berbelit. Padahal, jika ditilik lebih jauh, hakikat hukum bukanlah sekadar instrumen pengendalian, melainkan sebuah jalan pencerahan (tanwîr) yang mengantarkan masyarakat menuju keadilan, keteraturan, dan kesejahteraan.

Dalam kerangka itulah Muhammadiyah memandang pentingnya hukum sebagai bagian integral dari misi dakwahnya. Sejak berdirinya pada tahun 1912, Muhammadiyah menempatkan pencerahan sebagai ruh pergerakan: menghadirkan Islam yang berkemajuan, membebaskan umat dari kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan. Maka, berbicara tentang “hukum yang mencerahkan” berarti berbicara tentang bagaimana hukum dapat selaras dengan nilai-nilai ke-Muhammadiyahan—tauhid, amar ma’ruf nahi munkar, dan ihsan—sehingga hukum tidak hanya mengatur, tetapi juga menuntun dan memperbaiki kehidupan.

 

Hukum dalam Perspektif Pencerahan

Hukum pada hakikatnya adalah seperangkat norma yang berfungsi mengatur relasi manusia, agar kehidupan sosial berjalan tertib dan adil. Namun, hukum baru akan bermakna ketika ia menghadirkan nilai keadilan substantif. Tanpa keadilan, hukum bisa menjelma sebagai “hukum rimba” yang menguntungkan yang kuat dan merugikan yang lemah.

Pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan pernah berpesan: “Jangan hanya mengajarkan agama di atas mimbar, tetapi hadirkanlah agama dalam kehidupan sehari-hari.” Pesan ini bisa dibaca juga dalam konteks hukum: hukum tidak boleh hanya berhenti sebagai teks undang-undang, tetapi harus nyata memberi manfaat, menghadirkan keadilan, dan membimbing masyarakat menuju kebaikan.

Dalam tradisi Muhammadiyah, hukum ditempatkan bukan sekadar formalitas, melainkan sebagai bagian dari amal shalih yang menuntun manusia kepada kebaikan. Hukum yang mencerahkan adalah hukum yang mampu membebaskan masyarakat dari belenggu penindasan dan ketidakadilan, mendidik masyarakat agar memahami hak dan kewajiban secara seimbang, dan mengarahkan masyarakat menuju kehidupan yang bermartabat.

 

Nilai-Nilai Ke-Muhammadiyahan dan Hukum

Ada tiga nilai dasar dalam ke-Muhammadiyahan yang dapat dijadikan pedoman untuk membumikan hukum sebagai sarana pencerahan.

Pertama, tauhid sebagai fondasi moral. Tauhid menegaskan bahwa hanya Allah yang berhak disembah, dan segala aktivitas manusia, termasuk penegakan hukum, harus bermuara pada keadilan Ilahi. Dalam konteks ini, hukum tidak boleh tunduk pada kepentingan kekuasaan atau ekonomi semata, melainkan pada kebenaran yang bersifat universal.

Buya Syafii Maarif pernah menegaskan: “Hukum tanpa moral hanyalah formalitas kosong.” Tauhidlah yang memastikan hukum berakar pada moralitas ilahiah, bukan kepentingan sesaat.

Kedua, amar ma’ruf nahi munkar sebagai etos sosial. Misi utama Muhammadiyah adalah mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Hukum yang mencerahkan adalah hukum yang berpihak pada kebaikan kolektif, menolak segala bentuk diskriminasi, serta berfungsi sebagai alat melawan kemungkaran struktural seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan pelanggaran HAM.

Prof. Haedar Nashir mengingatkan: “Amar ma’ruf nahi munkar dalam konteks kebangsaan berarti mengawal kekuasaan agar berjalan adil dan tidak sewenang-wenang.” Pandangan ini selaras dengan misi hukum sebagai alat kontrol sosial yang mencerahkan.

Ketiga, Ihsan sebagai spirit kemanusiaan. Ihsan menuntun setiap insan untuk berbuat baik dengan penuh integritas. Dalam konteks hukum, ihsan berarti menegakkan hukum tidak dengan dendam, kekerasan, atau balas-membalas, tetapi dengan hikmah, kejujuran, dan empati.

Dalam bahasa Buya Syafii: “Keadilan itu bukan sekadar memberi yang sama, tetapi memberi yang sepatutnya agar manusia tidak kehilangan martabatnya.” Ihsan menghadirkan dimensi kemanusiaan dalam hukum yang mencerahkan.

 

Hukum sebagai Dakwah Pencerahan

Muhammadiyah memahami dakwah tidak hanya terbatas pada mimbar, melainkan juga melalui tindakan nyata (dakwah bil hal). Dalam hal ini, hukum dapat menjadi instrumen dakwah pencerahan. Misalnya, dalam menyelesaikan konflik sosial, hukum tidak boleh sekadar represif, tetapi harus transformatif—memberi ruang pada rekonsiliasi, pendidikan hukum masyarakat, serta pemberdayaan korban.

Begitu pula dalam konteks negara hukum Indonesia, Muhammadiyah konsisten mendorong terwujudnya hukum yang adil. Hal ini tampak dalam berbagai kiprahnya: advokasi kebijakan publik, kritik terhadap produk hukum yang diskriminatif, hingga peran aktif lembaga bantuan hukum Muhammadiyah dalam membela kaum mustadh’afin (kelompok lemah).

 

Hukum sebagai Cahaya

Realitas di lapangan sering kali memperlihatkan jurang antara hukum ideal dan hukum aktual. Tidak jarang hukum dijadikan alat legitimasi kekuasaan, bukan sebagai sarana keadilan. Korupsi, mafia peradilan, hingga kriminalisasi aktivis menjadi contoh bagaimana hukum bisa kehilangan rohnya.

Dalam situasi seperti ini, nilai ke-Muhammadiyahan menuntut hadirnya hukum yang mencerahkan: hukum yang tidak tunduk pada kepentingan sesaat, melainkan hukum yang berpihak pada nurani publik. Dengan bahasa lain, hukum yang mencerahkan adalah hukum yang menyatu dengan misi profetik: menebar rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil-‘alamin).

 

Penutup

Hukum yang mencerahkan adalah hukum yang hidup bersama masyarakat, menghadirkan keadilan, dan menumbuhkan peradaban. Ia tidak berhenti pada teks peraturan, melainkan memancarkan cahaya nilai keadilan Ilahi. Dalam kerangka ke-Muhammadiyahan, hukum menjadi bagian dari dakwah pencerahan—membebaskan, mendidik, dan memanusiakan manusia.

KH. Ahmad Dahlan telah memberi teladan bahwa Islam harus hadir dalam kerja nyata. Buya Syafii Maarif menekankan moralitas sebagai ruh hukum. Prof. Haedar Nashir menegaskan pentingnya mengawal kekuasaan dengan amar ma’ruf nahi munkar. Tiga suara ini, jika dirajut bersama, menjadi inspirasi bahwa hukum bukan sekadar alat, tetapi cahaya yang menuntun umat menuju kehidupan yang lebih adil dan berkeadaban.

Dengan semangat itu, setiap insan Muhammadiyah ditantang untuk terus menghadirkan hukum yang mencerahkan. Bukan hukum yang membelenggu, tetapi hukum yang menuntun. Bukan hukum yang tunduk pada kekuasaan, tetapi hukum yang tegak pada kebenaran. Dengan begitu, hukum benar-benar menjadi jalan menuju masyarakat Islam yang sebenar-benarnya: berkemajuan, berkeadaban, dan berkeadilan. (*)

Exit mobile version