Site icon TAJDID.ID

Aksi Massa: Komputasi Praktik Diskursif dan Lahirnya Gerakan Konektif

Oleh: Mujahiddin

Associate Professor pada Bidang Studi Pembangunan di FISIP UMSU

Tidak ada yang permanen selain perubahan itu sendiri. Ungkapan diucapkan oleh Heraclitus, Filsuf Yunani yang hidup sekitar 535 SM sampai 475 SM. Ungkapan ini menjadi dalil yang abadi dan sangat terkenal di kalangan pengkaji perubahan. Dalam aspek sosial, perubahan bisa didorong oleh banyak faktor, satu diantaranya adalah penemuan baru (inovasi/ invention) dalam bidang teknologi.

Teknologi sebagai alat (tool) pada hakikatnya tidak bisa lepas dari peradaban manusia, ia menjadi bagian integral dan berperan dalam memenuhi kebutuhan, membentuk aktivitas, dan mendorong perkembangan peradaban, serta menciptakan keterkaitan erat antara kemajuan teknologi dan evolusi manusia itu sendiri. Dalam kontek ini, evolusi manusia dan kemajuan teknologi telah berkelindan dan saling memberikan pengaruh. Posisi manusia tidak sertamerta menjadi central (pusat), tetapi dalam banyak kasus justru bisa menjadi dependent terhadap teknologi.

Revolusi teknologi telah mengalami perkembangan pesat, berjalan searah dengan tujuan-tujuan dari revolusi industri. Jika sebelumnya tenaga manusia dan hewan menjadi aspek utama, secara perlahan kondisi-kondisi tersebut telah digantikan oleh mesin. Di mulai dari temuan mesin up yang menjadi penanda terjadinya Revolusi Industri 1.0, temuan dan pemanfaatan listrik pada Revolusi Industri 2.0, penemuan dan perkembangan teknologi komputer pada Revolusi Industri 3.0, dan terakhir Revolusi Industri 4.0 yang ditandai dengan integrasi teknologi digital canggih seperti kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), Big Data, dan manufaktur aditif (percetakan 3D). Hadirnya Internet pada dekade awal 1990 menjadi langkah awal perubahan teknologi dari analog ke digital yang mengantarkan percepatan pada proses Revolusi Industri 4.0.

Kondisi ini memberikan dampak bagi semua sektor kehidupan manusia, baik dalam aspek ekonomi, sosial dan politik. Ruang interaksi sosial manusia mulai mengalami komputasi yang berarti aktivitas dan proses interaksi sosial manusia mulai diintegrasikan dengan teknologi komputasi seperti prangkat lunak, internet, dan media sosial. Fenomena ini memberikan ruang interaksi yang lebih luas, lebih mudah dan efektif bagi manusia untuk saling berbagi dan berkolaborasi dalam banyak aspek kehidupan; termasuk dalam bentuk-bentuk kampanye sosial, protes politik dan mobilisasi demontrasi atau aksi massa.

Gerakan Konektif

Pikiran manusia dipengaruhi oleh realitas sosialnya, karena realitas sosial membentuk nilai, norma, dan cara pandang individu. Adopsi manusia terhadap internet (termasuk bagian dari komputasi sosial) telah menciptakan realitas sosial baru yang berbasis dunia maya dan tersebar dalam berbagai platfrom media sosial. Pikiran, informasi dan pengetahuan manusia banyak dibentuk di sini sekarang.

Tidak hanya itu, adopsi tersebut juga menghadirkan identitas baru bagi manusia seperti identitas sebagai netizen (warga internet) yang berarti seorang yang aktif terlibat dalam komunitas dan kegiatan di dunia maya atau internet.

Kondisi inilah yang terjadi sekarang dalam realitas kehidupan masyarakat dunia dan Indonesia. Media sosial tidak lagi hanya sebatas ruang eksistensial tetapi telah menjadi ruang ideologi dan gerakan sosial. Ideologi diperbincangkan secara terbuka dan dipertentangkan di sini; begitu juga aksi kolektif dibangun melalui ruang-ruang media sosial; protes dan kritik dimobilisasi melalui tagar. Aksi ini kemudian dikenal sebagai bentuk aktivisme digital yang populer sebagai gaya politik baru khususnya bagi Generasi Milenial dan Generasi Z.

Satu bentuk aksi kolektif melalui tagar yang terkenal adalah #BlackLivesMatter yang sudah dimulai sejak tahun 2013 dan menjadi viral secara internasional setelah kematian Geogre Floyd pada tahun 2020 lalu. Kematian Geogre Floyd yang dibunuh dalam penangkapan oleh seorang polisi di Minneapolis sempat memicu aksi protes yang meluas dibeberapa wilayah Amerika Serikat, dan kejadian ini mendapatkan perhatian yang besar oleh publik internasional. Di Indonesia ada banyak kritik dan protes yang dimobilisasi melalui bentuk tagar, sebut saja seperti; #PercumaLaporPolisi, #TolakRUUTNI, #PeringatanDarurat, #IndonesiaGelap, dan #KaburAjaDulu.

Tidak jarang, dari tagar-tagar tersebut melahirkan gerakan aksi massa atau demonstrasi. Hal ini menggambarkan bagaimana aksi di media sosial dapat terkoneksi dengan aksi massa di dunia nyata. Bentuk koneksi tersebut memberikan tanda bahwa gerakan sosial atau aksi massa telah mengalami pergeseran secara konseptual dan praktik. Koneksi internet di dalam ruang media sosial telah menjadi “enabler” yang memungkinkan setiap individu mengambil peran perantara dalam menyebarkan informasi dan memberikan pengaruh, bahkan tanpa sebuah jaringan organisasi. Bennett & Segerberg (2012) mengatakan situasi ini sebagai terbukanya peluang bagi banyak orang untuk terlibat secara partisipatif dan kolektif melalui penggunaan media sosial.

Gerakan partisipatif dalam media sosial ini dapat disebut sebagai gerakan konektif (connective action). Hal ini menekankan posisi media sosial yang memungkinkan membentuk aksi konektif secara organik dan terdesentralisasi (Bernroider et al., 2022). Logika tindakan konektif berbeda dengan logika tindakan kolektif yang secara umum dikaitkan dengan sumber daya organisasi dan identitas kolektif. Sedangkan tindakan konektif mengacu pada bentuk baru keterlibatan kolektif di mana banyak aktor berkumpul secara informal berdasarkan pada berbagai konten yang dipersonalisasi di media sosial yang dimotivasi sendiri, bahkan jika mereka tidak sama-sama mengidentifikasi dengan tujuan yang sama (Vaast et al., 2017).

Jika konteks tersebut dipahami, maka wajar demo 25 Agustus 2025 tidak lahir dari sumber daya organisasi dan identitas kolektif tertentu, tetapi ia lahir dari ajakan pesan berantai di percakapan media sosial dengan mengangkat isu pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Isu ini memang sudah marak sejak tanggal 15 Agustus 2025 yang pada tanggal itu DPR mempertontonkan aksi joget di gedung dewan usai Pidato Kenegaraan Presiden Prabowo. Banyak Netizen mengkritik perilaku DPR tersebut dan dianggap tidak peduli dengan situasi rakyat yang terhimpit dengan masalah ekonomi.

 

Aktor ~ Network

Dalam kajian perubahan sosial, selalu terdapat satu element pendorong perubahan yang biasa disebut aktor. Dahulu, aktor-aktor tersebut identik dengan individu, kelompok atau organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan yang biasanya bekerja pada bidang isu tertentu yang menyangkut kepentingan dan urusan publik. Mereka aktif terlibat mendorong, menolak atau membimbing proses perubahan sosial untuk mencapai tujuan tertentu.

Namun kini, aktor tidak lagi sebatas pada diri individu (manusia) tetapi juga bisa menyangkut aktor non-manusia. Sosiolog asal Prancis, Bruno Latour telah mendefinisikan ini melalui Actor-Network Theory (ANT) yang menjelaskan dunia ini sebagai jaringan kompleks dari berbagai aktor, baik manusia maupun non-manusia, yang saling terhubung dan membentuk realitas bersama. Ia menentang pemisahan yang selama ini dilakukan pikiran modernitas antara alam dan budaya, serta manusia dan teknologi. Ia menegaskan bahwa objek dan entitas non-manusia memiliki agensi dan berperan aktif dalam membentuk pengetahuan masyarakat. Meski pada awalnya teorinya ini digunakan pada isu-isu ekologi dan solusi atas krisis lingkungan, tetapi dalam beberapa kasus kajian tentang Actor-Network ini juga digunakan untuk melihat perubahan posisi “network” yang telah menjadi agen atau aktor dari perubahan itu sendiri.

Lalu jika ada pertanyaan, siapa aktor di balik demo 25 Agustus 2025 dan kerusuhan yang menyertainya? Maka setidaknya, kita sudah bisa menemukan satu aktor yaitu “network” itu sendiri yang bekerja di dalam algoritma media sosial. Pikiran dan emosi publik gerakan, praktik diskursif diproduksi oleh para buzzer, dan kebenaran menjadi sesuatu yang samar. Sebenarnya pemerintah telah memahami pola dari gerakan konektif ini, karena bagaimanapun algoritma pernah bekerja untuk pemenangan pemilihan presiden. (*)

 

Exit mobile version