Site icon TAJDID.ID

Dr Alpi Sahari: Penegakan Hukum terhadap Penghasutan Bukan Ancaman Kebebasan Sipil

TAJDID.ID~Medan || Pengungkapan kasus penghasutan yang dilakukan Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya tidak bisa dimaknai sebagai bentuk ancaman terhadap kebebasan sipil atau upaya pengambinghitaman dengan mengabaikan prinsip due process of law.

Hal itu ditegaskan Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Dr. Alpi Sahari, SH., M.Hum.

Menurutnya, kebebasan sipil dalam supremasi hukum tetap dibatasi agar tidak merugikan kepentingan umum, termasuk pelanggaran terhadap hak-hak anak yang telah dijamin undang-undang.

“Penegakan hukum dilakukan justru demi melindungi kepentingan umum dan hak-hak anak. Kebebasan sipil tidak boleh dimaknai sebebas-bebasnya hingga menabrak hukum,” ujar Alpi dalam keterangan tertulisnya.

Ia menjelaskan, tindakan penangkapan oleh penyidik Polri berlandaskan prinsip hukum pidana Indonesia yakni nullum delictum nulla poena sine lege serta pendekatan crime control model sebagaimana diatur dalam KUHP dan KUHAP. Artinya, kata dia, pembatasan hak sipil hanya terjadi jika ada pelanggaran hukum.

Lebih lanjut, Alpi menjekasjan pemahaman prinsip equitas sequitur legem harus diluruskan. Mekanisme pengawasan horizontal dalam hukum pidana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan untuk mencegah kesewenang-wenangan. “Karena itu, narasi penegakan hukum sebagai ancaman kebebasan sipil terlalu dini dan justru bisa dipandang sebagai upaya mendegradasi institusi kepolisian,” tegasnya.

Ia menambahkan, dalam kasus penghasutan yang ditangani Polda Metro Jaya, penyidik bekerja berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Adapun pasal yang digunakan antara lain Pasal 160 KUHP, Pasal 87 Jo Pasal 76H Jo Pasal 15 UU Perlindungan Anak, serta Pasal 45A ayat (3) Jo Pasal 28 ayat (3) UU ITE.

Menurut Alpi, penerapan pasal-pasal tersebut menunjukkan adanya kemungkinan eendaadse samenloop atau meerdadse samenloop, dengan memperhatikan prinsip lex specialis dalam sistem hukum.

Lebih jauh, ia menjelaskan perbedaan istilah menghasut (opruien) dengan menggerakkan atau menganjurkan. Menghasut, katanya, adalah upaya membangkitkan orang lain agar melakukan tindak pidana. “Delik penghasutan dianggap sudah selesai ketika kata-kata penghasutan diucapkan, meskipun belum terjadi tindak pidana. Namun pasca putusan Mahkamah Konstitusi, jaksa wajib membuktikan adanya hubungan kausalitas antara penghasutan dengan akibat yang dilarang,” ujar akademisi yang juga pernah dihadirkan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk memberikan keterangan ahli di Mahkamah Agung Republik Indonesia pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas adanya pengajuan Peninjauan Kembali (PK) oleh terpidana Jesicca Wongso.

Alpi mengatakan, prinsip due process of law dalam hukum pidana tetap menyeimbangkan antara crime control model dan due process model.

Karena itu, Alpi menegaskan, setiap penegakan hukum harus dipahami sebagai bagian dari upaya negara menjaga ketertiban umum dalam bingkai NKRI. (*)

Exit mobile version