Oleh: M. Risfan Sihaloho
Pengerajin Anyaman Kata di Gerakan Rakyat Menulis (GERAM)
Di zaman milenial ini, satu-satunya yang paling patut untuk kita idolakan dan kita cintai, adalah beliau yang hidup tanpa Facebook, Instagram atau Twitter, namun memiliki 1,7 milyar followers. Beliau, adalah Nabi Muhammad SAW.
✒️Lenang Manggala, Founder Gerakan Menulis Buku Indonesia
Di tengah hiruk-pikuk era milenial, ketika dunia seakan tak bisa lepas dari linimasa Facebook, Instagram, hingga Twitter, ada satu sosok yang patut kita renungkan kembali. Sosok ini tidak pernah membuat status, tidak pernah mengunggah foto dengan filter, dan tidak pula mengukur pengaruh dari jumlah likes dan followers. Namun, beliau justru memiliki lebih dari 1,7 miliar pengikut yang setia hingga hari ini. Dialah Nabi Muhammad SAW, manusia agung yang kelahirannya kita peringati dalam momentum Maulid Nabi.
Kutipan Lenang Manggala di atas terasa begitu relevan dengan kehidupan modern kita. Betapa banyak orang saat ini berjuang keras membangun citra diri di dunia maya—mengejar popularitas, validasi sosial, bahkan rela kehilangan jati diri demi perhatian publik. Sementara Nabi Muhammad SAW justru dikenang bukan karena citra digital, melainkan karena akhlak mulianya yang menembus ruang dan zaman.
Akhlak sebagai Brand Abadi
Jika media sosial hari ini adalah panggung untuk menampilkan siapa diri kita, maka Nabi Muhammad SAW telah lama menunjukkan branding yang jauh lebih kokoh: yakni akhlak mulia.
Bahkan sebelum diangkat menjadi Rasul, masyarakat Mekah sudah menyematkan gelar al-Amin—yang terpercaya. Integritasnya, kejujurannya, dan kasih sayangnya membuat beliau dicintai, bahkan oleh orang-orang yang kelak menjadi musuh dakwahnya.
Inilah pelajaran besar bagi kita: popularitas sejati tidak lahir dari manipulasi citra, tetapi dari ketulusan sikap dan konsistensi perbuatan. Followers Nabi bukan sekadar angka statistik, melainkan buah dari hati yang tersentuh oleh kebenaran, kasih sayang, dan keadilan yang beliau tunjukkan.
Spirit Maulid di Era Digital
Maulid Nabi bukan sekadar ritual tahunan yang diisi dengan seremonial dan pembacaan syair. Lebih dari itu, ia adalah momentum untuk bertanya pada diri: sudahkah kita menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai teladan dalam keseharian?
Di era digital ini, di mana kata-kata mudah sekali menyakiti dan jari-jari cepat menuliskan kebencian, teladan Nabi Muhammad SAW sangat dibutuhkan. Beliau mengajarkan kelembutan ketika menghadapi kebencian, mengajarkan kesabaran di tengah ujian, dan mengajarkan keadilan meskipun terhadap orang yang berbeda keyakinan.
Jika hari ini banyak orang sibuk menambah followers di media sosial, maka peringatan Maulid Nabi mengingatkan kita untuk menambah kualitas diri sebagai pengikut sejati beliau. Bukan sekadar pengikut dalam angka, tetapi pengikut yang meneladani akhlaknya.
Menjadi Follower yang Sejati
Mengikuti Nabi Muhammad SAW bukan sekadar menyebut nama beliau dalam doa, tetapi meneladani akhlaknya dalam kehidupan nyata. Ia tercermin dalam cara kita bersikap di keluarga, bekerja dengan jujur, menebar manfaat, hingga bermedia sosial dengan santun.
Jika keagungan dan kemuliaan akhlak Nabi Muhammad SAW kita jadikan inspirasi dalam melakoni dunia digital, maka sudah semestinya postingan kita berisi inspirasi, bukan ujaran kebencian. Komentar kita membangun, bukan merendahkan. Sharing kita membawa kebaikan, bukan hoaks dan fitnah.
Inilah makna Maulid di era milenial: meneladani Nabi sebagai role model, bahkan dalam dunia yang kini dikuasai algoritma dan timeline.
Penutup
Nabi Muhammad SAW adalah sosok abadi yang tidak butuh panggung, tidak butuh promosi, namun tetap dicintai miliaran umat manusia. Beliau tidak pernah memiliki akun media sosial, tetapi akhlak mulianya menembus batas ruang dan waktu, membuatnya menjadi “influencer” terbesar dalam sejarah manusia.
Mari, dalam peringatan Maulid Nabi kali ini, kita jadikan diri kita bukan sekadar pengikut pasif, tetapi followers sejati: yang meneladani akhlak dan menghidupkan ajaran beliau dalam kehidupan sehari-hari. (*)