Oleh: M. Risfan Sihaloho
Pemred TAJDID.ID
Di zaman sekarang, orang sudah tidak lagi takut sama flu, batuk, atau pilek. Yang paling ditakuti justru FOMO (Fear of Missing Out)—penyakit khas media sosial yang menular lebih cepat daripada bersin di ruang sempit.
Gejalanya gampang dikenali: Tangan gatal kalau sehari saja nggak buka Instagram atau TikTok. Jantung berdebar saat teman upload liburan ke Bali, sementara kita masih sibuk dengan cicilan motor. Dan gelisah luar biasa kalau belum ikut tren joget terbaru, padahal badan sendiri kaku kayak penggaris.
Bahaya FOMO ini serius!
Bahaya FOMO bukan sekadar soal “kepo” tingkat tinggi. Ia bisa berubah menjadi penyakit mental yang menggerogoti secara perlahan.
Korbannya bisa kehilangan konsentrasi kerja karena sibuk scroll timeline, kehilangan jam tidur karena keasyikan stalking mantan, bahkan kehilangan rasa syukur karena merasa hidup sendiri “kurang keren”.
Dan yang lebih mengerikan, FOMO ini sering bikin orang jadi “relawan pamer sukarela”. Demi tidak ketinggalan, semua hal diunggah: dari kopi yang diminum, piring yang kosong, sampai kucing yang bersin. Pokoknya feed harus selalu update—kalau tidak, seolah dunia akan runtuh.
Sungguh ironis, media sosial yang awalnya dibuat untuk mendekatkan orang, justru bisa membuat banyak orang merasa semakin “jauh” dari kebahagiaan dirinya sendiri.
Padahal, kalau dipikir-pikir, dunia nyata tetap berjalan walau kita tidak ikut trend. Nasi goreng tetap enak meski tidak difoto. Tawa bersama sahabat tetap hangat walau tidak diunggah. Dan, percayalah, hidup kita tidak otomatis jadi gagal hanya karena tidak punya konten viral.
Lalu apa solusinya?
Tentu tidak harus menutup akun atau jadi anti-sosial media. Yang penting adalah sehat digital: tahu kapan berhenti, mampu memilah konten, dan berani fokus pada kehidupan nyata. Mengurangi notifikasi, memberi waktu khusus untuk online, atau sekadar melakukan “digital detox” sesekali bisa jadi langkah sederhana namun efektif.
Jadi, mari jaga diri dari penyakit FOMO ini. Obatnya sederhana: kurangi dosis medsos, perbanyak interaksi nyata. Kalau bosan, ngobrol sama tetangga, baca buku, atau sekadar tidur siang. Dijamin lebih sehat daripada scroll tanpa henti.
Ingat, FOMO memang menular, tapi imunitasnya ada di akal sehat. Jangan biarkan hidup kita hanya jadi “penonton” di panggung media sosial.
Dari FOMO ke JOYO
Kalau FOMO bikin kita gelisah karena takut tertinggal tren, sebenarnya ada pilihan lain yang lebih sehat: JOYO (Joy of Missing Out). Ini bukan sekadar akronim, tapi cara pandang baru—bahwa tidak ikut-ikutan justru bisa jadi sumber ketenangan.
Dengan JOYO, kita belajar bahwa: Tidak tahu gosip terbaru bukanlah dosa besar. Tidak ikut tren challenge konyol bukan berarti hidup membosankan. Dan tidak pamer di media sosial bukan berarti kita tidak bahagia.
JOYO mengajarkan seni untuk merayakan ketenangan, menikmati momen nyata tanpa beban pembanding. Rasanya seperti menyeruput kopi hangat di teras rumah, mendengar hujan turun, dan tidak peduli ada yang posting staycation di hotel mewah.
Alih-alih memburu validasi, JOYO mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati hadir dari kesadaran penuh: kita cukup, kita berharga, kita bahagia, meski dunia maya tidak mengetahuinya.
Jadi, daripada sibuk takut ketinggalan, kenapa tidak belajar untuk menikmati yang kita punya? JOYO itu seperti imun alami melawan racun media sosial—tenang, sederhana, tapi menyehatkan jiwa. (*)