TAJDID.ID~Medan || Pemerintah Kota Medan kembali menjadi sorotan menyusul pernyataan Wali Kota Medan Rico Waas yang menegaskan tidak akan menambah anggaran untuk menutup lubang proyek-proyek fisik warisan pemerintahan sebelumnya. Sikap tersebut menuai respons tajam dari berbagai pihak, termasuk Founder Ethics of Care, Farid Wajdi.
Farid menyayangkan banyaknya proyek bernilai ratusan miliar rupiah yang kini terbengkalai tanpa kejelasan manfaat bagi masyarakat.
“Warga Medan sudah terlalu sering menjadi korban proyek gagal yang menyisakan bangunan setengah jadi. Sudah saatnya pemerintah jujur, membuka seluruh data, dan membawa pihak yang lalai ke ranah hukum,” tegas Farid, Senin (18/8).
Salah satu proyek yang disorot adalah Gedung UMKM Square USU. Awalnya digadang sebagai pusat kolaborasi ekonomi kerakyatan, namun kini malah menjadi saksi bisu mangkraknya pembangunan. Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan kelebihan bayar miliaran rupiah hingga indikasi mark-up anggaran.
“Dana lebih dari seratus miliar rupiah menguap. Publik berhak tahu mengapa proyek seperti ini bisa gagal, siapa yang bertanggung jawab, dan siapa yang diuntungkan,” ujar Anggota Komisi Yudisial 2015–2020 ini.
Kondisi serupa juga terjadi pada proyek Islamic Medan Center senilai lebih dari Rp500 miliar. Hingga kini proyek tersebut jauh dari rampung, padahal diklaim akan menjadi mercusuar peradaban Islam di Medan. Tak hanya itu, revitalisasi Stadion Teladan yang telah menyedot ratusan miliar rupiah pun belum menunjukkan hasil yang memadai.
Ketua Majelis Hukum dan HAM PW Muhammadiyah Sumut ini menilai akar permasalahan terletak pada perencanaan anggaran multiyears yang lemah, serta pengawasan proyek yang tidak transparan dan akuntabel.
“Audit total sangat mendesak. Perencanaan multiyears seringkali hanya demi kepentingan politik jangka pendek. Volume pekerjaan harus diperiksa, spesifikasi material diuji, agar hak rakyat atas anggaran tidak dicurangi,” paparnya.
Farid juga menekankan pentingnya penegakan hukum yang tegas dan terbuka. Temuan BPK terkait kelebihan bayar, menurutnya, tidak bisa dianggap sekadar kesalahan administratif.
“Ada indikasi penyalahgunaan wewenang, bahkan potensi korupsi sistematis. Kepala dinas hingga rekanan proyek harus diperiksa. Kalau penegakan hukumnya tebang pilih, budaya impunitas akan terus hidup,” tandasnya.
Lebih jauh, ia menantang DPRD Kota Medan untuk menggunakan hak interpelasi, hak angket, hingga mendorong audit independen.
“Ini ujian bagi wakil rakyat — sungguh menjalankan fungsi pengawasan atau hanya jadi penonton. Diam berarti ikut memperpanjang jarak dengan rakyat,” ucap Farid.
Di akhir, Farid meminta aparat penegak hukum, dari Inspektorat, BPKP, hingga kejaksaan dan KPK, segera menindaklanjuti hasil audit agar tidak menjadi “dokumen mati”.
“Kasus ini bukan sekadar soal bangunan. Ini soal integritas sistem keuangan daerah. Jika pemerintah dan DPRD berpihak pada rakyat, langkah pertama adalah mengakui kesalahan, membuka data, dan menyerahkan yang lalai ke hadapan hukum,” tegasnya.
Farid menegaskan, hanya dengan langkah berani seperti itu, Kota Medan bisa keluar dari lingkaran setan pembangunan semu yang terus merusak kepercayaan publik. (*)