Site icon TAJDID.ID

Menulis Ulang Sejarah: Jangan Terjebak Eventisme, Saatnya Dekolonisasi Nalar

Shohibul Anshor Siregar

TAJDID.ID~Medan || Akademisi sekaligus pengamat sosial-politik, Shohibul Anshor Siregar (Siregar), menilai langkah Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang berupaya menulis ulang sejarah Indonesia seharusnya disambut sebagai peluang emas.

Namun, ia mengingatkan, kesempatan ini justru akan sia-sia jika tidak dibarengi dengan nalar kritis yang berlandaskan perspektif dekolonialistik.

“Menulis ulang sejarah bukan sekadar memindahkan data lama ke buku baru, tetapi membebaskan cara pandang kita dari cengkeraman narasi kolonial yang sudah mengakar. Kalau tidak, kita hanya mengulang kesalahan yang sama dalam kemasan baru,” ujar Siregar, Rabu (6/8).

 

Bahaya Eventisme dalam Historiografi

Siregar menyoroti bahwa cara membaca sejarah di Indonesia masih terjebak dalam eventisme, yakni memahami sejarah sebatas kumpulan peristiwa besar yang dipisahkan oleh tanggal dan tokoh. Pola ini, kata dia, memudahkan kolonialisme untuk menyamarkan relasi kuasa dan struktur penindasan yang berlangsung secara terus-menerus.

“Eventisme itu seperti menonton film hanya dari potongan adegannya, tanpa tahu plot utuhnya. Kita terpaku pada momen spektakuler, tetapi buta terhadap struktur kekuasaan yang menopangnya,” jelasnya.

Reparasi: Tanggung Jawab Moral yang Terlupakan

Menurut Siregar, menulis ulang sejarah semestinya juga membuka jalan untuk mengkaji kembali tuntutan reparasi terhadap negara-negara yang pernah menjajah Indonesia, seperti Portugis, Spanyol, Inggris, Prancis, Jepang, dan Belanda. Ia mencontohkan Afrika, yang berhasil memaksa bekas penjajahnya mengakui kesalahan dan memberi kompensasi, seperti Inggris kepada korban Mau Mau Uprising di Kenya, atau Jerman kepada Namibia.

“Indonesia punya hak historis yang sama. Reparasi bukan soal dendam, tapi keadilan. Mengabaikannya berarti menutup mata terhadap luka sejarah yang belum sembuh,” tegas Siregar.

Kolonialisme Belum Berakhir

Siregar juga mengingatkan bahwa kolonialisme tidak berhenti pada 17 Agustus 1945. Bentuk-bentuk baru terus hadir melalui perdagangan global yang timpang, kontrak investasi yang merugikan, ketergantungan impor, hingga penetrasi budaya asing.

“Lebih ironis lagi, penjajahan itu kini juga dilakukan oleh bangsa sendiri melalui kekerasan struktural dan budaya. Korupsi, marginalisasi bahasa daerah, dan perampasan tanah rakyat adalah bentuk neokolonialisme internal,” katanya.

Menulis Ulang dengan Nalar Dekolonialistik

Bagi Siregar, kunci menulis ulang sejarah adalah dekolonisasi nalar, yakni upaya membongkar dan melampaui logika yang dibentuk oleh kolonialisme. Itu berarti mengubah fokus historiografi dari sekadar mencatat kejadian menuju membedah struktur kekuasaan, ideologi, dan kepentingan yang membentuk kejadian tersebut.

“Menulis ulang sejarah harus menjadi langkah pembebasan. Bukan sekadar kosmetik narasi, tapi pembongkaran fondasi pengetahuan yang menindas,” tandasnya.

Siregar menegaskan, jika proyek penulisan ulang sejarah hanya mengulang pola lama yang eventistik, maka bangsa ini akan tetap terperangkap dalam narasi kolonial, meski naskahnya ditulis oleh tangan pribumi.

“Kesempatan ini langka. Jika kita gagal memanfaatkannya untuk dekolonisasi, generasi mendatang akan membaca sejarah yang sama butanya seperti kita sekarang,” ujarnya menutup. (*)

Exit mobile version