Site icon TAJDID.ID

Abolisi dan Amnesti: Legalisme Tanpa Legitimasi?

Anggota Komisi Yudisial, Farid Wajdi. (Foto: FB)

TAJDID.ID~Medan || Di tengah riuh rendah transisi kekuasaan dan ambisi rekonsiliasi nasional, publik dikejutkan oleh satu keputusan penting dari Istana: Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto.

Menanggapi hal tersebut, Founder Ethics of Care, Farid Wajdi mengatakan seperti dua sisi dari sekeping logam, keduanya dibebaskan dari jerat hukum—meski dengan jalur berbeda: satu dihentikan perkaranya, satu diampuni hukumannya. “Yang tersisa kini bukan sekadar polemik legalistik, tetapi pertanyaan mendalam tentang makna keadilan dan arah politik ke depan,” ujar Farid, Jumat (1/8).

Tom Lembong, mantan menteri dan ekonom kenamaan, sebelumnya divonis 4,5 tahun penjara dalam perkara korupsi impor gula. Namun, proses banding belum usai ketika presiden mengajukan usulan abolisi kepada DPR. “Dengan persetujuan parlemen, proses hukum itu kini resmi dihapus. Tak ada lagi penyidikan, penuntutan, atau persidangan,” kata Farid.

Selain itu, Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, telah dijatuhi vonis 3,5 tahun atas kasus suap dan penghalangan penyidikan Harun Masiku. Lewat amnesti, ia dibebaskan dari eksekusi hukuman meskipun vonis tetap tercatat dalam lembar sejarah hukum.

“Keduanya kini ‘dimaafkan’ oleh negara. Tetapi pertanyaan yang lebih sulit: kepada siapa keadilan harus berpihak?” tanya Farid.

Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 ini menegaskan, secara konstitusional keputusan ini sah. UUD 1945 Pasal 14 ayat (2) secara eksplisit menyatakan Presiden dapat memberikan abolisi dan amnesti dengan persetujuan DPR. Undang-Undang Darurat No. 11 Tahun 1954 menjadi rujukan teknis yang mempertegas prosedur.

Namun, kata Farid, hukum bukan sekadar perihal prosedur. Ia adalah soal rasa keadilan yang hidup dalam nadi masyarakat. Menurutnya, dalam dunia ideal, abolisi dan amnesti adalah instrumen mulia. Ia lahir dari semangat kemanusiaan, kadang demi merawat persatuan nasional, kadang untuk memberi ruang pembelajaran atas kesalahan yang tak sistemik.

“Tapi ketika keputusan ini menyentuh dua tokoh dengan pengaruh politik besar, sorotan tak bisa dielakkan. Tentu wajar jika publik menaruh curiga: apakah ini bentuk kompromi kekuasaan?” ujarnya.

Apalagi, Farid mengungkapkan bahwa waktu pengumuman keputusan ini nyaris bersamaan dengan manuver politik rekonsiliasi besar. PDI Perjuangan, yang sebelumnya berada di garis oposisi keras, mulai membuka pintu dukungan terhadap pemerintahan Prabowo.

“Tentu tidak ada bukti hubungan langsung antara pengampunan terhadap Hasto dan perubahan arah politik PDIP. Namun dalam politik, makna tak hanya ada dalam fakta, tapi juga dalam simbol. Masalahnya simbol ini terlalu mencolok untuk diabaikan!” ujar Farid.

Farid menikai, di sinilah letak persoalan itu. Diingatkannya, keadilan sejati bukan sekadar hadir dalam keputusan, tetapi juga tercermin dalam cara ia dijalankan. Ketika yang mendapatkan pengampunan adalah orang-orang yang punya jejaring kuat, sementara banyak narapidana kecil lainnya terjerat jeruji karena pelanggaran sepele tanpa pernah merasakan ‘belas kasih’ negara, keadilan tampak pincang. “Ia terlihat berpihak hanya pada mereka yang punya akses pada kuasa,” tegasnya.

Farid mengatakan, bola kini ada di tangan Presiden. Pengampunan harus jadi wujud kenegarawanan, bukan panggung kekuasaan. Sebab sejarah yang akan menilai: rekonsiliasi sejati, atau drama elitis.

Farid mengatakan, kepercayaan publik lahir dari keadilan yang setara, bukan dari maaf yang selektif. Menurutnya, jika negara ingin sungguh memulihkan luka sosial dan menjahit kembali kebangsaan, maka keadilan tak boleh dibeli dengan loyalitas atau ditukar dengan kompromi. “Maaf dari negara adalah hak, tapi hanya jika ia tumbuh dari moralitas yang adil—bukan dari kalkulasi politik yang dingin,” pungkasnya. (*)

 

Exit mobile version