TAJDID.ID~Medan || Founder Ethics of Care, Farid Wajdi mengatakan, di Medan fenomena parkir sembarangan sudah menjadi pemandangan yang begitu akrab, seakan ruang jalan telah berubah menjadi garasi publik tanpa izin. Dari pusat kota, jalan-jalan di depan ruko dan pertokoan, kawasan sekitar pasar tradisional, hingga gang-gang di permukiman, semua tak luput dari kendaraan yang parkir sesuka hati.
“Pemerintah Kota Medan seolah hanya mampu menyaksikan fenomena ini tanpa solusi berkelanjutan. Razia sesaat dan penertiban temporer kerap menjadi rutinitas, namun jarang disertai tindak lanjut yang konsisten. Akibatnya, persoalan parkir liar semakin mengakar, menambah kemacetan, dan memperburuk wajah kota,” ujar Farid, Kamis (31/1).
Masalah ini, kata Farid, tidak sekadar cerminan perilaku warga yang kurang disiplin, tetapi juga bukti lemahnya manajemen lalu lintas dan parkir. Ketidaktegasan pemerintah dalam menata parkir tepi jalan justru menimbulkan ruang abu-abu yang dimanfaatkan juru parkir liar. Di banyak titik, mereka hadir lebih dominan ketimbang aparat, mengatur parkir dengan tarif sewenang-wenang seolah badan jalan milik pribadi. “Praktik ini tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga memberi kesan bahwa pemerintah ikut melegalkan kekacauan demi pendapatan retribusi yang relatif kecil,” kata Farid.
Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 mengungkapkan, kondisi paling parah terlihat di sekitar pasar tradisional. Jalan yang semestinya menjadi jalur lalu lintas berubah menjadi lapangan parkir dadakan. Kendaraan yang terparkir sembarangan menutup jalur angkutan umum dan menghambat kendaraan darurat. “Sementara itu, di kawasan permukiman, mobil-mobil yang parkir di kedua sisi jalan mempersempit akses, membuat kendaraan hanya bisa lewat satu arah,” sebut Farid.
Mengapa persoalan ini begitu sulit diatasi?
Ethics of Care memandang ada beberapa faktor penyebabnya. Pertama, penegakan hukum tidak berkelanjutan. Razia hanya dilakukan untuk pencitraan, tanpa keberlanjutan berupa penggembokan roda atau derek kendaraan.
Kedua, ketersediaan lahan parkir off-street hampir tidak ada, sehingga warga terpaksa memarkir kendaraan di badan jalan.
Ketiga, budaya warga turut memperburuk keadaan. Banyak pengendara enggan berjalan kaki, lebih memilih parkir di depan tujuan meski harus melanggar aturan. Ketika melihat orang lain dibiarkan, mereka merasa tidak perlu patuh.
Di sisi lain, lanjut Farid, pemerintah terlihat lemah dan ragu. Menurutnya, penataan parkir seharusnya tidak hanya berbicara soal retribusi, tetapi juga kelancaran lalu lintas dan kenyamanan publik. “Di kota-kota besar yang modern, parkir liar ditindak tegas dengan sanksi yang jelas. Di Medan, penertiban sering kali hanya menjadi sandiwara musiman yang menghilang begitu sorotan publik mereda,” tegasnya.
Apa yang harus dilakukan?
Ethics of Care menekankan perlu menerapkan kebijakan “zero tolerance” di ruas-ruas vital. Jalan-jalan di pusat kota, area pasar, rumah sakit, dan sekolah harus steril dari parkir liar. Kendaraan yang melanggar perlu digembok atau diderek, dengan denda tinggi agar ada efek jera.
Selain itu, pembangunan kantong parkir harus menjadi prioritas. Pasar dan kawasan komersial perlu dilengkapi area parkir satelit yang terhubung dengan angkutan pengumpan (shuttle). Untuk kawasan permukiman, aturan parkir satu sisi atau izin parkir terbatas harus segera diterapkan.
Terakhir, transparansi juga menjadi kunci. Sistem e-parking berbasis digital dapat menghapus praktik parkir liar, sekaligus meningkatkan penerimaan resmi pemerintah. Sosialisasi kepada warga harus digencarkan dengan pesan sederhana: jalan umum bukanlah lahan parkir pribadi.
“Jika pemerintah berani tegas dan warga mau disiplin, Medan tidak mustahil terbebas dari parkir liar. Namun selama ketegasan hanya sebatas wacana, jalan-jalan Medan akan tetap menjadi ‘garasi liar’ yang mengorbankan kenyamanan publik,” pungkas Farid Wajdi. (*)