Site icon TAJDID.ID

Menulis untuk Mengabadi, Bukan Sekadar Meng-viral: Bukti Nyata Kader Muhammadiyah di Era Digital Bising

Oleh: Nashrul Mu’minin

Content Writer Yogyakarta

 

Di era digital yang terus bergerak cepat, di mana segala hal dapat dibagikan, disukai, dan dilupakan dalam hitungan detik, menulis hadir sebagai tindakan perlawanan. Ia bukan sekadar sarana ekspresi, melainkan bentuk perawatan ingatan atas gagasan, perjuangan, dan nilai. Bagi saya, seorang kader Muhammadiyah yang menjadikan Ahad sebagai ladang produktifitas, menulis bukanlah aktivitas musiman atau impulsif—ia adalah napas kedua setelah zikir. Menulis menjadi ritual sunyi yang saya rawat setiap hari, bukan demi algoritma TikTok atau reels Instagram, tapi demi menjaga ruh intelektual yang kian langka di tengah jagat maya yang gaduh.

Setiap Ahad, saat kebanyakan orang memilih rehat, saya duduk dengan secangkir teh dan laptop yang menanti diketik. Tak ada target trending, tak ada ekspektasi viral. Yang ada hanyalah satu keyakinan: setiap paragraf yang saya lahirkan hari itu, adalah investasi intelektual.

Saya percaya, menulis bukan hanya mengikat ilmu seperti yang dikatakan Ali bin Abi Thalib, tapi juga menjadi jembatan antara ruh aktivisme dengan dakwah pencerahan. Inilah bentuk jihad literasi kader Muhammadiyah—senyap namun berdampak panjang.

Namun, realitas hari ini menunjukkan kesenjangan cukup mencolok antara aktivitas menulis dengan ekspektasi generasi digital. Banyak yang menulis bukan untuk menyuarakan nilai atau membangun gagasan, tapi semata-mata untuk “mendapatkan impresi”. Konten yang disukai adalah yang instan, sensasional, atau mengikuti tren tanpa refleksi.

Di tengah derasnya arus informasi yang tak lagi menyaring kualitas, keberadaan tulisan bermakna seperti sepi di padang konten. Inilah tantangan kader Muhammadiyah hari ini: bagaimana tetap berkarya secara mendalam, di dunia yang mengagungkan permukaan.

Media sosial, alih-alih menjadi ruang berbagi makna, sering berubah menjadi panggung kompetisi ego dan pencarian validasi. Algoritma memaksa pengguna menyesuaikan isi pikirannya dengan selera umum, bukan dengan nilai yang diyakini. Jika tidak hati-hati, kader pun bisa terjebak dalam produksi konten yang kosong makna, sekadar ikut arus agar eksis. Padahal, sejak awal Muhammadiyah didirikan, watak gerakannya adalah pencerahan: memanusiakan manusia dengan ilmu, membebaskan dari kebodohan, dan meneguhkan keadaban.

Solusi pertama dan paling utama adalah mengembalikan semangat literasi sebagai gerakan ke dalam tubuh kader muda Muhammadiyah. Menulis harus dipahami sebagai bentuk ibadah intelektual, bukan sekadar hobi. Saya percaya, kader yang produktif menulis setiap hari adalah yang mampu menakar dirinya, merefleksi zamannya, dan melawan lupa. Kita tidak boleh menunggu inspirasi datang untuk menulis; sebaliknya, dengan menulis rutin, kita menciptakan ruang inspirasi. Setiap pengalaman, setiap bacaan, bahkan setiap diskusi di masjid atau sekretariat bisa menjadi bahan bakar tulisan yang mengedukasi.

Tujuan dari menulis ini bukan sekadar publikasi atau pujian, tapi dokumentasi perjuangan. Muhammadiyah sudah terlalu lama melahirkan kerja nyata, namun sering luput dalam dokumentasi naratif. Tulisan-tulisan kader adalah arsip sejarah yang akan dibaca generasi mendatang. Bayangkan jika setiap Ahad, seluruh kader muda menulis satu refleksi atas apa yang mereka alami selama sepekan. Dalam setahun, kita punya ribuan naskah yang bisa jadi buku, blog, atau konten edukatif yang menyebarkan nilai Islam berkemajuan.

Implementasi dari ide ini sebenarnya sederhana namun butuh komitmen. Pertama, budaya menulis harus ditanamkan bukan hanya di level pelajar dan mahasiswa Muhammadiyah, tetapi juga di semua tingkatan. Kegiatan menulis tidak harus menunggu momen besar atau lomba, tetapi menjadi bagian dari rutinitas organisasi: laporan kegiatan, refleksi usai kajian, atau narasi pengalaman dalam aksi sosial. Saya sendiri mempraktikkannya setiap hari dengan menulis minimal satu paragraf tentang apa yang saya pelajari atau alami. Dalam seminggu, saya bisa memiliki tujuh tulisan yang, jika dirawat, akan menjadi kumpulan cerita perjuangan kader.

Kedua, platform digital Muhammadiyah harus lebih akomodatif terhadap tulisan-tulisan kader. Portal resmi, akun media sosial, hingga buletin internal dapat menjadi rumah bagi tulisan yang tidak mencari viralitas, tapi menebar nilai. Ini akan menciptakan ekosistem literasi yang saling menguatkan. Kader akan tahu bahwa tulisan mereka dibaca bukan untuk dinilai bagus atau tidak, tetapi untuk dinikmati sebagai kontribusi pada gerakan.

Sayangnya, masih banyak kesenjangan dalam hal ini. Banyak kader muda yang potensial menulis namun merasa tidak cukup percaya diri. Mereka menganggap tulisannya kurang bagus atau tidak layak dipublikasikan. Padahal, literasi bukan soal indah tidaknya kata, tapi tentang jujur dan dalamnya isi. Belum lagi sebagian pimpinan di level akar rumput yang belum menganggap menulis sebagai bentuk kerja nyata gerakan. Akibatnya, kegiatan menulis masih terpinggirkan, kalah pamor dengan kegiatan seremonial atau event berbasis visual.

Kesenjangan lain terletak pada akses dan pelatihan. Tidak semua daerah memiliki mentor atau pembina literasi yang bisa membimbing kader. Maka diperlukan semacam pelatihan literasi daring berkala yang bisa diikuti kader dari seluruh penjuru Indonesia. Ini sekaligus memperkuat jaringan antarpenulis kader, menciptakan semacam “komunitas pena Muhammadiyah” yang tidak hanya menulis, tapi juga saling mengkritik dan menguatkan karya satu sama lain.

Menulis itu memang bukan jalan pintas. Ia adalah proses panjang, kadang membosankan, kadang melelahkan, tapi selalu mencerahkan. Di era ketika banyak orang mengejar kecepatan dan viralitas, saya memilih berjalan pelan, menulis satu demi satu ide, dan merawatnya seperti taman yang kelak akan berbunga. Sebab saya percaya, kader Muhammadiyah bukan ditakdirkan untuk menjadi pengejar algoritma, tapi penjaga nilai—dan menulis adalah alat utama untuk itu.

Maka biarlah dunia digital bergemuruh dengan tren yang datang dan pergi. Saya akan tetap menulis setiap Ahad dan hari-hari lainnya, bukan untuk menjadi terkenal, tapi untuk menjadi abadi dalam pemikiran. Sebab saya percaya, saat orang sibuk membuat sensasi dalam satu menit, saya memilih membuat narasi untuk satu generasi. Itulah bukti nyata saya sebagai kader Muhammadiyah: tidak sekadar aktif dalam gerakan, tapi juga konsisten dalam perawatan ingatan. (*)

Exit mobile version