Site icon TAJDID.ID

Sosiolog: Pertanian Indonesia Mati Karena Obsesi Istilah yang Tak Jelas

 

Dosen FISIP UMSU kritik wacana “Petani Milenial” hingga “ Smart Farming Era 5.0” sebagai bentuk pembiusan ideologis dan ungkap ketakberdayaan Negara wujudkan swasembada pangan

TAJDID.ID~Medan || Retorika pembangunan pertanian di Indonesia semakin jauh dari kenyataan yang dihadapi petani di lapangan. Istilah-istilah seperti petani milenial, era Smart Farming 5.0, teknologi tepat guna, dan kearifan lokal justru dianggap sebagai bentuk obsesi semu yang menutupi kegagalan negara dalam mewujudkan swasembada dan kedaulatan pangan.

Hal itu disampaikan oleh Shohibul Anshor Siregar, dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), dalam wawancara khusus dengan tajdid.id, Kamis (24/7).

“Di balik istilah-istilah futuristik yang digunakan dalam wacana pertanian, kita menyaksikan paradoks yang menyakitkan: petani tak beroleh lahan, pupuk menjadi arena kebanditan, dan negara tak berdaya mengamankan kedaulatan pangannya sendiri,” ujar Siregar dengan nada prihatin.

 

Bahasa Bombastis, Realitas Tragis

Menurut Siregar, istilah “petani milenial” bukanlah solusi, melainkan bentuk interpelasi ideologis terhadap generasi muda agar ikut masuk ke dalam sistem pertanian yang rapuh dan timpang. “Mereka dijadikan objek dari wacana transformasi, bukan subjek perjuangan agraria. Padahal tanpa akses tanah, mereka hanya menjadi buruh tani digital,” jelasnya, mengacu pada teori Louis Althusser mengenai ideologi dan aparatus negara.

Ia menyebut, “Smart Farming Era 5.0” dalam konteks pertanian Indonesia hanya menjadi hiasan proyek-proyek teknologi yang tak menjawab problem struktural. “Apa gunanya drone pemantau kelembaban jika lahan milik sendiri pun tak ada? Ini seperti menjual mimpi di atas tanah yang tak dimiliki,” tegasnya.

Ketidakberdayaan Negara: Swasembada atau Sekadar Mimpi?

Lebih jauh, Siregar menekankan bahwa kegagalan mewujudkan swasembada pangan bukan semata karena inefisiensi teknis, melainkan karena kegagalan politik dan struktural.

“Swasembada pangan adalah soal kedaulatan, bukan sekadar soal produksi. Negara gagal menciptakan sistem pangan yang membebaskan petani dari ketergantungan dan penindasan,” ujarnya.

Salah satu bukti paling telanjang, menurut Siregar, adalah ketiadaan akses lahan bagi sebagian besar petani kecil. Reforma agraria yang seharusnya menjadi agenda pokok justru digantikan oleh program sertifikasi tanah yang tidak menyentuh ketimpangan penguasaan.

“Petani hari ini tidak lebih dari penyewa di atas tanah yang seharusnya menjadi hak hidupnya. Mereka tidak punya posisi tawar. Dalam situasi ini, bicara tentang swasembada hanyalah pengulangan propaganda,” katanya.

Pupuk dan Kartel Kebanditan

Selain soal tanah, Siregar juga menyoroti persoalan pupuk bersubsidi yang tak kunjung terselesaikan. “Pupuk bukan lagi alat produksi, tetapi ladang pemburuan rente. Ada kartel, ada mafia, ada permainan sistemik yang tidak disentuh oleh hukum. Petani hanya menjadi korban kebijakan yang tak berpihak,” paparnya.

Ia menyebutkan bahwa pupuk bersubsidi sering tidak tersedia di musim tanam, dijual lebih mahal dari harga eceran tertinggi, atau bahkan ‘dipetik’ terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang memiliki koneksi. “Di banyak tempat, distribusi pupuk adalah cerminan bagaimana negara kehilangan kendali atas salah satu komponen paling vital dalam produksi pangan,” katanya.

 

Narasi Kosong dan Hegemoni Wacana

Dalam pandangannya, istilah-istilah seperti “kearifan lokal” pun telah dikooptasi dan direduksi menjadi jargon yang kosong makna. “Kita melihat bagaimana nilai-nilai kearifan agraris hanya menjadi ornamen proyek CSR atau sekadar festival. Ia tak lagi menjadi kekuatan pengetahuan rakyat, melainkan eksotisme yang dijual kepada donor,” tambahnya, dengan merujuk pada analisis diskursus Michel Foucault.

Ia menggarisbawahi bahwa wacana pertanian yang kini mendominasi bukan berasal dari petani, tetapi dari institusi yang mengatur mereka. “Ini bukan wacana pembebasan, tapi penjinakan. Kita butuh bahasa baru, bukan hanya istilah baru,” tegasnya.

Mendesak Agenda Keadilan Agraria dan Kedaulatan Pangan

Menutup pernyataannya, Siregar menegaskan bahwa satu-satunya jalan menyelamatkan pertanian Indonesia adalah kembali kepada prinsip keadilan agraria dan kedaulatan pangan. “Reforma agraria sejati, perlindungan harga hasil tani, kedaulatan atas input produksi, dan kontrol rakyat terhadap tanah adalah prasyarat mutlak,” katanya.

Ia menyerukan agar negara tidak lagi menyembunyikan kegagalan melalui istilah-istilah palsu, dan mulai bicara jujur kepada rakyat.

“Pertanian tak akan hidup hanya dengan wacana dan label futuristik. Ia hanya akan hidup jika negara berpihak pada petani, mengembalikan tanahnya, dan melindungi kedaulatan pangannya dari cengkeraman korporasi dan spekulan.” pungkasnya. (*)

Exit mobile version