Oleh: M. Risfan Sihaloho
Politik otentik bukan soal tampil sederhana atau menolak kemewahan. Ia adalah keberanian menjadi diri sendiri, berpikir jernih, dan berbicara jujur kepada publik — sekalipun tidak populer.
Demokrasi hari ini kian kehilangan wajah aslinya. Ia memang masih tampak hidup — dengan pemilu, partai, dan kampanye — tetapi jiwanya makin samar, terselubung kabut kepalsuan.
Panggung politik menjadi pertunjukan glamor pesta-pora demokrasi yang narsistik. Para aktor tampil memukau, tapi sering kali hanya memainkan peran, bukan memperjuangkan gagasan. Di tengah situasi ini, kebutuhan akan politik otentik menjadi mendesak.
Politik otentik bukan soal tampil sederhana atau menolak kemewahan. Ia adalah keberanian menjadi diri sendiri, berpikir jernih, dan berbicara jujur kepada publik — sekalipun tidak populer. Dalam politik otentik, seorang pemimpin tidak berlindung di balik pencitraan, tapi berdiri tegak membawa nilai dan keberpihakan.
Sayangnya, ruang bagi politik seperti ini semakin sempit. Mesin demokrasi telah terkooptasi oleh logika pasar dan algoritma popularitas. Mereka yang mengedepankan kesungguhan dan keberanian bersikap, sering kali kalah oleh mereka yang pandai bersandiwara dan merawat ilusi. Para politisi diasah bukan untuk jujur, melainkan untuk menang. Kebenaran menjadi komoditas, bukan komitmen.
Baca juga: Ketika yang Lemah Melawan
Di titik inilah relevansi pemikiran Hannah Arendt menyeruak. Dalam bukunya The Human Condition, Arendt menekankan pentingnya aksi politik sebagai bentuk pengungkapan diri yang otentik di ruang publik.
Bagi Arendt, politik bukan sekadar urusan kekuasaan, melainkan forum untuk bertindak secara bebas, jujur, dan menunjukkan siapa diri kita sebenarnya. Ketika politik kehilangan ruang bagi tindakan otentik, ia berubah menjadi teater manipulasi — dan itulah yang sedang terjadi sekarang.
Arendt juga mengingatkan bahaya banalitas kejahatan — ketika orang-orang menjalankan sistem dengan patuh, tanpa refleksi moral. Ini mengancam demokrasi dari dalam. Politik otentik, sebaliknya, mengharuskan keberanian untuk berpikir, menilai, dan bertindak meski bertentangan dengan arus dominan.
Lihatlah bagaimana jargon kerakyatan dipakai sebagai hiasan, bukan pijakan. Janji ditebar tanpa niat untuk ditepati. Panggung debat politik lebih banyak diisi dengan retorika kosong ketimbang substansi. Dalam kabut seperti ini, rakyat pun kesulitan membedakan mana pemimpin sejati dan mana yang hanya aktor berbakat.
Di tengah pusaran ini, politik otentik menjadi kebutuhan etis sekaligus strategis. Hanya dengan otentisitas, kepercayaan publik bisa dipulihkan. Hanya dengan keberanian berkata apa adanya, politik bisa kembali menyentuh akar masalah. Hanya dengan ketulusan, para pemimpin bisa menyatu dengan rakyat — bukan sekadar menjadi manajer elektoral.
Politik otentik menuntut integritas, bukan sekadar intelektualitas. Ia lahir dari pergulatan batin, bukan skrip konsultan. Ia tumbuh dari pengalaman hidup bersama rakyat, bukan dari seminar di hotel bintang lima. Dan yang terpenting: ia tidak menjual harapan, tapi menanamkan harapan melalui tindakan nyata.
Tentu, memperjuangkan politik otentik bukan perkara mudah. Ia menantang sistem, melawan kebiasaan, dan menolak kompromi murahan. Tapi jika demokrasi ingin diselamatkan dari kehampaan, inilah jalan yang harus ditempuh. Kita tidak butuh lebih banyak aktor politik, namun kita butuh lebih banyak manusia politik yang mencerahkan, sebagaimana yang dicita-citakan Arendt: manusia yang berpikir, berani, dan bertindak dalam kejujuran.
Karena ketika panggung politik sudah terlalu sesak oleh kepalsuan, kejujuran yang sederhana bisa menjadi sesuatu yang sangat dirindukan. (*)