TAJDID~Medan || Pernyataan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang menemukan ratusan penerima bantuan sosial (bansos) diduga terlibat pendanaan terorisme memicu sorotan tajam.
Pengamat Kebijakan Publik, Shohibul Anshor Siregar, mendesak PPATK untuk tidak menghindar dan memberikan penjelasan rinci serta transparan terkait temuan tersebut, yang dinilai berpotensi mengancam keamanan nasional jika tidak ditangani dengan serius.
Pada Kamis (10/7), Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengungkapkan dalam rapat anggaran di Komisi III DPR bahwa lebih dari 100 Nomor Induk Kependudukan (NIK) penerima bansos teridentifikasi terlibat dalam kegiatan pendanaan terorisme.
Selain itu, PPATK juga membenarkan data Kementerian Sosial (Kemensos) yang menyebut 571 ribu penerima bansos terlibat judi online (judol) dan ada pula yang terlibat tindak pidana korupsi.
Menurut Ivan, pihaknya telah mencocokkan data penerima bansos dari Kemensos dengan data rekening yang terlibat judol, terorisme, maupun korupsi. Khusus judol, angka transaksinya hampir mencapai Rp1 triliun, sementara nilai transaksi terkait terorisme tidak diungkapkan.
Kewajiban PPATK untuk Transparan dan Bertanggung Jawab
Menanggapi temuan tersebut, Shohibul Anshor Siregar menegaskan bahwa PPATK memiliki kewajiban mutlak untuk menjelaskan secara rinci kriteria yang digunakan dalam mengidentifikasi individu sebagai teroris.
“PPATK harus mampu, jangan menghindar dari kewajiban tanggung jawab, untuk menjelaskannya secara rinci. Apa kriteria yang PPATK miliki tentang teroris itu dan PPATK wajib memberi data,” tegas Siregar, Kamis (10/7).
Lebih lanjut, Siregar menekankan bahwa transparansi PPATK tidak boleh berhenti pada pengungkapan data semata. “Tidak sampai di situ, PPATK juga harus melaporkannya kepada pihak yang bertanggung jawab. Bila saatnya tiba, PPATK wajib ada di pengadilan teroris yang menghadirkan bukan terdakwa yang profilnya tak masuk akal,” tambahnya.
Pemetaan Jaringan dan Risiko Isu Global
Kritikan Siregar juga menyentuh soal pemetaan jaringan terorisme. Ia mempertanyakan kemampuan PPATK dalam memetakan markas besar teroris yang diduga menggondol uang negara.
“PPATK harus mampu memetakan teroris yang beroperasi menggondol uang negara ini bermarkas besar di mana? Amerika, Israel atau di mana? Atau justru berada di pelosok yang tak ada akses internet, tidak ada jaringan listrik dan penuh keterbelakangan. Masalah serupa sudah menjadi pertanyaan serius selama ini di Indonesia,” ujar Siregar.
Ia juga memperingatkan PPATK untuk berhati-hati dalam mempublikasikan informasi sensitif yang berkaitan dengan isu terorisme. “Jangan memancing spekulasi yang justru potensial mengancam keamanan nasional. PPATK harus sadar bahwa dengan informasi ini ia sedang bermain dengan isu global yang narasinya dikendalikan oleh kekuatan yang raksasa,” pungkasnya, menggarisbawahi potensi bahaya jika informasi tersebut tidak dikelola dengan sangat hati-hati dan bertanggung jawab. (*)