Oleh: M. Risfan Sihaloho
Tentu, tidak semua hal tentang kekuasaan adalah kebohongan. Namun kita patut curiga pada kekuasaan yang terlalu rapi, terlalu mulus, dan terlalu sering tampil berlagak “sempurna”. Karena dalam dunia nyata, kekuasaan yang jujur tak takut terlihat rapuh. Ia tidak butuh topeng untuk menutupi cacatnya, karena keaslian justru bisa menjadi kekuatannya
Kekuasaan jarang tampil apa adanya. Ia hampir selalu gemar mengenakan topeng. Kadang topeng kerakyatan, kadang topeng kesalehan. Semua tergantung panggung dan siapa yang sedang menonton. Maka jangan heran jika seorang penguasa bisa terlihat sangat sederhana di depan kamera, tapi sangat lihai memainkan kekuatan di balik layar.
Inilah yang disebut banyak pemikir politik sebagai “mask of power” topeng yang dikenakan penguasa untuk menyembunyikan wajah aslinya. Sebab kekuasaan, sebagaimana kita tahu, lebih nyaman bekerja dalam bayang-bayang. Ia tidak suka ditelanjangi.
Topeng Kekuasan adalah sebuah wajah yang ditampilkan untuk menutupi kenyataan yang tak selalu sesuai dengan narasi.
Di Indonesia, topeng kekuasaan sering kali dibuat dari bahan-bahan simbolik: baju putih polos, blusukan ke pasar, kutipan ayat kitab suci, atau gaya bicara yang “merakyat”. Semua dikemas rapi, disebar lewat media sosial, diperkuat oleh barisan pendengung (buzzer). Hasilnya: kekuasaan tampil manis, tampak santun, dan—yang paling penting—tidak terkesan menakutkan.
Padahal, kekuasaan yang paling berbahaya bukan yang garang. Tapi yang tersenyum sambil menekan. Ia menyapa rakyat sambil diam-diam merancang regulasi yang meminggirkan. Ia bicara soal keadilan sosial, tapi membiarkan penggusuran dan kriminalisasi warga yang mempertahankan tanahnya.
Maka persoalannya bukan sekadar siapa yang berkuasa, tapi topeng apa yang ia kenakan.
Kita lihat bagaimana proyek-proyek besar, seperti IKN atau Rempang, dibungkus dengan narasi “masa depan bangsa”. Padahal di balik itu, ada pemindahan paksa, ada kepentingan investor, dan ada warga yang kehilangan rumah. Tapi siapa berani melawan? Kekuasaan sudah mengenakan topeng kebaikan: ini demi negara, demi kemajuan, demi generasi selanjutnya. Maka yang menolak dianggap tak berpikiran jauh, atau lebih buruk dicap anti-pembangunan.
Topeng Kekuasan dan Dramaturgi
Di atas panggung kekuasaan, siapa pun bisa tampak meyakinkan. Dengan jas rapi, suara mantap, dan gestur percaya diri, pemimpin tampil di hadapan publik layaknya aktor utama dalam sandiwara besar. Tapi seperti semua pertunjukan, selalu ada yang disembunyikan di balik layar.
Sosiolog, Erving Goffman, lewat teori dramaturginya, menjelaskan bahwa kehidupan sosial sejatinya adalah panggung teater.
Goffman membagi dunia sosial menjadi dua panggung: front stage, tempat peran dimainkan untuk publik, dan back stage, tempat topeng dilepas dan wajah sebenarnya muncul.
Kekuasaan modern, terutama di era demokrasi elektoral, lebih banyak hidup di zona front stage. Kamera menjadi saksi. Media sosial menjadi alat. Citra menjadi segala-galanya.
Maka tak heran jika banyak pemimpin tampak lebih sibuk membangun narasi ketimbang kinerja. Seolah urusan pemerintahan bisa diselesaikan dengan konferensi pers dan unggahan Instagram.
Di depan rakyat, mereka menyebut “transparansi”, di belakang layar, lobi-lobi gelap konspiratif dan koruptif tetap jalan. Di atas panggung, mereka bicara “keadilan sosial”, tapi di ruang rapat, pasal-pasal undang-undang ditulis demi investor.
Dalam dunia kekuasaan, teori dramaturgi ini terasa sangat relevan. Seorang pejabat bisa berbicara tentang keadilan sambil menandatangani kebijakan yang merugikan rakyat. Seorang politisi bisa berpidato soal kesederhanaan, lalu makan malam di restoran mewah. Itulah kekuatan topeng: bukan hanya menyembunyikan wajah, tapi menciptakan wajah baru yang ingin dipercayai publik.
Di era media sosial dan televisi, panggung kekuasaan makin luas. Kamera menjadi sorotan abadi, dan para pemegang kuasa pun makin mahir memainkan peran. Mereka belajar bagaimana tersenyum saat diwawancarai, bagaimana terlihat empatik di depan korban bencana, dan bagaimana menegaskan otoritas dalam pidato resmi.
Fenomena ini tak hanya terjadi di Indonesia. Tapi di sini, topeng kekuasaan sering kali dibuat terlalu tebal, hingga butuh waktu lama untuk publik menyadari bahwa yang mereka saksikan bukanlah kebenaran, melainkan pertunjukan.
Dan sayangnya, banyak yang tetap tertawa atau terharu, seolah lupa bahwa panggung itu bukan teater, melainkan kehidupan mereka sendiri yang dipertaruhkan.
Namun, seperti teater lainnya, penonton lama-lama bisa bosan jika naskah yang dimainkan terlalu klise. Janji yang diulang-ulang, narasi keberpihakan yang tidak terbukti, dan drama politik yang terlalu mudah ditebak—semuanya membuat publik mulai bertanya: mana yang asli, mana yang hanya topeng?
Sayangnya, tidak semua orang sadar bahwa mereka sedang menonton pertunjukan. Banyak yang tetap percaya bahwa wajah yang tampil di layar adalah cerminan isi hati. Padahal, jika mengikuti logika dramaturgi Goffman, aktor bisa berganti peran dengan cepat—tergantung penonton, setting, dan tujuan.
Rakyat Juga Suka Pakai Topeng
Soal tabiat memakai topeng, ternyata bukan melulu jadi kegemaran para elit politik dan penguasa. Tapi ternyata rakyat pun juga ikut-ikutan doyan memakai topeng. Kita pura-pura tidak tahu. Kita pura-pura percaya. Kita biarkan janji diulang-ulang meski tahu tak akan ditepati. Kita nikmati pertunjukan kekuasaan, meski sadar semua hanya panggung pencitraan yang penuh kepalsuan.
Memang mengakui bahwa kita sudah dan sedang dibohongi itu menyakitkan. Maka kitapun kemudian lebih memilih bersikap denial dengan berpura-pura percaya.
Parahnya lagi, kadang kita juga ikut menertawakan aktivis yang dianggap “sok idealis”, karena lebih mudah hidup dalam kenyamanan ilusi ketimbang menghadapi pahitnya kenyataan.
Ketika Topeng Kekuasaan Mulai Retak
Topeng kekuasaan paling rapuh ketika berhadapan dengan kenyataan. Ketika janji tidak ditepati, ketika krisis tak tertangani, atau ketika suara rakyat tak didengar, maka retakan mulai muncul. Dan publik, yang dulu mungkin tepuk tangan, kini mulai bersiul.
Contoh paling nyata adalah ketika pemerintah bicara soal keberpihakan kepada rakyat, tapi di sisi lain menyetujui undang-undang yang lebih berpihak pada investor. Atau saat pemimpin menampilkan citra religius, tapi diam dalam menghadapi ketidakadilan. Inilah titik di mana dramaturgi terbongkar—ketika back stage tak sengaja terlihat oleh semua orang.
Ya. Setiap topeng punya batas waktu. Ketika krisis datang—entah bencana alam, pandemi, atau skandal kebijakan—publik mulai melihat retakan. Bahasa tubuh tak bisa lagi menyembunyikan kepanikan. Senyum dibalas sinis. Panggung itu goyah.
Di situlah panggung belakang tersingkap. Janji kosong menjadi terlihat. Agenda pribadi mencuat ke permukaan. Dan rakyat yang tadinya hanya penonton, mulai sadar bahwa mereka mungkin selama ini sedang ditipu aktor ulung yang licik dan picik.
Krisis bukan hanya ujian moral, tapi ujian akting. Dan dalam banyak kasus, krisis justru menunjukkan bahwa banyak aktor ternyata belum siap tampil tanpa naskah.
Saatnya Melepas Topeng
Tapi demokrasi yang sehat bukan dibangun dari kepura-puraan massal. Ia lahir dari keberanian untuk menanggalkan topeng: baik topeng penguasa, maupun topeng kita sendiri sebagai warga.
Memang, membongkar topeng kekuasaan itu tidak mudah. Kadang kita harus berhadapan dengan kekecewaan. Harapan yang dulu tinggi ternyata hancur di tengah jalan. Tapi proses itu perlu. Karena hanya dengan membuka topeng, kita bisa mulai melihat wajah kekuasaan yang sesungguhnya—apa adanya, tanpa polesan.
Demokrasi yang sehat bukan dibangun dari kepura-puraan massal. Ia lahir dari keberanian untuk menanggalkan topeng: baik topeng penguasa, maupun topeng kita sendiri sebagai warga.
Kita perlu belajar curiga, bukan karena benci, tapi karena cinta pada kebenaran yang telanjang — yang sering dikalahkan oleh narasi culas yang rapi.
Masyarakat yang kritis bukan yang selalu curiga, tapi yang tidak mudah terpukau. Bukan yang sinis, tapi yang tak gampang disihir oleh pencitraan.
Tentu, tidak semua hal tentang kekuasaan adalah kebohongan. Namun kita patut curiga pada kekuasaan yang terlalu rapi, terlalu mulus, dan terlalu sering tampil berlagak “sempurna”. Karena dalam dunia nyata, kekuasaan yang jujur tak takut terlihat rapuh. Ia tidak butuh topeng untuk menutupi cacatnya, karena keaslian justru bisa menjadi kekuatannya.
Penutup
Topeng Kekuasan adalah bagian tak terpisahkan dari politik dan kehidupan publik. Tapi kita bisa belajar mengenalinya, menelisiknya, dan pada akhirnya—membuka topeng itu satu per satu. Karena demokrasi tanpa kewaspadaan hanyalah panggung besar, tempat para aktor leluasa berebut peran, dan rakyat hanya jadi penonton yang membayar tiket mahal untuk pertunjukan yang mengecewakan.
Kekuasaan boleh memakai topeng, tapi rakyat tidak boleh lupa bahwa wajah asli kekuasaan selalu muncul—cepat atau lambat—ketika ia tak lagi merasa diawasi. (*)