Site icon TAJDID.ID

Ancaman AI terhadap Pekerjaan Jurnalis

Oleh: Ismail Fahmi

Dalam diskusi panel tentang AI dan etika jurnalisme, Carl Miller, pendiri Centre for the Analysis of Social Media, melemparkan keresahan yang tak banyak disuarakan secara langsung: “AI mungkin tidak akan menggantikan pekerjaan jurnalis secara total. Tapi ia akan sangat cepat mengambil alih alasan mengapa jurnalis dibayar.”

Pernyataan ini menusuk tajam. Bukan karena kita belum memikirkannya, tetapi karena kita terlalu sering menenangkan diri dengan narasi lama: “AI hanya alat bantu.”

Tapi bagaimana jika “alat bantu” itu mulai mengambil semua tugas yang membuat keahlian kita bernilai?

Saat Nilai Tambah Anda Direduksi Menjadi Prompt

Transkripsi, penerjemahan, penulisan berita rutin, pembuatan ringkasan—semua dulu membutuhkan waktu, tenaga, dan keterampilan. Sekarang?

Efisiensi? Tentu. Tapi juga erosi perlahan atas nilai tambah manusia dalam rantai produksi informasi.

AI Tidak Menggantikan Jurnalis. Tapi Menggantikan Proses yang Membuat Mereka Dibayar

Mari jujur: sebagian besar jurnalis dibayar bukan untuk investigasi mendalam atau analisis tajam—tetapi untuk produksi konten cepat dalam ekosistem clickbait dan SEO. Dan itulah yang paling mudah diotomatisasi.

Ketika proses produksi dipangkas oleh AI, maka kita tak hanya kehilangan pekerjaan—kita kehilangan argumen kenapa pekerjaan itu perlu dibayar manusia.

Siapa yang Akan Digantikan? Bukan yang Paling Lemah. Tapi yang Paling Biasa

Carl mengingatkan bahwa ini bukan semata persoalan kehilangan pekerjaan. Ini adalah persoalan struktur pekerjaan.
Mereka yang tidak beradaptasi, tidak menambahkan nilai yang non-replikatif. tidak memahami AI dan tidak bisa mengarahkan penggunaannya, akan perlahan tersisih. Bukan karena mereka buruk, tetapi karena mereka terlalu mudah digantikan oleh pola statistik model bahasa besar.

Maka Pertanyaannya: Apa yang Tidak Bisa Dikerjakan AI?

Jawabannya bukan sekadar “investigasi” atau “reportase lapangan”.

Jawabannya adalah:

AI bisa menghasilkan jawaban, tapi tidak punya kesadaran akan akibat sosial dari jawaban itu. Di sinilah jurnalisme sejati dibutuhkan.

Dari Produktivitas ke Otentisitas

Carl tidak menawarkan jawaban yang menenangkan. Tapi dari keresahannya, muncul tantangan baru: Bisakah kita membangun bentuk jurnalisme yang tetap relevan, dibayar, dan bermakna—justru karena kita manusia?

Mungkin pertanyaannya kini bukan lagi: “Apakah AI akan mengambil pekerjaan saya?”
Tapi: “Apakah pekerjaan saya cukup manusiawi hingga tidak layak dikerjakan mesin?”

Saatnya Redefinisi Nilai

AI tidak datang untuk menggantikan manusia. Tapi ia memaksa kita untuk menjawab ulang pertanyaan yang sudah terlalu lama kita hindari:

Apa sebenarnya nilai pekerjaan kita sebagai jurnalis?

Jika kita tak bisa menjawab itu—mesin yang akan menjawabnya untuk kita. Dan ia tak akan peduli dengan upah minimum. (*)

 

Sumber: X Ismail Fahmi

Exit mobile version