Site icon TAJDID.ID

Otoritarianisme: Ketika Kekuasaan Berhenti Mendengar, Rakyat Berhenti Bersuara

Ilustrasi Bahaya Otoritarianisme.

Oleh: M. Risfan Sihaloho

Kekuasaan itu seperti api. Jika dijaga dengan hati-hati, ia bisa menghangatkan. Tapi jika dibiarkan liar, ia bisa menghanguskan segalanya.

 

Dalam sejarah politik modern, tak ada yang lebih menggoda sekaligus mematikan daripada kekuasaan yang absolut. Di awal, ia selalu datang dengan jubah kestabilan, janji ketertiban, dan bahasa “demi kebaikan rakyat.” Tapi di balik itu semua, otoritarianisme menyimpan bahaya laten yang amat menakutkan: membungkam suara publik, memandulkan akal sehat, dan menegasi masa depan yang demokratis.

Perlu diingat, kekuasaan otoriter tumbuh dan berkembang bukan hanya dari ambisi penguasa, tetapi juga dari rasa lelah dan apatis masyarakat.

Di tengah ancaman krisis ekonomi, disinformasi, atau polarisasi sosial, banyak rakyat tergoda menyerahkan kebebasan demi rasa aman yang semu. Sesungguhnya itulah saat paling rawan bagi demokrasi: ketika publik berhenti bersuara dan bertanya. Kebanyakan rakyat lebih memilih bungkam, mendiamkan semua ketidakadilan dan kesewenang-wenangan, serta melazimkan kezaliman.

Lord Acton menegaskan, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Kalimat ini bukan sekadar teori, tapi telah terbukti di berbagai rezim dari masa ke masa di seluruh belahan dunia, termasuk di republik ini.

Dulu, filsuf Plato pernah membayangkan pemimpin ideal adalah sosok kombinasi “raja-filosof”, yang bijak dan tidak diperbudak ambisi pribadi. Namun, ia juga sadar bahwa tanpa kontrol, kekuasaan sangat potensial menjadi tirani.

Hannah Arendt juga sudah mengingatkan, bahwa kekuasaan absolut cenderung menghapus kemampuan berpikir kritis masyarakat. Mereka tak lagi mencari kebenaran, cukup mengamini maunya penguasa.

Bila kita cermati, dalam praktiknya rezim otoriter itu selalu punya pola yang nyaris sama: misalnya media dikontrol, jurnalis dibungkam, oposisi dilabeli musuh negara atau kriminal, rakyat diminta patuh secara take for granted, lembaga independen dilemahkan, gerakan masyarakat sipil dikebiri, pejabat haus apresiasi namun tak suka dikoreksi, dan lain sebagainya.

Situasi ini bukan hanya mengancam kebebasan sipil. Ia juga melumpuhkan kemampuan negara untuk berkembang. Tanpa kritik, sudah pasti tidak ada perbaikan. Tanpa partisipasi publik, kebijakan kehilangan legitimasi. Demokrasi bukan sekedar soal ritual pemilu lima tahunan, tapi soal keseharian: ruang bicara, keberanian berpikir, dan keberagaman suara.

Ketika ruang-ruang diskusi tiba-tiba mulai hening, tak lagi berisik, itu tandanya demokrasi sedang tidak baik-baik saja. Saat dinding aspirasi mulai diupayakan dicat polos, tak lagi dihiasi warna-warni graviti, boleh jadi itu tanda-tanda demokrasi sedang didegradasi.

Jangan pernah lupa, Indonesia bukan tanpa pengalaman soal otoritarianisme. Kita pernah hidup di bawah bayang-bayang kekuasaan yang tak boleh ditanya dan tak bisa ditolak.

Kemudian lahir Reformasi 1998 yang sejatinya bukan hanya pergantian orde kekuasaan, tapi lebih dari itu merupakan momentum perlawanan terhadap sistem kekuasaan otoriter yang mematikan daya hidup rakyat.

Kini, lebih dua dekade setelah reformasi, alih-alih makin menguat, justeru tanda-tanda kemunduran demokrasi mulai tampak lagi: ruang sipil menyempit, kritik dibungkam, dan loyalitas lebih penting daripada kapabilitas.

Jelas ini bukan sekadar masalah hukum, tapi soal arah moral bangsa.

Ingat!. Demokrasi tidak mati karena peluru. Ia mati karena kita berhenti peduli.

Karena itu, menolak otoritarianisme bukan sekadar tugas oposisi, LSM, atau mahasiswa. Ini tanggungjawab setiap warga negara yang ingin hidup dalam kebebasan dan martabat sejati.

Caranya? Tetap berupaya ingatkan kekuasaan untuk senantiasa mau mendengar. Dan rakyat juga tak boleh jenuh bersuara, teruslah berteriak “Tolak Otoritarianisme!”. (*)

Exit mobile version