Site icon TAJDID.ID

Mandat Imperatif Absen, Wakil Rakyat Jadi Alat Oligarki

TAJDID.ID~Medan || Sosiolog dari FISIP UMSU, Shohibul Anshor Siregar, menyoroti ketiadaan prinsip mandat imperatif dalam sistem politik Indonesia sebagai akar dari terlembaganya dominasi oligarki dan lemahnya posisi rakyat dalam demokrasi perwakilan.

Dalam wawancara di Medan, Siregar menjelaskan bahwa mandat imperatif adalah prinsip dasar yang menempatkan wakil rakyat sebagai pelaksana kehendak konstituen, bukan individu yang bebas bertindak atas nama rakyat.

“Mandat imperatif menegaskan bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat. Wakil hanya bertugas mewakili kehendak itu, dan jika menyimpang, bisa dicabut mandatnya,” ujar Siregar..

Ia menambahkan, bahwa mandat imperatif bukanlah gagasan baru. Dalam sejarah politik, ia muncul secara eksplisit pada masa Revolusi Prancis dan dalam model-model demokrasi partisipatoris. Namun, dalam sistem demokrasi modern, termasuk di Indonesia, prinsip tersebut tidak diadopsi secara formal, bahkan cenderung ditolak.

“Di Indonesia, mandat imperatif tidak diakui dalam praktik meski tak terbantahkan secara konstitusional. Wakil rakyat tidak pernah terikat pada konstituennya secara langsung, tetapi justru pada partai politik. Padahal menurut konstitusi, partai bukan pemilik kedaulatan rakyat,” tegasnya.

Mandat imperatif menegaskan bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat. Wakil hanya bertugas mewakili kehendak itu, dan jika menyimpang, bisa dicabut mandatnya

Siregar menyebut absennya mandat imperatif telah mengubah wakil rakyat dan partai politik menjadi alat kekuasaan oligarki dan kekuatan tersembunyi lainnya yang bertentangan dengan kepentingan negara dan rakyat.

“Ini menjelaskan mengapa banyak keputusan legislatif tidak mencerminkan aspirasi rakyat, melainkan justru berpihak pada kekuatan ekonomi dan politik besar yang bekerja di balik layar,” tambahnya.

Itu juga alasan mengapa kesan kesewenang-wenangan eksekutif kerap menjadi bagian dari semacam bakti suci pelayanan legislatif kepada penguasa, bukan rakyat.

Menurutnya, sistem inilah yang melanggengkan status quo sembari memperparah derajat kebobrokan demokrasi, karena tidak ada mekanisme yang memungkinkan rakyat secara langsung mencabut mandat wakil yang menyimpang. Akibatnya, fungsi pengawasan rakyat terhadap parlemen menjadi hayali.

Siregar juga menyoroti bahwa meskipun Indonesia sering disebut sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, substansi demokrasinya sebetulnya masih amat dangkal. Banyak orang di Indonesia menganggap demokrasi itu adalah pemilu dan sebatas itu.

“Demokrasi kita terjebak dalam proseduralisme elektoral. Setelah pemilu, rakyat kehilangan kendali atas wakil yang dipilihnya. Padahal, demokrasi seharusnya menjamin kontrol rakyat sepanjang waktu,” ungkapnya.

Ia menyerukan agar Indonesia mulai menggagas bentuk representasi baru, termasuk kemungkinan menerapkan mekanisme mandat imperatif dalam skala terbatas atau melalui sistem recall.

“Sudah waktunya kita bicara ulang soal representasi politik. Demokrasi tanpa kendali rakyat atas wakilnya adalah tipuan,” pungkas Shohibul. (*)

Exit mobile version