Site icon TAJDID.ID

Ethics of Care: OTT KPK di Sumut Cuma Sirene Darurat, Bukan Pencegahan!

TAJDID.ID~Medan || Operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Mandailing Natal pada akhir Juni 2025 kembali menyingkap wajah lama birokrasi Sumatera Utara: korupsi yang menancap kuat, bukan hanya di instansi teknis, tetapi hingga ke akar sistem politik dan kekuasaan.

Menurut Founder Ethics of Care, Farid Wajdi, penangkapan lima orang, termasuk Kadis PUPR Sumut, Topan Ginting, dalam proyek jalan senilai Rp231,8 miliar, bukan kasus istimewa. “Justru sebaliknya, ini bagian dari pola lama yang terus berulang,” ujar Farid, Ahad (6/7).

Farid mengatakan, kasus ini tak berdiri sendiri. Sebelumnya, Sumut sudah mencatat banyak nama besar dalam daftar tersangka korupsi, dari bupati hingga gubernur. Sayangnya, meski OTT sudah berkali-kali dilakukan, efek jera nyaris tak terlihat. Seolah-olah, penangkapan hanya membuat permukaan tenang sesaat, tapi bara korupsi tetap menyala di dalam. “Sistem birokrasi kita masih memberi ruang lega bagi praktik suap, mark-up proyek, dan jual beli kewenangan,” jelas Farid.

“Lebih ironis lagi, OTT kali ini muncul bukan karena kerja sistem internal pengawasan, melainkan karena protes warga soal jalan rusak,” imbuhnya.

Ethics of Care menilai, situasi ini mencerminkan satu hal: mekanisme deteksi dini korupsi belum bekerja. “OTT justru menjadi semacam sirene darurat, bukan tindakan pencegahan,” tegas Farid.

Akademisi ini menilai, birokrasi yang permisif, pengawasan internal yang lemah, dan budaya politik transaksional menjadi penyubur utamanya. Korupsi bukan hanya kelalaian, tetapi bagian dari skema terencana yang berulang.

Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas

Dalam banyak kasus, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 ini menilai, penegakan hukum tampak selektif. Istilah “tajam ke bawah, tumpul ke atas” bukan sekadar sindiran, tapi realitas. Para pejabat level menengah dengan mudah dijerat, sementara aktor di balik layar—entah patron politik, mafia proyek, atau elite yang mengatur arah anggaran—masih sering lolos dari jeratan hukum. “Indikasi penghilangan bukti elektronik hingga intimidasi terhadap saksi menjadi sinyal bahwa integritas proses hukum kita belum sepenuhnya steril dari tekanan,” ujar Farid.

Sektor infrastruktur menjadi arena favorit para pelaku korupsi. Nilai proyek yang besar, prosedur lelang yang bisa direkayasa, hingga celah manipulasi dalam sistem e-catalog menjadi peluang empuk.

Tak jarang, kata Farid, proyek pemerintah berubah jadi bancakan. Di balik papan proyek yang menjanjikan kemajuan, ada praktik culas yang menghambat pembangunan dan melukai rasa keadilan masyarakat.

Menurut Farid, OTT Mandailing Natal sebenarnya membuka pintu untuk penyelidikan yang lebih luas. KPK menyatakan akan menelusuri dugaan korupsi dalam proyek lain dan menyoroti kemungkinan adanya keterlibatan pihak-pihak baru. Namun publik bertanya-tanya: apakah proses ini akan sampai ke akar? Ataukah kembali berhenti di level menengah?

Sayangnya, kata Farid, kejaksaan dan kepolisian di daerah kerap kali hanya menyentuh kasus kecil. Bukan karena tidak tahu, tapi karena keterbatasan sumber daya, minim dukungan teknis, dan dalam banyak kasus, tekanan politik. Hal ini menurutnya memperkuat ketimpangan hukum dan memberi ruang aman bagi para “ikan kakap” untuk tetap berenang bebas.

Patronase dan Ongkos Politik Mahal

Lebih jauh, Ketua Majelis Hukum dan HAM PW Muhammadiyah Sumut ini melihat, ekosistem politik di Sumut tak bisa dilepaskan dari persoalan ini. Sistem patronase dan ongkos politik yang mahal mendorong para pejabat mengumpulkan “modal balik” dari proyek-proyek publik. Lelang bisa diatur, pelaksana proyek bisa disetir, dan semua itu dibungkus dengan dalih pembangunan.

Ethics of Care memandang, tanpa reformasi menyeluruh—baik di sisi birokrasi, pengadaan, maupun penegakan hukum—upaya pemberantasan korupsi akan seperti memukul angin. Karena itu diiperlukan keberanian lebih dari KPK, keberpihakan dari publik, dan komitmen dari pemangku kepentingan agar sistem tak terus-menerus melahirkan koruptor baru.

“OTT hanyalah awal. Tapi jika akar masalah tidak dicabut, Sumatera Utara hanya akan menyaksikan episode baru dari drama lama: korupsi yang tak pernah selesai,” pungkas Farid. (*)

Exit mobile version