Site icon TAJDID.ID

OTT KPK ke Kadis PUPR Sumut Uji Komitmen “Pemerintahan Bersih” Bobby Nasution

Ilustrasi

Kasus ini mencerminkan patologi sistemik suksesi politik Indonesia

TAJDID.ID-Medan || Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Sumatera Utara, baru-baru ini ramai jadi sorotan.

Diketahui, pejabat yang dikonfirmasi sebagai “orang kepercayaan inti” Gubernur Sumut Bobby Nasution ini diduga menerima suap Rp1,2 miliar terkait proyek jalan strategis senilai Rp287 miliar.

Shohibul Anshor Siregar, Dosen Sosiologi Politik FISIP UMSU melihat, OTT ini mengguncang sekaligus menelanjangi paradoks deklarasi ‘Pemerintahan Bersih’ Bobby Nasution yang dicanangkan saat pelantikan November 2024 yang lalu.

Dikatakannya, kasus ini mencerminkan patologi sistemik suksesi politik Indonesia.

“Kita masih ingat 309 sengketa Pilkada 2024 membuktikan elite terpilih berutang budak pada pendukung. Korupsi menjadi mekanisme balas jasa yang terinstitusionalisasi. Ini bukan kecelakaan lokal, melainkan penyakit kronis demokrasi elektoral kita,” tegas Siregar, Rabu (2/7).

Jaringan Patronase yang Terbongkar

Siregar mengatakan, keterlibatan Kadis PUPR, arsitek kunci pembangunan Medan era Bobby sebagai Wali Kota (2020-2024), menguatkan tesis ‘korupsi berbasis loyalitas’. “Ini pola klasik, dimana proyek infrastruktur dijadikan mata uang pertukaran dalam jaringan patron-klien,” papar Siregar.

“Ironisnya, proyek yang diduga dikorupsi justru bagian dari program unggulan gubernur, yakni ‘Revitalisasi Jalan Lintas Barat Sumut’,” imbuhnya.

Uji Kemandirian KPK di Era Baru

Keberanian KPK menangkap “orang dalam” Bobby, kata Siregar mengundang pertanyaan krusial, terutama karena Bobby adalah menantu Presiden Jokowi dan ipar Wapres Gibran, yang baru beberapa pekan lalu bertemu Bobby di Medan dalam kunjungan kerja ke perhelatan nasional sebuah ormas Islam yang dipusatkan di ibukota provinsi Sumut ini.

Siregar melihat dinamika baru, fakta bahwa KPK bergerak meski Bobby bersinggungan dengan istana, menunjukkan dua kemungkinan. Pertama, otonomi relatif KPK di era Prabowo. “Kedua, ini strategi politik untuk menata ulang peta kekuasaan dengan membatasi klan tertentu.” sebut Siregar.

Dilema Bobby-Gibran dan Skenario Krisis

Siregar memetakan skenario genting terkait kasus ini. Pertama, Bobby sebagai ‘Tumbal Transisi’. “Jika ditemukan aliran dana ke lingkaran gubernur, Bobby bisa jadi korban konsolidasi kekuasaan nasional Prabowo.” kata Siregar.

Kedua, posisi Genting Gibran, sebagai Wapres, intervensi langsung ke KPK adalah bunuh diri politik. Tapi bila diam, ia dinilai gagal lindungi keluarga. “Ini jebakan legitimasi yang amat serius dan berbahaya.” ujar Siregar.

Proyeksi 2029: Renegosiasi atau Keretakan?

Meski OTT memicu spekulasi keretakan poros Jokowi-Prabowo, Siregar justru membaca ini bias sebagai manuver penataan aliansi.

“Bagaimana jika, misalnya, Prabowo diposisikan merasa perlu mengurangi ketergantungan pada jaringan Jokowi, sedangkan pada saat dan dengan fenomena yang sama Gibran diuji membangun otoritas mandiri tanpa ‘payung ayah’. Karena itulah OTT ini dapat ditandai sebagai sinyal kecil renegosiasi kekuatan menuju suksesi 2029.” ujar Siregar.

Peringatan Kritis: Tata Kelola Sumut di Ujung Tanduk

Siregar menegaskan kasus ini adalah lampu merah kegagalan tata kelola. Rantai masalah – dari Pilkada bermasalah, penolakan Kemendagri atas pengisian jabatan, hingga korupsi lingkaran dalam – membuktikan Sumut darurat reformasi birokrasi. “Deklarasi ‘pemerintahan bersih’ tinggal retorika kosong jika tanpa pembongkaran sistemik.” tegasnya.

Jalan Berliku ke Depan

Menurut Siregar, Bobby kini dihadapkan pada dilema menegangkan: yakni membiarkan KPK bekerja independen (risiko keterlibatan terungkap), atau memanfaatkan sisa jaringan kekuasaan keluarga untuk intervensi (risiko skandal nasional).

Siregar mengingatkan, perkembangan 72 jam ke depan potensial menentukan nasib politik Bobby. “Jika selamat, publik akan membaca ini bukan karena ia bersih, tapi karena elite nasional belum membutuhkan tumbalnya.” kata Siregar.

Menurut Siregar, pilihan Bobby hari ini akan menentukan masa depan poros keluarga Jokowi, khususnya Bobby-Gibran dalam peta suksesi 2029.

“Namun, satu hal yang pasti bayang-bayang dinasti tak lagi cukup untuk membentengi praktik korupsi,” pungkasnya. (*)

Exit mobile version