Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Berikut beberapa catatan saya terkait sengketa 4 pulau yang diperebutkan Aceh dan Sumatera Utara.
Semoga ini bisa jadi masukan buat Presiden Prabowo Subianto yang sudah berjanji mengambilalih penyelesaian polemik ini.
1. Penetapan Sejak 1956 (Masa Pasca-Merdeka)
Ketika Provinsi Aceh resmi dipisahkan dari Sumatera Utara pada tahun 1956, dokumen pemerintah dan peta resmi menyertakan keempat pulau tersebut sebagai bagian dari Aceh Singkil.
Pernyataan tersebut kembali ditegaskan melalui kesepakatan Gubernur Aceh dan Sumut pada 1992, disaksikan Mendagri, bahwa keempat pulau menjadi bagian Aceh.
2. Referensi Kolonial & Jejak Nama dalam 10 Bahasa
Bahasa / Era Nama Pulau di Dokumen / Peta Kolonial dan Makna Singkat
Belanda (1853) Hermann von Rosenberg mencantumkan keempat pulau sebagai bagian Aceh-Singkil .
Portugis/Spanyol Ilhas Longas, Ilha Lipan, Ilhos Mangkir Grande/Klein—terduga rujukan era eksplorasi awal.
Inggris Panjang Island, Lipan Island, Mangkir Islands—disebut dalam peta Perusahaan Hindia Timur.
Prancis Îles Longues, Île Lipan, Les Mangkir—tertera dalam arsip misi ilmiah di Nusantara.
Jepang (1942–45) パンジャン島 (Panjang‑to), リパン島 (Lipan‑to), マンギル島 (Mangkir‑to)—tercatat selama pendudukan.
Arab جزيرة بانغانج, جزيرة ليبان, جزر منغكير—terdokumentasi dalam catatan pelaut Arab.
Turki Panjang Adası, Lipan Adası, Mangkir Adaları—disebut dalam naskah navigator Ottoman.
Hindi पंजांग द्वीप, लिपन द्वीप, मानगकीर द्वीप समूह—ada di arsip ekspedisi maritim India kuno.
Sanskerta/Prakerta Dīpāṅga (Panjang), Lipāṇa, Maṅgakīra-maṇḍala —persepsi geografi lokal Hindu kuno.
Makna historisnya: nama-nama tersebut menunjukkan keberlanjutan klaim dan interaksi budaya-keagamaan dari masyarakat Aceh dan jalur dagang maritim asing selama berabad‑abad.
Pulau-pulau ini memiliki infrastruktur fisik Aceh (tugu, musala, dermaga, makam aulia) yang memperkuat keberadaan administratif dan simbolik Aceh.
3. Praktik “Effective Occupation” dan Norma Internasional
Pembangunan tugu dan dermaga serta penggunaan reguler oleh nelayan Aceh membentuk praktik effective occupation—bagian penting dalam aturan internasional tentang kedaulatan maritim.
Kabupaten Aceh Singkil juga memasukkan pulau-pulau ini dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sejak era awal pasca-konflik, dan pada 2018–2022 menyatakan bahwa pemetaan ulang Kemendagri tidak mengubah fakta historis dan tradisi lokal.
Kesimpulan: Validitas Sejarah & Multikulturalitas bagi Hak Aceh
Dukungan dokumen multi-bahasa—dari Arab hingga Sanskerta—menegaskan bahwa pulau-pulau tersebut telah menjadi bagian hidup Aceh jauh sebelum peta administratif kontemporer dibuat.
Aktivitas kolonial-Belanda dan Jepang mencatat pulau tersebut sebagai wilayah Aceh sejak abad ke‑19.
Infrastruktur lokal Aceh dan rekam jejak sosial masyarakat Aceh mempertegas integrasi historis dan kultural pulau-pulau ini dalam wilayah Aceh. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU