Site icon TAJDID.ID

Fordek FH PTM Se-Indonesia: Hentikan secara Total Aktivitas Pertambangan Nikel di Raja Ampat!

TAJDID.ID~Medan || Memperhatikan dengan saksama perkembangan situasi di Raja Ampat, Papua Barat Daya, terkait aktivitas pertambangan nikel yang terus berlangsung, Forum Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah (Fordek FH PTM) se-Indonesia menyatakan keprihatinan yang mendalam.

Dalam keterangan pers yang dirilis, Jumat (13/6), Fordek FH PTM menyampaikan, bahwa berdasarkan informasi yang berkembang, PT GAG Nikel diduga masih terus melakukan operasi penambangan, meskipun status perizinannya telah menjadi sorotan publik dan menuai penolakan luas. Aktivitas ini berlangsung di kawasan yang memiliki nilai ekologis tak ternilai dan merupakan rumah bagi masyarakat adat yang kehidupannya bergantung pada kelestarian alam.

Fordek FH PTM menegaskan, Raja Ampat adalah episentrum keanekaragaman hayati laut dunia dan merupakan kawasan strategis pariwisata nasional yang harus dilindungi. Aktivitas pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seperti Raja Ampat secara inheren membawa risiko kerusakan lingkungan yang masif dan tidak dapat dipulihkan (irreversible).

Atas dasar itu, dengan berlandaskan pada prinsip keadilan, penegakan hukum, dan amanat konstitusi, Fordek FH PTM se-Indonesia menyatakan sikap.

Pertama, aktivitas Pertambangan di Raja Ampat Bertentangan dengan Undang-Undang yang Berlaku. Secara yuridis, Pasal 35 huruf k Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara tegas dan imperatif menyatakan:

“Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Setiap Orang secara langsung atau tidak langsung dilarang: … k. melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.”

“Larangan ini bersifat mutlak apabila kegiatan pertambangan berpotensi menimbulkan kerusakan. Mengingat karakter ekologis Raja Ampat yang sangat rentan, setiap aktivitas tambang mineral di sana jelas memenuhi unsur-unsur larangan dalam pasal tersebut,” jelas Dr Faisal SH MHum, Ketua Fordek FH PTM.

“Oleh karena itu, setiap izin yang pernah diterbitkan dan aktivitas yang masih berlangsung adalah bentuk pelanggaran hukum positif,” imbuhnya.

Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi Menegaskan Ancaman Kerusakan Permanen di Pulau Kecil. “Sikap kami diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menegaskan bahaya pertambangan mineral di pulau-pulau kecil. MK menggarisbawahi bahwa daya dukung dan daya tampung lingkungan pulau kecil sangat terbatas, sehingga eksploitasi tambang dapat menimbulkan kerusakan yang tidak bisa pulih (irreversible),” ujar Faisal.

“Putusan ini secara eksplisit mengafirmasi bahwa aktivitas semacam itu melanggar prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan prinsip keadilan antargenerasi (intergenerational justice), yang merupakan pilar utama dalam hukum lingkungan modern dan hak asasi manusia. Negara wajib melindungi hak generasi mendatang untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat,” tambahnya.

Ketiga, telah Terjadi Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Fordek FH PTM menilai, konflik ini bukan sekadar isu lingkungan, tetapi juga merupakan isu hak asasi manusia (HAM). Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dijamin oleh Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, serta perlindungan terhadap tanah adat yang tertuang dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 Kerusakan ekosistem pesisir dan laut di Raja Ampat secara langsung merampas hak hidup masyarakat lokal dan adat yang menggantungkan diri pada sektor perikanan dan pariwisata berbasis alam.

Fordek FH PTM menyebut pencemaran lingkungan, hilangnya mata pencaharian, dan potensi terusiknya ruang hidup masyarakat adat adalah bentuk nyata dari pelanggaran HAM yang disponsori oleh kepentingan ekonomi sesaat.

Keempat, kegagalan negara dalam menjalankan fungsi perlindungan. Menurut Fordek FH PTM, berlanjutnya operasi PT GAG Nikel, meskipun telah ada landasan hukum yang kuat untuk melarangnya, menunjukkan adanya kelemahan dalam penegakan hukum dan pengawasan oleh negara. “Ini mencerminkan abainya pemerintah terhadap amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Negara seharusnya hadir sebagai pelindung utama kelestarian lingkungan dan hak-hak warganya, bukan justru memfasilitasi kegiatan yang destruktif,” tegas Faisal.

Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, Fordek FH PTM mendesak Pemerintah Pusat, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Pemerintah Daerah Papua Barat Daya untuk menghentikan secara total dan permanen seluruh aktivitas pertambangan nikel oleh PT GAG Nikel di Raja Ampat dan mencabut segala izin yang masih tersisa tanpa terkecuali.

Fordek FH PTM juga meminta aparat Penegak Hukum, khususnya Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung, untuk melakukan investigasi dan penegakan hukum yang tegas terhadap dugaan operasi ilegal serta potensi kerugian negara dan kerusakan lingkungan yang telah terjadi, sesuai dengan prinsip polluter pays principle (pencemar membayar).

Selanjutnya, Fordek FH PTM mendesak
Pemerintah dan Pihak Perusahaan untuk segera menyusun dan melaksanakan program rehabilitasi dan restorasi ekosistem yang telah rusak akibat aktivitas pertambangan sebagai bentuk pertanggungjawaban mutlak.

Terakhir, Fordek FH PTM seluruh elemen masyarakat sipil, akademisi, dan media massa untuk terus mengawal kasus ini demi memastikan tegaknya hukum, keadilan ekologis, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia di Raja Ampat.

“Itulah beberapa poin pernyataan sikap ini kami sampaikan sebagai bentuk tanggung jawab moral dan intelektual kaum akademisi dalam mengawal tegaknya supremasi hukum dan konstitusi demi keberlanjutan ekologis dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” pungkas Faisal. (*)

Exit mobile version