Site icon TAJDID.ID

Empat(i)

Foto Ilustrasi.

Oleh: M. Risfan Sihaloho

 

Belakangan ini, kasus perebutan 4 (empat) pulau antara Aceh dan Sumatera Utara ramai jadi sorotan publik dan memicu polemik di tengah-tengah masyarakat. Jika tidak segera diselesaikan secara bijak dan adil, dikhawatirkan kasus ini berpotensi makin melebar dan memunculkan konflik yang serius, bahkan bukan tidak mungkin berdampak membangkitkan kembali “luka lama”.

Apa sebenarnya yang diperebutkan di keempat pulau itu? Entahlah. Hingga kini publik masih kepo dan bertanya-tanya. Namun yang jelas, dengan eskalasi perseteruan yang begitu memanas antara Aceh dan Sumut yang ribut berebut dan saling klaim, telah memunculkan dugaan ada sesuatu yang sangat berharga terpendam di keempat pulau kecil itu. Apalagi setalah muncul narasi solutif “pengelolaan secara bersama-sama”, semakin menguatkan dugaan itu.

Terlepas dari itu semua, terjadinya konflik perebutan empat pulau ini pantas untuk kita sesali. Penulis melihat konflik ini menunjukkan bahwa pemerintah kita kurang—atau sama sekali tidak memiliki empati, yakni kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain, baik itu perasaan, pikiran, atau pengalaman.

Karena ketiadaan empati ini, pemerintah menjadi begitu kaku dan banal dalam membuat kebijakan. Alih-alih menciptakan kemaslahatan bersama, justru memicu konflik yang berujung kemudharatan.

Dalam kasus ini, pemerintah pusat (Kemendagri) sepertinya kurang memiliki kepekaan, terutama dalam memahami perasaan masyarakat Aceh yang nota-bene memiliki sejarah kekecewaan dalam bingkai relasi kebangsaan Indonesia. Ketidakpekaan pemerintah ini terlihat dari cara mereka yang terkesan menganggap enteng persoalan ini dengan menyebutnya soal adminstratif saja.

Disaat pemerintah dan rakyat daerah (Aceh dan Sumut) cenderung bersikap chauvinistik lebih menonjolkan rasa memiliki (sense of belonging) yang berlebihan dan sempit, pemerintah pusat harusnya hadir dan tampil sebagai penegah yang bijak mengedepankan prinsip keadilan.

Politik Ruang

Konflik kasus perebutan empat pulau ini secara eksplisit menunjukkan bahwa selama ini orientasi budaya politik kita nyatanya cenderung lebih menggandrungi “politik ruang”, dimana  hiruk-pikuk kehidupan politik kita hanya berkutat pada persoalan berebut lapak, zona, terotarial dan kursi kekuasaan semata.

Terkait hal ini, menarik sekali apa yang ditulis Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial (2003). Dia mengatakan, bahwa sejauh ini seluruh energi dan perhatian bangsa ini seakan-akan terkuaras habis untuk sebuah politik ruang atau politik wilayah (geo-politics), berupa klaim-klaim baru atas wilayah, daerah, atau teritorial (provinsi, kabupaten dan kecamatan) dengan segala kekayaan sumber daya  di dalamnya (alam, manusi dan budaya).

Selain itu, lanjut Yasraf, apa yang sesungguhnya juga tengah terjadi di atas tubuh bangsa ini adalah politik segmentasi (politic of segmentary) tanpa akhir, berupa kegandrungan untuk mengklaim dan mengkapling teritorial menjadi segmen-segmen provinsi, kabupaten dan kecamatan, baik yang didorong oleh politik, ekonomi maupun kultural.

Pada hal, secara empiris kita melihat hasil dari tradisi geopolitik hanya menghasilkan segmentasi murni, yang setelah klaim otonomi diperoleh sesungguhnya tidak ada yang berubah kecuali peralihan kekuasaan semata. Bahkan  yang terjadi justru adalah semacam duplikasi model geopolitik pusat yang dulunya di daerah di tolak.

Glamor politik ruang juga marak terjadi di atas pentas politik praktis kita belakangan ini, dimana pelbagai kekuatan kepentingan  politik dengan sengitnya bertarung memperebutkan ruang-ruang kekuasan yang ada di zona eksekutif maupun legislatif.

Begitu juga dengan perilaku yang ditunjukkan oleh rezim penguasa, mereka sepertinya juga masih lebih mementingkan kebijakan politik ruang ketimbang politik waktu. Diantaranya yang teranyar dapat kita lihat bagaiman ngototnya pemerintah mengagendakan pemindahan ibu kota baru di tengah situasi dan kondisi ekonomi bangsa yang masih begitu sulit. (*)

Exit mobile version