Site icon TAJDID.ID

Urgensi Penerapan Kebijakan Cukai atas MBDK di Indonesia

Oleh: Padian Adi Salamat Siregar

Edukasi tentang bahaya konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan sudah sering dilakukan oleh kalangan medis dan pemerintah. Namun, edukasi tersebut menjadi lebih menantang karena sudah banyak masyarakat yang mengalami masalah adiksi gula. Konsumsi minuman berpemanis yang berlebihan telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang signifikan di Indonesia.

Menurut data dari Laporan Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023, rata-rata konsumsi minuman manis berdasarkan kelompok usia adalah 45%-51% untuk frekuensi ≥ 1 kali per hari, 37%-48% untuk 1-6 kali per minggu, dan 4%-17% untuk ≤3 kali per bulan (Kemenkes, 2023). Angka ini menunjukkan bahwa kebiasaan mengonsumsi minuman manis sudah menjadi bagian dari pola makan sehari-hari. Hal ini sangat mengkhawatirkan mengingat konsumsi minuman berpemanis yang berlebihan terkait dengan berbagai penyakit tidak menular seperti obesitas, diabetes, dan penyakit kardiovaskular.

Penelitian menunjukkan bahwa asupan gula yang tinggi, terutama dari minuman manis, berkontribusi pada peningkatan risiko obesitas dan penyakit metabolik lainnya. Asupan gula dalam minuman berhubungan langsung dengan obesitas pada remaja, di mana minuman manis dapat meningkatkan berat badan dan berkontribusi pada risiko penyakit kronis seperti diabetes dan perlemakan hati (Luwito & Santoso, 2022).

Selain itu, kebiasaan konsumsi gula berlebih berhubungan dengan kejadian diabetes melitus, dengan data yang menunjukkan bahwa 58% responden mengonsumsi gula secara berlebihan (Gani, 2023).

Dampak kesehatan dari konsumsi minuman manis juga mencakup risiko penyakit jantung dan ginjal. Konsumsi minuman berenergi, yang sering kali mengandung gula tinggi, dapat menyebabkan penyakit jantung dan gagal ginjal kronik jika dikonsumsi dalam jangka panjang (Hamidah & Riesfandiari, 2022).

Konsumsi minuman manis dapat mengurangi sensitivitas insulin, yang berkontribusi pada peningkatan kadar gula darah dan meningkatkan risiko prediabetes di kalangan remaja (Putra et al., 2021). Hal ini menunjukkan bahwa minuman manis tidak hanya berkontribusi pada obesitas tetapi juga dapat memicu gangguan metabolik yang lebih serius. konsumsi gula berlebih juga dikaitkan dengan peningkatan risiko hipertensi. Pola makan yang tidak sehat, termasuk konsumsi gula berlebih, merupakan faktor risiko utama untuk hipertensi, yang dapat berujung pada komplikasi kesehatan yang lebih serius (Sukri, 2024).

 

Bersambung ke Halaman 2

Dalam perspektif ekonomi, penelitian menunjukkan bahwa konsumsi minuman manis yang tinggi berhubungan dengan peningkatan risiko masalah kesehatan yang pada gilirannya dapat meningkatkan biaya kesehatan yang ditanggung baik oleh individu maupun masyarakat secara keseluruhan. Tingginya prevalensi penyakit terkait gaya hidup yang disebabkan oleh konsumsi minuman berpemanis dapat memberikan beban ekonomi yang besar bagi sistem kesehatan dan masyarakat.

Oleh karena itu, diperlukan upaya pengendalian konsumsi minuman berpemanis melalui kebijakan cukai sebagai instrumen untuk mengurangi dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat. Cukai adalah pajak yang dikenakan pada barang-barang tertentu yang dianggap memiliki dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat atau lingkungan, serta barang-barang yang dianggap mewah.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, cukai didefinisikan sebagai pungutan negara yang dikenakan terhadap barang tertentu yang dikonsumsi di dalam negeri, baik yang diproduksi di dalam negeri maupun yang diimpor.

Cukai bertujuan untuk mengendalikan konsumsi barang-barang tersebut serta untuk meningkatkan penerimaan negara. Cukai juga berfungsi sebagai instrumen kebijakan publik untuk mengurangi konsumsi barang-barang yang berpotensi merugikan kesehatan masyarakat, seperti minuman manis yang mengandung gula tinggi. Dalam konteks ini, pemerintah dapat menggunakan cukai sebagai alat untuk mengatur perilaku konsumsi masyarakat dan mendorong gaya hidup yang lebih sehat.

Studi di negara-negara yang telah menerapkan cukai pada minuman berpemanis, seperti Meksiko dan Berkeley, California, menunjukkan penurunan konsumsi minuman manis setelah kebijakan ini diberlakukan. Sebagai contoh, penelitian di Berkeley mengungkapkan bahwa pengenaan pajak sebesar $0,01 per ons pada minuman berpemanis mampu menurunkan konsumsi sebesar 9,6% dalam jangka waktu satu tahun (Falbe et al., 2016). Temuan ini mengindikasikan bahwa kebijakan cukai dapat menjadi instrumen yang efektif untuk mengubah perilaku konsumsi masyarakat dan mendorong mereka beralih ke pilihan minuman yang lebih sehat, seperti air atau minuman rendah kalori.

Pengenaan cukai pada minuman berpemanis juga dapat menghasilkan pendapatan tambahan bagi pemerintah, yang dapat dimanfaatkan untuk mendanai program-program kesehatan masyarakat. Hasil dari pajak ini dapat dialokasikan untuk menjalankan inisiatif yang bertujuan meningkatkan kesadaran akan pola makan yang sehat dan mengurangi prevalensi penyakit terkait konsumsi gula, seperti diabetes dan penyakit kardiovaskular (Wang et al., 2012). Dengan demikian, pengenaan pajak pada minuman manis tidak hanya berfungsi sebagai alat pengendalian konsumsi, tetapi juga sebagai sumber dana untuk mendukung program kesehatan yang lebih luas.

Penelitian ini bertujuan untuk bagaimana penerapan cukai minuman berpemanis dapat menjadi instrumen kebijakan yang efektif dalam mengendalikan konsumsi minuman manis dan mengurangi dampak kesehatan yang merugikan bagi masyarakat di Indonesia. Kebijakan cukai ini diharapkan dapat menekan konsumsi minuman dengan kandungan gula yang tinggi dan mendorong masyarakat untuk beralih ke minuman yang lebih sehat, sehingga dapat menurunkan risiko penyakit tidak menular yang terkait dengan konsumsi gula berlebih, seperti obesitas, diabetes, dan penyakit kardiovaskular.

Bersambung ke Halaman 3

Konsep Cukai Dalam Pengendalian Konsumsi

Cukai, menurut Undang-Undang Republik Indonesia, diatur dalam Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007. Cukai didefinisikan sebagai iuran wajib yang terutang kepada negara oleh orang pribadi atau badan sebagai wajib pajak, yang dipungut berdasarkan undang-undang, tanpa timbal balik secara langsung, dan bersifat wajib.

Cukai memiliki beberapa ciri utama yang membedakannya dari jenis pajak lainnya.

Pertama, cukai merupakan iuran wajib yang menjadi kewajiban warga negara atau badan usaha untuk dibayarkan kepada negara, tanpa adanya imbalan langsung kepada pembayar.

Kedua, cukai dikenakan pada barang-barang tertentu yang dianggap memiliki dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan, seperti rokok, minuman beralkohol, dan produk dengan kandungan gula tinggi.

Ketiga, pengenaan cukai diatur melalui undang-undang, sehingga harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Keempat, cukai berfungsi sebagai alat untuk mengendalikan konsumsi barang-barang tersebut, serta sebagai sumber pendapatan bagi negara yang digunakan untuk mendanai program-program publik.

Tujuan pengenaan cukai mencakup beberapa aspek penting dalam kebijakan publik. Cukai bertujuan untuk mengendalikan konsumsi barang-barang tertentu yang dianggap merugikan, seperti rokok, minuman beralkohol, dan produk yang mengandung gula tinggi, dengan harapan dapat mengurangi dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan.

Cukai dapat berfungsi sebagai sumber pendapatan bagi negara, yang dapat digunakan untuk mendanai berbagai program dan layanan publik, termasuk kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Pengenaan cukai juga bertujuan untuk mendorong produsen untuk mengurangi kadar zat berbahaya dalam produk mereka, sehingga menciptakan alternatif yang lebih sehat bagi konsumen.

Selain itu, cukai dapat berfungsi sebagai alat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang risiko kesehatan yang terkait dengan konsumsi barang tertentu, sehingga mendorong perilaku hidup sehat. Cukai tidak hanya berfungsi sebagai alat fiskal, tetapi juga sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan sosial dan kesehatan yang lebih komprehensif.

Pengenaan cukai atas minuman berpemanis dapat dilihat sebagai intervensi ekonomi. Dari perspektif ekonomi, pengenaan cukai bertujuan untuk menginternalisasi eksternalitas negatif yang ditimbulkan oleh konsumsi berlebihan. Aspek sosial dan budaya turut berperan penting dalam keberhasilan kebijakan ini.

Tidak hanya diimplementasikan, kebijakan cukai harus disertai dengan kampanye edukasi yang menjelaskan manfaat pengurangan konsumsi minuman berpemanis. Selanjutnya, Evaluasi dan pemantauan yang berkelanjutan terhadap dampak kebijakan cukai juga sangat krusial. Tanpa adanya evaluasi yang tepat, efektivitas kebijakan dapat menurun seiring berjalannya waktu.

Implementasi Cukai Minuman Berpemanis Di ASIA Tenggara

Di kawasan Asia Tenggara, saat ini terdapat tujuh negara yang memberlakukan cukai MBDK. Kamboja dan Laos adalah yang pertama memperkenalkan cukai MBDK pada tahun 1997 dan 2005. Brunei, Thailand, Filipina, dan Malaysia memperkenalkan cukai MBDK antara tahun 2017 dan 2019. Timor-Leste baru-baru ini memperkenalkan cukai MBDK pada tahun 2023.

Sistem tarif cukai MBDK di Asia Tenggara dapat dikelompokkan menjadi dua: tarif ad-valorem (Kamboja, Laos), dan tarif spesifik (Brunei, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Timor-Leste). Kamboja mengikuti struktur ad-valorem dengan tarif yang seragam, sementara Laos juga menggunakan struktur ad-valorem dengan tarif berjenjang berdasarkan jenis minuman.

 

Bersambung ke Halaman 4

Konsumsi dan Dampak Kesehatan

Minuman berasa, khususnya rasa manis, seolah sudah menjadi tradisi bahkan budaya sebagian besar masyarakat Indonesia. Bahkan minuman manis dianggap suatu nilai lebih dan kemewahan, dari pada air putih, atau sekadar teh tawar hangat. Kini fenomena minuman manis makin kuat, makin menjadi kegandrungan masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak, remaja, dan generasi muda. Penguatan fenomena ini tersebab oleh adanya intervensi korporasi melalui iklan, promosi, dan sponsorship di semua lini media.

Dengan gempuran iklan dan promosi ini makin meneguhkan bahwa minuman manis menjadi ikon dalam berkonsumsi, bahkan dalam pergaulan sosial. Oleh karena itu YLKI melakukan survei “Konsumsi Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) di 10 Kota”. Survei dilakukan pada awal-pertengahan Juni 2023, di 10 kota di Indonesia, meliputi: Medan, Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogya, Surabaya, Balikpapan, Makassar dan Kupang.

Survei dilakukan dengan cara wawancara, pemilihan responden secara acak berjenjang, dari mulai tingkat kelurahan, RT/RW, kemudian memilih rumah tangga, dan memilih individu. Responden adalah orang yang pernah mengonsumsi minuman manis dalam kemasan dalam sebulan terakhir. Total responden yang terjaring adalah 800 responden, dan masing masing RT dijaring 10 responden.

Sumber: YLKI, 2023

Terlihat dalam hasil survey, Anak dan remaja Indonesia gemar mengkonsumsi minuman berpemanis dalam kemasan. Terbukti 1 dari 4 (25,9 persen) anak usia kurang dari 17 tahun mengkonsumsi MBDK setiap hari, bahkan 1 dari 3 (31,6 persen) anak mengkonsumsi MBDK 2-6 kali dalam seminggu. Tentu ini fenomena yang sangat mengkhawatirkan. Kemudahan akses terhadap MBDK menjadi faktor penting dalam tingginya konsumsi. Warung atau toko kelontong di sekitar rumah menjadi pilihan utama pembelian, karena jarak dan waktu tempuh yang singkat. Hal tersebut dapat disebabkan oleh tidak adanya aturan produksi dan distribusi. Regulasi yang mengatur pemasaran produk-produk berpemanis kepada anak-anak dan remaja dapat membantu mengurangi dampak pemasaran agresif.

 

Bersambung ke Halaman 5

Berdasarkan temuan lain, konsumsi minuman berpemanis, termasuk minuman berkarbonasi, teh manis, dan minuman energi, telah mengalami kenaikan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Buwana menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ketiga tertinggi di Asia Tenggara dalam hal konsumsi minuman berpemanis, dengan rata-rata konsumsi mencapai 20,23 liter per orang per tahun.

Sementara itu, 62% anak-anak, 72% remaja, dan 61% dewasa dilaporkan mengonsumsi minuman berpemanis setidaknya sekali dalam seminggu Buwana (2023). Selanjutnya, penelitian Veronica et al. mengungkapkan bahwa konsumsi salah satu jenis minuman manis, yaitu teh susu, meningkat secara signifikan hingga 8500% sejak tahun 2018. Veronica et al. (2022). Peningkatan ini tidak hanya mencerminkan perubahan preferensi konsumen, tetapi juga menunjukkan dampak dari pemasaran yang agresif dan tren sosial yang mempengaruhi kebiasaan konsumsi. Penelitian ini menunjukkan bahwa minuman manis telah menjadi bagian integral dari pola makan sehari-hari, terutama di kalangan remaja yang lebih rentan terhadap pengaruh media sosial dan iklan.

Sementara itu, studi yang dilakukan oleh Azizah menganalisis hubungan antara konsumsi minuman manis dengan obesitas di kalangan dewasa di Jawa Timur Azizah (2022). Data dari Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi minuman manis berkontribusi terhadap masalah kesehatan yang lebih besar, termasuk obesitas dan diabetes.

Penelitian ilmiah mengungkapkan bahwa konsumsi minuman berpemanis, yang sering kali tinggi dalam kalori namun rendah dalam kandungan nutrisi, memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan risiko obesitas dan diabetes mellitus tipe II. Kajian literatur terdahulu menunjukkan bahwa asupan minuman berpemanis yang kaya akan gula, seperti minuman boba, terkait secara positif dengan kejadian obesitas dan komplikasi metabolik, termasuk diabetes mellitus tipe II (Veronica et al., 2022).

Penelitian lain juga membuktikan bahwa minuman berpemanis kemasan, yang merupakan sumber kalori tinggi, dapat meningkatkan risiko penyakit tidak menular, seperti obesitas dan diabetes (Sari et al., 2021). Di kalangan remaja, asupan gula yang berlebihan dari minuman ini telah terbukti meningkatkan prevalensi obesitas. Dalam sebuah penelitian, 25% siswa melaporkan asupan gula yang melebihi rekomendasi (Luwito & Santoso, 2022).

Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan di Jakarta Barat menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara asupan gula dalam minuman dengan kejadian obesitas pada remaja, dengan hasil analisis menunjukkan p<0,05 (Luwito & Santoso, 2022). Studi lainnya menunjukkan bahwa pemahaman mengenai konsumsi minuman berpemanis berkaitan dengan status gizi remaja, di mana asupan yang tinggi minuman manis berkontribusi terhadap risiko obesitas. (Rahmawati et al., 2023).

Selain itu, perilaku konsumsi minuman berpemanis di kalangan dewasa juga menunjukkan keterkaitan yang signifikan dengan kadar glukosa darah, yang dapat menjadi penanda awal terjadinya diabetes (Hifayah et al., 2018). (*)

Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Exit mobile version