TAJDID.ID~Medan || Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) resmi mengusung Edy Rahmayadi sebagai Calon Gubernur Sumatera Utara. Seperti apa peluang Edy melawan super koalisi yang mengusung Bobby Nasution di Pilkada Sumatera Utara.
Pemerhati politik Shohibul Anshor Siregar mengatakan, walau last minutes “ditinggal” Partai Keadilan Sejahtera (PKS), namun jika ternyata, akhirnya, telah diputuskan bahwa PDIP mengusung Edy Rahmayadi, maka itu bermakna partai berlambang Moncong Putih telah menolak semua bujukan berkoalisi membangun sebuah Kotak Kosong untuk memuluskan dinasti Joko Widodo di Sumatera Utara.
“Ini peristiwa demokrasi yang sangat penting di tengah gejala kuat backsliding democracy (kemunduran demokrasi) di tangan Joko Widodo,” ujar dosen FISIP UMSU ini, Sabtu (10/8).
“Selain itu saya kira PDI-P telah melakukan telisik kritis yang menyeluruh, tak hanya sebatas popularitas dan elektabilitas, terhadap semua figur yang mendaftar dan pada akhirnya menyadari plus-minusnya,” imbuhnya.
Menurut Shihibul, peluang Edy Rahmayadi besar dilihat dari berbagai perspektif.
Pertama, Edy adalah petahana yang memiliki kemiripan dengan posisi politik Joko Widodo menjelang Pilpres 2019. Waktu itu Joko Widodo menempati popularitas dan elektabilitas tertinggi di antara figur yang mengemuka. Meskipun demikian, terdapat persentase penduduk yang menginginkannya untuk tidak kembali memimpin.
“Edy Rahmayadi dikehendaki oleh rakyat untuk melanjutkan kepemimpinannya pada periode kedua, meski terdapat suara yang bertentangan,” kata Shohibul.
Pada tahun 2014-2019 Jokowi fokus pada infrastruktur dan konsolidasi menghadapi masalah Covid-19, sedangkan pada tahun 2019-2023 Edy Rahmayadi menghadapi masalah yang sama, yakni Covid-19 dan rekonstruksi untuk new-normal. Fokus program unggulan Edy Rahmayadi relatif sama, yakni pada infrastruktur dan pendidikan.
“Kalau bukan fenomena universal di negara yang berusaha menjalankan demokrasi, kepetahanaan selalu sangat penting dalam budaya rivalitas politik di Indonesia.
Pada Pilkada serentak 2024, seluruh provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia akan potensil mengunggulkan petahana, karena jejak rekam mereka,” tegasnya.
Memang akan ada negative campaign untuk itu. Namun bahkan black campaign sekalipun tak selalu berhasil karena umumnya sangat mudah diketahui oleh pemilih bahwa narasi diramu hanya untuk kepentingan penantang dan bukan atas dasar objektivitas.
Kedua, Indonesia telah menunjukkan keajegan peristiwa kesenjangan antara akumulasi suara parpol dan gabungan parpol dalam pemilu dengan perolehan suara pasangan dalam pilkada.
“Koalisi besar tidak menjadi jaminan,” ujar Shohibul.
Shohibul melihat, tingkat independensi pemilih tidak selalu begitu berhasil diintervensi oleh partai-partai dalam pilkada, karena perbedaan aspirasi dan kepentingan.
Dijelaskannya, pada satu sisi partai lebih mementingkan kekuasaan dan reward awal berupa materi dan janji kekuasaan yang dipersembahkan oleh figur yang diusung dan jejaring kekuasaan di belakangnya. Pada pihak lain pemilih lebih mementingkan hak-hak konstitusional mereka untuk beroleh pemimpin yang berintegritas.
“Sebetulnya, partai dan gabungan partai sangat menyadari masalah ini. Mereka hanya terjebak dalam perburuan kekuasaan dan materi yang tidak pernah terkspose luas,” ujar Shohibul.
Ketiga, mungkin ada orang yang berusaha membandingkan mudahnya Bobby Nasution menjadi calon Walikota Medan dan menang pada tahun 2020 yang lalu. Tetapi, kata Shohibul, jangan pernah lupa bahwa bukan hanya suasananya yang akan jauh berbeda, melainkan respek terhadap kekuasaan yang juga sudah sangat jauh berubah saat ini dan apalagi saat pilkada digelar 27 Nopember nanti.
Shohibul memaparkan laporan khusus Majalah TEMPO baru-baru ini, dimana rezim Joko Widodo selama sepuluh tahun disebut telah mencatatkan 18 Dosa.
“Peradilan Rakyat Luar Biasa menggugat Nawadosa Joko Widodo. Film dokumenter Dirty Vote yang tak terbantahkan telah menjadi milik publik. Meski belakangan baru disuarakan oleh para guru besar dari kampus, namun apa yang dipermasalahkan sejak lama oleh para Ketua BEM perguruan tinggi antara lain tentang fenomena anomali lips Service Joko Widodo, akhirnya terkonfirmasi,” kata Shohibul.
Meskipun demikian, menurut Shohibul Edy Rahmayadi harus segera bergerak cepat membina jaringan yang diawaki para insan demokrasi ulet yang mampu menjaga setiap suara di TPS dan arus perjalanannya hingga ke perhitungan akhir di KPU.
“Bahkan Daftar Pemilih Tetap harus disisir agar tidak ada peluang bermain curang,” sebutnya.
Bukan cuma itu, sebagai langkah antisipasi, Shohibul menyarankan Edy Rahmayadi harus mempersiapkan sebaik-baiknya data akurat untuk menghadapi potensi kecurangan yang mungkin saja urusannya harus ditempuh melalui PHPU pada Mahkamah Konstitusi. (*)