TAJDID.ID~Medan || Peran maksimal para da’i sangat diharapkan dalam meningkatkan kesadaran umat untuk merevitalisasi zakat sebagai upaya penguatan dan pemberdayaan umat (empowering) umat”.
Demikian disampaikan Prof Dr H Mohd. Hatta, Ketua Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Sumatera Utara saat menjadi keynote speaker dalam Dialog Ramadahan Perhimpunan Masayarakat Dakwah Indonesia (PMDI), tanggal 7 April 2024/27 Ramadhan 1445 H, yang bertajuk “Peran Dâ’i dalam Mendorong Umat Menunaikan Zakat” di Ruang Vip RM. Wong Solo Jl. Gajah Mada Medan.
Lebih lanjut ulama dan mujahid dakwah ini mengatakan, bahwa potensi zakat nasional sepatutnya akan dapat memiliki fungsi dan peran penting dalam pengentasan kemiskinan di negeri ini bila pengumpulan, regulasi, dan penyalurannya dimaksimalkan dan direvitalisasi.
“Lihat saja, potensi zakat nasional sebesar 473 Triliun Rupiah dengan pencapaian 2023 sebesar 367 Triliun Rupiah. Sementara potensi zakat di Sumatera Utara sebesar 8,9 Triliun Rupiah dengan capaian setengah Triliun Rupiah. Sesuai tupoksi yang ditetapkan dan amanah yang diberikan, BAZNAS mengupayakan pencapaian visi ‘Aman Syar’i, Aman Regulasi, dan Aman NKRI’ agar zakat betul-betul dapat menjadi instrumen pemberdayaan umat,” jelas Prof Hatta.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa jika terus dimaksimalkan pengumpulan, ditingkatkan kualitas regulasi dan penyaluran, maka zakat nasional akan memiliki peran yang signifikan dalam pengentasan kemiskinan. “Hal tersebut karena salah satu problema kita adalah bahwa kenyataannya penduduk terbesar negeri ini adalah umat Islam, pada saat yang sama yang menjadi mustahiq zakat terbanyak adalah juga umat Islam,” jelasnya.
“Menyadari hal itu, demikian ulama dan da’i yang memiliki kewibawaan yang tinggi ini mengatakan, maka peran para dâ’i yang demikian penting dalam masyarakat perlu terus ditingkatkan untuk membangun kesadaran baru di tengah masayarakat bahwa zakat merupakan instrument strategis dalam pemberdayaan umat dan pengentasan kemiskinan di negeri ini,” tambahnya.
Prof Hatta juga menyinggung bahwa salah satu upaya Baznas dalam peningkatan pengumpulan zakat adalah dengan menyelenggarakan program ‘Sahabat Baznas”, program yang mengundang para dâ’i untuk ikut mengajak dan mendaftarkan para muzakki baru, dan para Sahabat Baznas itu dicatat sebagai mitra Baznas yang mendapat perhatian khusus.
Mengembangan Koridor Zakat
Sementara itu para nara sumber yang tampil dalam dialog tersebut mengetengahkan gagasan-gagasan dan pemikiran yang sangat brilian tentang bagaimana upaya revitalisasi zakat sebagai instrument penguatan umat.
Dr. H. Sori Monang, M.Th, Ketua Perhimpunan Masyarakat Dakwah Indonesia Kota Medan, Cendekiawan Muslim dan akademisi UIN Sumatera Utara, dalam makalahnya yang berjudul “Menumbuhkan Kesalehan Sosial Umat’ mengatakan, bahwa salah satu upaya untuk meningkatkan peran zakat sebagai instrument penguatan umat adalah meningkatkan kesadaran di kalangan umat ini bahwa Muslim sejati bukanlah ‘âbid dalam arti memiliki kesalehan pribadi ansich tetapi juga ‘âbid sosial’ dalam arti memiliki kesalehan sosial yang tinggi.
“Kesalehan sosial akan menyembulkan kesadaran untuk mengeluarkan zakat, infaq,. dan sedekah oleh umat yang memiliki kemampuan, sehingga potensi zakat yang demikian besar akan menjadi aktual dan perperan penting dalam pengauatan umat,” jelas Sori Monang.
Lebih jauh akademisi UIN Sumatera Utara ini mengatakan bahwa kesalehan sosial, khususnya dalam penunaian zakat akan mengantarkan seseoranag menjadi manusai yang dicita-citakan Islam yakni pribadi Muslim yang paling baik, manusia yang paling bermanfaat bagi orang lain.
Pada saat yang sama, Drs. Shohibul Anshor Siregar, MA, Wakil Ketua Perhimpunan Masyarakat Dakwah Indonesia Sumatera Utara menguraian dengan luas bagaimana evolusi sejarah praktik zakat; yang dimulai dari asal mula dan awal penerapan zakat, kemudian zakat pada masyarakat Muslim awal, kekhalifahan dan pelembagaan zakat, permadani praktik zakat modern, zakat di era digital, dan gerakan zakat global.
Lebih jauh sosiolog ini menelusuri bagaimana komitmen pemerintah terhadap zakat sebagai instrumen pemberdayaan umat dan pengentasan kemiskinan. Dan salah satu temuannya adalah bahwa pemerintah secara formal telah menempatkan zakat sebagai salah satu instrumen pengentasan kemiskinan.
“Namun, atensi para pejabat mengenai hal yang penting ini masih sangat rendah. Kementerian Keuangan misalnya, memberi narasi yang sangat kurang mengenai zakat, sehingga peran para dâ’i sangat diharapkan untuk membangkitkan kesadaran para pejabat negara mengenai peran strategis lembaga pemberdayaan umat ini di masa yang akan datang,” ungkap Shohibul.
Dakwah yang Membebaskan
Dalam dialog yang dihadiri para dâ’i, para ustadz, cendekiawan, dan praktisi ekonomi Islam itu Prof. Dr. Syahrin Harahap, MA, Guru Besar UIN Sumatera Utara, Ketua Perhimpunan Masyarakat Dakwah Indonesia, mengatakan, bahwa jika membicarakan zakat, hal itu bukanlah kepentingan para mustahiq (penerima zakat), bukan pula kepentingan Badan Amail Zakat Nasional (Baznas), apalagi kepentingan pemerintah ansich, melainkan kepentingan umat, penguatan umat, dan dengan demikian, adalah kepentingan para dâ’i itu sendiri.
Dikatakan demikian, kata Prof Syahrin, karena dakwah Islam adalah ‘dakwah pembebasan’ dan dakwah pembebasan itu salah satu instrumennya adalah zakat.
“Saat ini kita seakan sedang hidup dalam ‘suasana perang’; perang antara kebaikan dan keburukan, perang antara hitam dan putih, serta perang anatara iblis dan malaikat. Dalam perang tersebut, umat Islam sudah banyak yang tertawan; tertawan oleh musuh keimanan yaitu para tokoh yang mensponsori keburukan, tertawan oleh suasana hitam dan kegelapan, tertawan oleh tipu muslihat yang dimainkan oleh mereka yang menjadi sekutu iblis dan setan. Selain itu juga tertawan oleh segala macam yang menciderai misi suci para ulama, kaum dâ’i, dan asâtîdz. Semuanya itu dikarenakan kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami kebanyak umat, sehingga mereka sulit bergerak dan dipersatukan,” ungkap Prof Syahrin.
Dalam suasana yang demikian, maka menurut Prof Syahrin, para ulama, dâ’i, demikian para ulama
dan asâtîdz seolah-oleh kehilangan pasukan, sehingga perang melawan kebatilan seakan tidak pernah membuahkan hasil yang diimpikan.
“Logika inilah yang menyebabkan bahwa zakat bukanlah sekedar kepentingan mereka yang lemah (mustadh’afîn), pengurus BASNAS, dan pemerintah, melainkan kepentingan kollektif umat, terutama para ulama, usâtîdz, aghniyâ’, para pengusaha, dan cendekiawan Muslim,” ujar Prof Syahrin.
Hadir dalam dialaog tersebut Dr. H. Hasanuddin Dollah Hasibuan, MA, Ketua Dewan Fatwa Perhimpunan Masyarakat Dakwah Indonesia, dan Dr. H. Sultoni Trikusuma, MA, para pengurus Perhimpunan Masyarakat Dakwah Indonesia, para ulama, para asâtidz, praktisi ekonmi Islam, dan cendekiawan Muslim.
Para perserta dialog meneyepakati peningkatan peran para dâ’i dalam mendorong umat untuk menggeloran zaka di masa depan, sehingga institusi ajaran Islam ini betul-betul dapat menjadi gerakan pengentasan kemiskinan secara nasional, dan bahkan mondial. (AF)