Oleh: Tengku Muhammad Dhani Iqbal
Sejak 2012 saya tak lagi gunakan istilah “nusantara” dalam penulisan ataupun pembicaraan, kecuali ia telah menjadi nama lembaga atau bangunan. Ini istilah menyesatkan. Ia diandaikan sebagai nama suatu satuan wilayah pra-Indonesia, yang teritorinya serupa dengan Indonesia hari ini.
Sebelum Indonesia menjadi negara, kepulauan ini sebetulnya tak bernama dalam perspektif bumiputera. Itu kata Agus Arismunandar, arkeolog, ahli Majapahit. Dulu saya tak setuju, sekarang setuju. Semua urus negeri masing-masing. Adapun nama macam India Timur, India Belakang, India Belanda, itu perspektif Eropa/Belanda.
Meskipun nama Indonesia sudah ada sebagai akronim pada 1858, bentangan wilayahnya bukanlah macam hari ini. Ia terbentang dari Sumatera takat Formosa. Itu pun menurut orang jauh.
Indonesia hari ini sebetul-betulnya merujuk pada wilayah dimana Belanda ada, yang mereka sebut Kepulauan India. Bentangan Indonesia sebagai negara, Sabang sampai Merauke, pun dibuat oleh orang jauh juga, tentara. Namanya JB van Heutz.
Melantur sedikit. Saat hendak mengerucut menjadi satu negara, Sultan Hamid II dari Kalimantan Barat pernah meminta Hatta, delegasi RI Yogya, untuk tukar nama negaranya saat Konferensi Inter Indonesia (entah sebelum atau sesudah konferensi). “Kita akan bikin negara baru, namanya Republik Indonesia Serikat. Masak namanya Republik Indonesia juga.” Begitu kurang lebih Sultan Hamid II berucap.
Setelah faksi federal melemah, Sukarno pun bubarkan negara. Dia perluas RI Yogya itu hingga mencakup seluruh wilayah RIS. Bahkan, dia menyasar Papua. Mungkin ada janji batin untuk tunaikan hasrat van Heutz.
Kembali ke nusantara. Menurut ayah saya, istilah itu muncul di Medan pada periode 1950-an. Oleh bumiputera, ia dikenali sebagai istilahnya orang Komunis-Jawa.
Pelan-pelan orang terbiasa dengan istilah ini. Bahkan, kelak ia menjadi mata kuliah. Namanya Wawasan Nusantara, atau Kewiraan. Entahlah, saya lupa. Tapi dosennya selalu tentara.
Secara pribadi, saya mulai disadarkan akan problem istilah ini melalui buku Wallace, The Malay Archipelago, yang diterjemahkan menjadi Kepulauan Nusantara. Mengapakah Melayu ditukar menjadi Nusantara? Apakah keduanya identik? Atau penerjemah-editornya saja yang kurang pemahaman?
Tapi, seorang kawan, yang menerbitkan buku pada 2014, juga bercerita bahwa teks “di wilayah yang kemudian menjadi Indonesia” yang dia tulis pun ternyata ditukar menjadi nusantara, begitu saja.
Setelah periksa-periksa sedikit, barulah saya sadar, rupanya kerja-kerja penukaran nama ini sudah dimulai lama sekali, bahkan termasuk nama bahasanya. Ini bukan kebodohan penerjemah-editor. Mereka hanya penari saja. Orang mabuk biasa. Penabuh gendangnya pihak lain.
Dalam diskusi-diskusi dan tulisan-tulisan kebudayaan dan sejarah, istilah ini memang menjadi pintu masuk kebingungan. Karena diandaikan sebagai nama pra-Indonesia, yang teritorinya sama dengan Indonesia hari ini, ia membuat macam-macam kekacauan dalam hal mengenali periode-periode, geopolitik-geopolitik, geokultur-geokultur, dan semuanya.
Ini macam ada anak yang lahir di hari Jumat tapi disebarkan sudah ada di hari Senin sebelumnya. Dibelikan baju pertama di tanggal lima, tapi dikabarkan kemana-mana bahwa baju sudah ada tanggal dua.
Barangkali, ini sebab Taufik Abdullah gusar. Ahli sejarah dari Sumatera Barat itu geram karena orang-orang tak sadar bahwa Indonesia itu baru dibuat kemarin, dan kita yang bikin. “Kita” di sini tentu saja tak memuat saya di dalamnya, juga mereka yang pada periode 1940-an tengah hingga akhir belum lagi remaja atau dewasa. “Omong kosong besar kalau ada yang bilang Indonesia warisan nenek moyang,” begitu tuan guru itu berkata,
Maka, soal nusantara itu, saya pun bertanya pada tiga ahli ihwal pengertiannya. Tapi, rupanya tiga pula jawabannya.
Lalu saya membaca sedikit literatur tua dan surat-surat terbitan 1600-an sampai 1900-an tengah. Pun saya bertanya pada ahli-ahli lain. Salah satunya Mukhlis PaEni, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia, dari Sulawesi Selatan. Dan rupanya, istilah ini tak ada dalam khazanah literatur-literatur klasik kaum-kaum yang ada. Pertanyaan serupa juga selalu saya tanyakan ke manapun kaki melangkah, pada orang tua-tua, dan dengan jawaban yang sama.
Jika pun ada, karena tentulah tak semua literatur mampu/sempat saya baca, keganjilan takkan bisa ditepikan. Mengapa istilah “nusantara”, “nuswantara”, “Gajah Mada”, “Gajah Tunggal”, “Majapahit”, dll itu, bisa serupa dengan hasrat van Heutz? Atau, jangan-jangan itu klaim atas kerja keras penaklukan orang? Macam lembu punya susu, sapi dapat nama.
Tapi pengetahuan ini kadang-kadang bikin sakit kepala juga. Lantas, bagaimana jika sebuah nama dibutuhkan untuk masa silam? Misalnya, “bandar pelabuhan terbesar se…”, “produksi perkebunan terbesar se…”, atau “naskah-naskahnya telah tersebar se…”.
Jikalah tak hati-hati, saya akan masuk parit. Jika mengatakan “seindonesia” untuk masa silam itu, rasanya itu terlalu brutal. Gagal dalam mengurut kabel, kacau dalam menentukan hulu dan hilir.
Sebetulnya cerdik-cerdik pandai tahu akan hal ini. Hanya saja, yang mereka lakukan adalah mengubah namanya, bukan mengubah cara berpikirnya.
Karena itu, jika harus menamai suatu wilayah yang lebih luas dari satu negeri pada pra-Indonesia itu, maka saya harus betul-betul berpikir sebagaimana perspektif bumiputeranya: semana, seapa, dan jangan mengada-ada.
Jika memang terlalu abstrak tapi memang masih teraba sebarannya, maka saya akan menuliskannya “di wilayah yang kelak menjadi Indonesia”. Tapi ini terlalu panjang (ini jadi macam alasan Earl dan Logan terhadap istilah Indian Archipelago yang kepanjangan).
Jadi, kadang-kadang saya pun menuliskankan sebagaimana orang-orang berbahasa Inggris memandang: India Timur, India Belakang, Kepulauan Melayu, atau Kepulauan India. Tak ada jalan lain. Sebab, nama-nama itu tak terikat pada paku-paku administrasi hari ini. Karena segala jalan cerita yang bersangkut paut di masa silam memang tak pernah tunduk pada tuah JB. van Heutz. (*)