Oleh : Muhammad Nizhamuddin
Melalui Keppres No. 116/TK/Tahun 2015 pada tanggal 4 November, Presiden Replublik Indonesia ke 7 Joko widodo menetapkan lima pahlawan nasional baru. Mereka adalah: Benhard Wilhem Lapian, Mas Isman, I gusti Ngurah Made Agung, Komjen Muhammad Jasin, serta Ki Bagus Hadi Kusumo. Bukan tanpa alasan, presiden Jokowi menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada ke-lima tokoh tersebut atas kegigihan serta sumbangsih mereka terhadap kemerdekaan serta terbentuknya NKRI. Presiden Joko Widodo pun memberikan plakat tanda jasa dan penghargaan nasional terhadap ahli waris dari kesetiap tokoh.
Sebagai warga Muhammadiyah, tentu tidak asing lagi di telinga kita dengan nama salah satu dari kelima tokoh tersebut yang bernama Ki Hagus Hadikusumo. Ya, beliau merupakan Ketua Umum PP Muhammadiyah 1942-1953 sekaligus sebagai pejuang perintis kemerdekaan Indonesia dengan ikut berpatisipasinya beliau sebagai anggota BPUPKI dan PPKI. Bahkan setelah merdekanya Indonesia, tetap tidaklah habis perhatian beliau terhadap terancangnya konstitusi negara ini yang masih berumur muda. Ini dibuktikan dengan aktifnya beliau sebagai anggota DPR RI sebagai perwakilan dari anggota partai Masyumi.
Partisipasi serta sumbangsing Ki Bagus hadikusumo terhadap persyarikatan Muhammadiyah cukup besar. Dimana beliau merupakan murid langsung dari K.H Ahmad Dahlan selaku pendiri persyarikatan Muhammadiyah. Maka sanad keilmuan serta ghirah dan pandangan keislaman beliau dapat dikatakan merupakan representasi dari sang pendiri persyarikatan, K.H Ahmad Dahlan.
Selanjutnya, beliau pernah menjabat sebagai ketua Majelis Tabligh Muhammadiyah ( 1922), Ketua Majelis Tarjih dan anggota komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadiyah (1926). Bersama kawan seperjuangannya, beliau turut berperan atas lahirnya persatuan sepak bola Hizbul Watan. Hingga pada tahun 1937, K.H. Mas Mansoer mengajak beliau untuk menjadi wakilnya sebagai ketua PP Muhammadiyah. Akan tetapi, di tengah jalan masa jabatan, K.H Mas Mansoer di paksa penjajah Jepang untuk menjadi Ketua Pusat Tenaga Rakyat. Maka sejak saat itu, majulah Ki Bagus Hadikusumo sebagai Ketua umum Persyarikatan Muhammadiyah hingga tahun 1953. Karir beliau kian melesat. Beliau menjelma menjadi publik figur yang dihormati masyarakat, serta disegani penjajah Jepang.
Sejarah membuktikan Ketika penjajah kolonial jepang mengeluarkan dekrit perintah kepada seluruh rakyat jajahannya untuk melakukan ritual pembungkukan badan atau lebih dikenal dengan “Seikerei”, maka Ki bagus mengeluarkan surat putusan yang berisi larangan terhadap warga Muhammadiyah pada waktu itu untuk melakukan praktik tersebut. Dengan beralasan praktik pembungkukan badan Seikerei menodai kemurnian tauhid. Atas hal tersebut, beliau sempat dipanggil menghadap gunsaiken atau Gubernur Militer Jepang di Yogyakarta.
Namun atas kepiawaian diplomasi Ki Bagus Hadikusumo, gunsaiken memahami serta membolehkan umat islam untuk tidak melaksanakan praktik seikerei. Perhatian beliau terhadap realisasi kemerdekaan tanah air sangatlah tinggi. Hingga puncaknya, beliau membersamai Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta dalam kunjungannya menemui kaisar Hirohito jepang untuk membincangkan lebih lanjut mengenai kemerdekaan Indonesia.
Gagasan relasi antara agama dan negara ala Ki Bagus Hadikusumo
Perdebatan Panjang mengenai hubungan agama dengan negara telah mengakar eksistensinya bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia. Tepatnya ketika para tokoh nasional dari kalangan nasionalis agamis hingga nasionalis sekularis berkumpul pada sidang BPUPKI untuk merumuskan dasar negara, yang kelak dasar tersebut menjadi pedoman etik dalam perancangan konstitusi negara secara umum.
Para tokoh dari kalangan nasionalis agamis antara lain: Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wahid Hasyim, H. Agus Salim, K.H Abdul Kahar Muzakkar dan M.Natsir. sedangkan dari kalangan nasionalis netral agama antara lain: Ir. Soekarno, Drs Mohammad Hatta, Muh Yamin, A.A Maramis dan lain-lain.
Kalangan Islam berkehendak Indonesia merdeka berasaskan persatuan solidaritas Masyarakat muslim yang merupakan mayoritas 90 % dari masyarakat Hindia Belanda. Sedangkan kalangan nasionalis bercita-cita Indonesia Merdeka atas asas persatuan yang dibangun dengan dasar cinta tanah air, konsekuensi dari masyarakatnya yang heterogen.
Dalam sidang BPUPKI, Ki Bagus Hadikusumo sangat gigih dalam memperjuangkan Islam agar dijadikannya sebagai dasar dalam merancang konstitusi negara. Beliau berpendapat bahwa cakupan ajaran Islam sangatlah universal yang tak luput dari segala lini, dan salah satunya adalah masalah kenegaraan. Ajaran Islam juga datang terlebih dahulu sebelum datangnya kolonial Belanda, dimana Islam sangat diterima dengan hangat di tengah masyarakat, dibuktikan dengan pesatnya perkembangan pemeluk ajaran ini hingga puncaknya mencapai 90 %. Bahkan sebagian membentuk sebuah Kerajaan Islam dengan menjalankan syari’at Islam. Lantas dapat disimpulkan bahwa agama tidak dapat dipisahkan dari bernegara.
Ki Bagus juga menggagaskn bahwa umat islam merupakan umat yang memiliki cita cita yang luhur dari dulu hingga sekarang, Dimana mereka akan berusaha menegakan hukum Allah yang tak hanya Rahmat kepada kaumnya saja, namun juga rahmatan lil ‘alamin.
Gagasan Ki Bagus nampaknya berlandaskan pemahaman sosial-historiknya yang begitu kuat mengenai masuk dan berkembangnya ajaran Islam di Nusantara. Ia berpendapat bahwa Islam telah masuk berabad abad lamanya, sehingga banyak ajaran serta syari’at nya yang telah bertransformasi menjadi hukum adat istiadat di banyak suku di Indonesia.
Ki bagus juga mengajak peserta sidang kembali menoleh ke sejarah pergerakan perlawanan Masyarakat Nusantara yang di nakhodai oleh para tokoh agamawan Islam seperti pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Imam Bonjol, Sultan Hasanudin, dimana semua perlawanan mereka berlandaskan seruan jihad melawan segala bentuk kezaliman yang terkandung dalam Al-qur’an. Kesemua hal diatas merupakan tata cara beragama masyarakat nusantara yang menuntun mereka dalam hidup bermasyarakat dan bersosial yang Kembali digagaskan oleh Ki Bagus Hadikusuma dalam sidang BPUPKI.
Kaum nasionalis tidaklah sepakat dengan gagasan Ki Bagus, mereka berpendapat bahwa agama dan negara harus berdiri secara terpisah. Sebab, apabila disatukan akan berkonsekuensi pada berdirinya negara yang bukan berlandaskan persatuan, dimana masyarakat Hindia Belanda pada waktu itu terdiri dari berbagai pemeluk agama, dengan muslim sebagai mayoritas, serta pemeluk Protestan, Katolik, Hindu, Buda sebagai minoritas.
Memang benar agama Islam akan menjamin kepentingan agama lain, namun tentu golongan dari agama minoritas tersebut tidak dapat mempersatukan diri mereka dengan negara. Maka menurut Soepomo, salah satu tokoh nasionalis bahwa negara kesatuan yang diajukan oleh golongannya juga bukan berarti sebagai negara yang anti dengan agama. Namun, negara ini berdiri atas nilai kesatuan yaitu moral budi pekerti luhur yang terdapat disetiap agama, tak terkecuali Islam.
Dalam sidang BPUPKI, Ki Bagus Hadikusumo juga sedikit berdebat dengan Ir. Soekarno mengenai naskah preambul dari pembukaan Jakarta charter yang berbunyi “ dengan bedasarkan ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Dalam hal ini Ki Bagus mengajukan penghapusan kalimat “ bagi pemeluk-pemeluknya” dengan argumen sebagai berikut :
Di dalam keterangan Tuan Syusa tadi hanya satu perkara yang kecil sekali yang akan saya minta dicabut atau dihilangkan. Saya menguatkan voorstel kiyai Sanusi dalam pembukaan di sini yang mengatakan bahwa perkataan dengan kewajiban umat Allah swt ”bagi pemeluk-pemeluknya’ adalah menurut keterangan Kiyai Sanusi tidak ada haknya dalam kata-kata Arab dan menambah janggalnya kata-kata. Jadi tidak ada artinya dan menambah kejanggalan, menambah perkataan yang kurang baik, menunjukkan pemecahan kita. Saya harap supaya ”bagi pemelukpemeluknya” itu dihilangkan saja. Saya masih ragu-ragu di Indonesia banyak perpecahan-perpecahan, dan pada prakteknya maksudnya sama saja. (Risalah Sidang . . . hlm. 241). Tentu disini Ki Bagus memiliki tujuan utama yaitu berdirinya syari’at Islam secara kaffah di Indonesia. Namun beliau menggunakan argumen diatas sebagai bentuk kecerdikan beliau dalam berdiplomasi.
Dalam hal ini, tentu Ir Soekarno menolak ajuan dari ki Bagus Hadikusumo, ia berpendapat bahwa naskah preambul yang dipermasalahkan merupakan hasil kompromi alot dari tokoh nasionalis agamis dan nasionalis sekularis pada sidang dihari sebelumnya. Maka perubahan naskah tersebut bukanlah perkara yang mudah untuk dilakukan.
”Sudahlah, hasil kompromis di antara dua pihak, sehingga dengan adanya kompromis itu perselisihan di antar dua pihak hilang. Tiap kompromis berdasarkan kepada memberi dan mengambil, geven dan nemen. Ini suatu kompromis yang berdasar pada memberi dan mengambil. Bahkan kemarin di dalam panitia soal ini ditinjau kembali sedalam-dalamnya, di antara lain sebagai tuan-tuan yang terhormat mengetahui, dengan Tuan Wachid Hasyim dan Agus Salim di antara anggota panitia memegang teguh akan kompromis yang dinamakan oleh anggota yang terhormat Muh. Yamin ”Jakarta Charter” yang disertai perkataan tuan anggota yang terhormat Sukiman ”gentlement agreement” supaya ini dipegang teguh oleh pihak Islam dan pihak Kebangsaan. Saya mengharap kepada tuan yang mulia, rapat besar suka membenarkan sikap panitia ini.” (Risalah Sidang …. hlm. 241.
Ki Bagus Hadikusumo tetap berkomitmen pada penghapusan kalimat “bagi pemeluk-pemeluknya”. Beliau beranggapan bahwa bagaimana mungkin dalam suatu negara akan dibuat hukum yang berbeda-beda terhadap warga negara yang berbeda agama? Ki Bagus tetap menolak klausul tersebut walaupun merupakan hasil kompromi, karena baginya tidak masuk akal. Beliau Kembali menguatkan argumennya bahwa mayoritas Masyarakat Hindia Belanda merupakan penganut agama Islam. Dan Islam melalui surah al Baqarah ayat 208 menyeru penganutnya untuk menjalankan Islam secara kaffah. Dan diakhir beliau meyakinkan bahwa ajaran Islam juga akan menjamin hak-hak golongan selainnya.
Namun Dr Rjiman selaku ketua sidang tak ingin memperpanjang perdebatan dalam masalah preambul ini. Toh pada hari kemarin keseluruhan peserta sidang telah mufakat akan hal tersebut. Maka di akhir Ki Bagus dengan terpaksa menyetujui mengenai kesepakatan naskah preambule tersebut karna hasil kesepakatan bersama, meskipun secara pribadi beliau belum menyetujuinya.
Perdebatan antara kalangan Islam maupun nasionalis tak hanya mengenai dua masalah diatas, akan tetapi juga merambat ke permasalahan lain seperti tentang Pasal 28 dengan Bab 7 tentang presiden harus orang Indonesia Asli dan beragama Islam, serta presiden disumpah menurut agamanya. Dalam hal ini giliran Ir Soekarno yang keberatan akan isi pasal tersebut, dan mengajukan penghapusan kalimat “ menurut agamanya”. Lagi-lagi beliau berargumen bahwa ini merupakan sebuah kompromi dari panitia. Maka Ki Bagus Hadikusumo meresponnya dengan statmentnya :
”Saya berlindung kepada Allah dari setan yang merusak. Tuan-tuan dengan pendek sudah berulang kali diterangkan di sini, bahwa Islam itu mengandung ideologi negara. Maka tidak bisa negara dipisahkan dari Islam, sebab corak ’Islam agama dan negara’ itu sudah diterangkan. Begitulah arti perkataan. Kalau voorstel (usulan pen.) itu memang ditolak, artinya tidak berarti senyata-nyatanya negara itu akan netral dalam hal agama. Karena voorstel saya, pilih saja yang terang-terang, dari pada saya tidak mengerti dan tidak boleh diterangkan. Dengan alasan-alasan dalam beberapa ayat yang menunjukkan bahwa Islam, tentang hal pembelaannya, tentang hal ekonominya, tentang hal segala-galanya, mempunyai ideologi sebagaimana yang sudah diterangkan. Jadi saya menyetujui usul Tuan Kahar Muzakir tadi, kalau ideologi Islam tidak diterima, tidak diterima. Jadi nyata negara ini tidak berdiri atas agama Islam, dan negara akan netral. Itu terang-terangan saja, jangan sedikit-sedikit diambil kompromi seperti diterangkan Tuan Soekarno. Untuk keadilan dan kewajiban tidak ada kompromis, tidak ada. Terang-terangan saja kalau memang ada keberatan akan menerima ideologi umat Islam, siapa yang mupakat yang berdasar agama Islam, minta supaya menjadi satu negara Islam. Kalau tidak, harus netral terhadap agama. Itulah terang-terangan, itulah yang lebih tegas. Kalaukalau sudah nyata netral jangan mengambil-ambil perkataan Islam yang rupanya hanya dipakai ujung-ujungnya saja. Orang-orang mengerti betul pengalaman ini. Orang Islam sungguh mengerti perkara agama. Kalau ada perkataan yang rupa-rupanya dipakai ujung-ujungnya saja, tidak nyata-nyata berarti, saya tahu bahwa tidak baik kesannya pada umat Islam. Karena itu saya mupakat dan setuju dengan kehendak Tuan Abdul Kahar Muzakkir, coba distem saja dengan terangterangan, siapakah yang mupakat supaya negara ini berdasar Islam, dan siapa yang tidak. Atau, oleh karena di sini ada macam-macam agama, supaya diusulkan apakah negara ini berdasarkan agama atau tidak. Kalau diputuskan tidak, habis perkara. Kalau masih ada pendapat, bagaimana dasarnya? Kristenkah, Islamkah, Budhakah? Atau lainnya lagi, ini barulah kita boleh memilih. Jadi terang dan beres. Saya kira, itu adalah usul yang sebaikbaiknya. Kalau memang tidak, sama sekali tidak, kalau ya, ya. Itu pendapat saya yang bulat. Barang kali dengan begitu beres soalnya. Kita menghadapi mata-mata musuh, Tuan-tuan, jangan hendaknya keras-kerasan, tetapi berkepala dingin. Saya minta yang terang saja, dan saya mupakat dengan Tuan Muzakir. Supaya beres, betulkah usul sekarang tentang agama itu. Berdasar agamakah, atau tidak? Ini perlu saya terangkan. Wassalamualaikum ww. (Risalah Sidang … hlm. 351).
Sidang terus berlanjut dengan panas. Dua kubu terus beradu argumen dalam memperjuangkan ide dan gagasan mereka. Hingga akhirnya Dr. Rajiman selaku ketua sidang menangguhkan sidang hingga keesokan harinya.
Maka di keesokan harinya, bertepatan pada tanggal 16 juli 1945, setelah dibuka oleh Dr Rajiman selaku ketua sidang, ia meminta Soekarno untuk mebuka sidang tersebut dengan pidatonya. Dalam pidato tersebut, Ir Soekarno mengajak peserta sidang agar tidak terlalu larut pada perdebatan, karena sejatinya, ada hal yang lebih urgent ketimbang berlarut-larut dalam mempertahankan gagasan mereka di sidang tersebut, ialah tersegerakannya realisasi kemerdekaan tanah air tercinta, yang sudah sekian lama ditunggu oleh masyarakat Indonesia. Maka setelah pidato Soekarno, tidak ada lagi statment para anggota sidang yang menjuru pada perdebatan.
Pada tanggal 18 Agustus, sehari setelah merdekanya bangsa Indonesia melalui proklamasi yang di proklamasikan oleh Ir Soekarno pada 17 agustus 1945, diadakanlah sidang PPKI. Ki Bagus Hadi Kusumo terdaftar sebagai anggota didalamnya. Sidang tersebut bertujuan untuk menetapkan UUD, menetapkan presiden dan wakil presiden, serta pembentukan komite nasional Indonesia. Sidang yang direncanakan dimulai pukul 09.00 tersebut molor hingga pukul 11.00. dan dalam renggang waktu 2 jam tersebut, terjadi banyak perubahan sepihak terhadap naskah preambul yang telah disepakati Bersama pada sidang BPUPKI silam. Maka Ketika Sidang dibuka pukuk 11 siang, Soekarno menjelaskan adanya beberapa perubahan terhadap naskah UUD, dan kemudian meminta kepada Wakil Ketua, Mohamad Hatta untuk menyampaikan perubahan-perubahan tersebut. Telah masuk berbagai usul kepada PPKI yang patut diperhatikan. Hal itu menyebabkan perubahan-perubahan kecil.
Pertama, menghilangkan pernyataan Indonesia Merdeka. Dengan demikian, naskah preambul kembali ke teks awal yang dibuat oleh panitia 9.
Kedua, mengganti klausul ”berdasar kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemelukpemeluknya” dengan rumusan baru ”…berdasar kepada ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”
Ketiga menghilangkan kata yang ”beragama Islam” dari Pasal 6 ayat 1, sehingga berbunyi Presiden ialah orang Indonesia asli.
Keempat, Pasal 29 ayat 1, dibuang klausul ”dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi ”Ketuhanan Yang Maha Esa” untuk menyesuaikan dengan perubahan pada preambul.
Keseluruhan perubahan ini telah mendapatkan kesepakatan dari berbagai golongan. ”Ini mempermudah pekerjaan selanjutnya.” kata Hatta. Keseluruhan perubahan di atas adalah terkait dengan hubungan agama dan negara. Selain itu masih terdapat beberapa perubahan, misalnya ”Presiden Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan” ditambah dengan ”menurut Undang-undang Dasar”. Kemudian ayat 2 Pasal 4, Wakil Presiden tidak lagi dua orang tetapi satu orang saja, demi efisiensi. Dan masih ada beberapa perubahan yang tidak disebut dalam paper ini, karena tidak terkait dengan masalah hubungan agama dan negara.
Melihat begitu banyak perubahan sepihak ini, Ki bagus Hadi Kusumo tentu menentang keras dan kembali memperjuangkan gagasannya, dan tentu perdebatan para tokoh dari golongan Islam dan nasionalis kembali terulang. Alasan mendasar terjadinya perubahan sepihak ini adalah adanya rasa keberatan dari penganut Kristen di wilayah timur mengenai naskah preambule yang terdapat pada pembukaan Piagam Jakarta. Ir. Soekarno sebenarnya ingin mempertahankan kesepakatan awal. Namun adanya keterdesakan waktu yang dialami bangsa Indonesia, dimana mereka dituntut untuk segera menyusun undang-undang, diantara himpitan Jepang-Belanda, sedangkan Masyarakat Kristen Timur mengaku keberatan dengan pembukaan Jakarta charter, memaksa terjadinya perubahan sepihak mendadak ini.
Dan kali ini Ir Soekarno menjanjikan solusi pembahasan ulang Undang-Undang Dasar negara pada perkumpulan wakil wakil bangsa Indonesia pada sidang TAP MPR 6 bulan lagi. Ir Soekarno pun juga mengutus Kasman Singodimedjo untuk melobi Ki Bagus Hadikusumo agar menerima kenyataan pahit ini.
Maka setelah pertimbangan yang matang, dengan memperhatikan maslahat pada waktu itu, Ki Bagus Hadikusumo memilih untuk berlapang dada menerima realita yang ada, mengalah demi persatuan bangsa Indonesia, serta terealisasinya pembentukan sebuah negara baru yang telah lama diidamkan oleh masyarakat setempat, sebuah negara dengan bentuk kesatuan republik yang bernama Indonesia dengan dasar Pancasila!
Penutupan
Perdebatan mengenai korelasi agama dan negara merupakan isu yang terus terulang, baik dalam Sejarah islam maupun dalam Sejarah islam Indonesia. Dimana penyatuan agama dalam konstitusi dan kebijakan negara dinamakan sistem teokrasi. Sedangkan sebaliknya, pemisahan agama dengan negara merupakan sistem yang bernama sekuler. Sistem teokrasi merupakan cita-cita kalangan Islam, sedangkan sistem sekuler merupakan cita-cita dari kalangan nasionalis dalam sejarah Indonesia.
Gagasan Ki Bagus Hadikusumo mengenai Islam sebagai dasar negara, dengan argumen mayoritas Masyarakat tanah air merupakan pemeluk islam. Sedangkan islam sendiri menyeru pemeluknya untuk ber-islam secara kaffah dan salah satunya dalam bernegara, tentu banyak dicetuskan oleh pemikir muslim lain di penjuru negara. Namun, yang membedakan dan membuat gagasan Ki Bagus begitu spesial adalah, aspirasi memasukan ajaran Islam dalam dasar negara ia perjuangkan dalam proses demokrasi yang indah, tanpa pemaksaan ataupun kekerasan. Bahkan Ketika aspirasinya banyak yang tidak terealisasikan, beliau memilih untuk berlapang dada merujuk pada maslahat persatuan dan kemerdekaan bangsa yang lebih urgen.
Namun setidaknya, kegigihan Ki Bagus Hadikusumo dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara meskipun sekilas tampak gagal, setidaknya atas kegigihan beliau negara Indonesia terselamatkan dari sistem yang bernama sekuler, dengan dipilihnya “jalan tengah” berupa Pancasila sebagai win solution. (*)