Site icon TAJDID.ID

Implikasi Kekerasan Struktural terhadap Kejahatan Pemilu

Oleh: Shohibul Anshor Siregar

Dengan menggunakan kerangka teori Johan Galtung (1969), artikel ini menganalisis hubungan antara kejahatan pemilu dan kekerasan struktural, dan mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya dan persistensi kejahatan tersebut.

Pada satu ufuk kejahatan pemilu dapat menjadi manifestasi dari kekerasan struktural. Pada ufuk lain kekerasan struktural dapat menciptakan iklim politik yang tidak kondusif yang memicu kejahatan pemilu. Kejahatan pemilu memperkuat kekerasan struktural dan menyebabkan pelanggaran meluas termasuk hak asasi manusia yang memperburuk situasi.

Selain mendefinisikan kekerasan sebagai “penyebab perbedaan antara potensi dan aktual” Johan Galtung membedakan dua jenis kekerasan, yakni kekerasan langsung dan kekerasan struktural. Kekerasan langsung adalah “peristiwa ketika pelaku menggunakan kekerasan untuk menimbulkan cedera atau kerusakan pada orang lain”.

Sedangkan kekerasan struktural adalah “proses yang menunjukkan realitas struktur sosial merugikan atau merugikan individu”. Kekerasan struktural sering kali tidak terlihat, melekat, dan bersifat sistemik, sedangkan kekerasan langsung bersifat kasat mata, bersifat episodik, dan bersifat personal. Namun kedua jenis kekerasan tersebut saling terkait dan saling menguatkan.

Pemilu adalah mekanisme fundamental demokrasi dan sarana untuk menjamin kedaulatan rakyat, akuntabilitas politik, dan hak asasi manusia. Namun pemilu juga seringkali diwarnai dengan berbagai bentuk kejahatan dan kekerasan yang mengancam integritas dan legitimasi pemilu.

Oleh Hafner-Burton dkk (2014:150), kekerasan pemilu didefinisikan “setiap kerugian atau ancaman kerugian terhadap orang atau properti mana pun yang terlibat dalam proses pemilu, atau terhadap proses pemilu itu sendiri, selama periode pemilu”. Kekerasan pemilu dapat terjadi dengan berbagai bentuk (serangan fisik, pembunuhan, penculikan, kerusuhan, pemboman, pembakaran, vandalisme, sabotase dan lain-lain).

Kejahatan pemilu, di sisi lain, adalah “setiap tindakan ilegal atau kelalaian yang mengganggu proses pemilu atau hasil pemilu” (Collier & Vicente, 2012:118) yang dapat mencakup pembelian suara, penyuapan, pemaksaan, intimidasi, penipuan, manipulasi, peniruan identitas, dan penghalangan.

Kekerasan dan kejahatan pemilu adalah masalah serius yang mempengaruhi banyak negara di dunia. Menurut Collier dan Vicente (2012), sekitar 40% pemilu di Afrika Sub-Sahara antara tahun 1980 dan 2007 melibatkan beberapa bentuk kekerasan atau penipuan. Demikian pula, Hafner-Burton dkk (2014) menemukan bahwa sekitar 20% pemilu nasional di dunia antara tahun 1981 dan 2004 mengalami tingkat kekerasan yang signifikan.

Angka-angka ini menunjukkan bahwa kejahatan dan kekerasan pemilu adalah fenomena yang tersebar luas dan menimbulkan tantangan besar terhadap demokrasi dan hak asasi manusia.

Artikel ini berargumentasi bahwa kejahatan dan kekerasan pemilu bukan hanya varian bentuk kekerasan langsung yang merugikan individu dan properti, tetapi sekaligus memanifestasikan kekerasan struktural yang berdampak pada pelemahan demokrasi dan hak asasi manusia.

Dengan mencampuri proses dan hasil, kejahatan dan kekerasan pemilu merampas hak dan kebebasan politik masyarakat, mendistorsi preferensi dan pilihan, mendegradasi kepercayaan dan partisipasi dalam lembaga-lembaga demokrasi, dan mengikis rasa kewarganegaraan dan martabat.

Selain itu, dengan mencerminkan dan memperkuat kesenjangan dan konflik sosial dan politik yang menjadi realitas di masyarakat, seperti kemiskinan, korupsi, intoleransi-radikalisme-ekstrimisme ekonomi, otoritarianisme, dan militerisme, kejahatan dan kekerasan pemilu melanggengkan siklus kekerasan struktural yang menghasilkan lebih banyak kekerasan langsung.

Bagaimana kejahatan Pemilu dengan kekerasan struktural dapat terhubung? Sebaiknya uraian ini diawali dengan pemaparan ringkas atas bentuk-bentuk tindak pidana Pemilu yang umunya dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori besar, yakni kejahatan yang mempengaruhi penyediaan suara, dan kejahatan yang mempengaruhi permintaan suara (Collier & Vicente, 2012).

Sedangkan tindak pidana pemilu yang mempengaruhi perolehan suara antara lain penipuan pendaftaran, penipuan kampanye, penipuan pendanaan, penipuan surat suara, dan kecurangan perhitungan.
Selain itu tindak pidana pemilu yang mempengaruhi permintaan suara antara lain ialah pembelian suara, suap, pemaksaan, intimidasi, dan berbagai bentuk penipuan lainnya.

Collier dan Vicente (2012) mengukur kecurangan pemilu dengan menggunakan indikator seperti jumlah pemilih, suara tidak sah, dan volatilitas pemilu, negara-negara dengan tingkat kecurangan pemilu paling parah di Afrika Sub-Sahara antara tahun 1980 dan 2007 adalah Angola, Kamerun, Chad, Kongo-Brazzaville, Guinea Ekuator, Guinea-Bissau, Gabon, Liberia, Madagaskar, dan Nigeria.

Hafner-Burton dkk (2014) mengukur kekerasan pemilu menggunakan indikator seperti kematian, cedera, dan insiden, negara-negara dengan tingkat kekerasan pemilu paling parah di dunia antara tahun 1981 dan 2004 adalah Afganistan, Aljazair, Bangladesh, Kamboja, Kolombia, Etiopia, Haiti, India, Irak, dan Kenya.

Pemilu pertama di Indonesia (1955) diwarnai kekerasan yang terjadi di berbagai daerah yang umumnya berakar pada masalah kelemahan sistem dan struktur demokrasi di tengah situasi politik yang belum stabil. Ketidakdewasaan politik waktu itu menyebabkan mudahnya masyarakat terprovokasi oleh kepentingan politik tertentu, yang pada akhirnya dapat memicu kekerasan.

Kekerasan struktural pada masa Orde Baru yang mempengaruhi pelaksanaan pemilu dapat diidentifikasi antara lain pembatasan kebebasan politik, manipulasi hasil pemilu, dan penggunaan kekerasan oleh apparat bersenjata. Selain membatasi kebebasan politik, termasuk kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Orde Baru juga melarang berdirinya partai politik oposisi yang dianggap membahayakan kekuasaannya.

Menurut Wilkinson (2004) yang menganalisis data Program Data Konflik Uppsala, pemilu paling penuh kekerasan di Indonesia adalah Pemilu legislatif 1999. Ini adalah pemilu bebas dan demokratis pertama setelah era Orde Baru yang disebut ditandai dengan konflik antara pendukung partai-partai politik yang berbeda, terutama di daerah-daerah yang selama jangka waktu tertentu memiliki sejarah kerentan konflik yang relatif “diabadikan”.
Menurut Halida dkk (2022) yang melakukan survei terhadap pemilih Indonesia pada tahun 2019, jenis kejahatan pemilu yang paling banyak mereka temui adalah pembelian suara (28,6%), penyuapan (15,4 %), pemaksaan (9,8 %), intimidasi (8,7 %), dan penipuan (7,6 %).

Sesungguhnya tidak ada solusi yang mudah dan cepat terhadap tantangan yang kompleks dan beragam ini. Namun terdapat beberapa kemungkinan jalan keluar yang dapat ditempuh oleh berbagai aktor dan pemangku kepentingan, seperti, pertama, penguatan lembaga dan regulasi pemilu, seperti komisi independen pemilu, pendidikan pemilih, registrasi pemilih, pengamanan surat suara, verifikasi suara, dan penyelesaian sengketa pemilu.

Kedua, peningkatkan pemantauan dan pengawasan pemilu, seperti pemantau domestik dan internasional, organisasi masyarakat sipil, media, dan lembaga antikorupsi. Ketiga, mempromosikan integritas dan akuntabilitas pemilu, seperti kode etik, sanksi, penuntutan, dan audit terhadap kandidat, partai, pejabat, dan broker yang terlibat atau membiarkan kejahatan pemilu.

Keempat, mendorong partisipasi dan keterwakilan pemilu, seperti pendidikan kewarganegaraan, mobilisasi pemilih, pemberdayaan pemilih, dan politik inklusif bagi kelompok marginal seperti perempuan, pemuda, kelompok minoritas, dan masyarakat miskin. Kelima, membina dialog dan rekonsiliasi pemilu, seperti perjanjian perdamaian, langkah-langkah membangun kepercayaan, mekanisme mediasi, dan keadilan transisi bagi korban dan pelaku kekerasan pemilu.

Kejahatan pemilu adalah bentuk kekerasan struktural yang melemahkan demokrasi dan hak asasi manusia. Ini bukan hanya tindakan ilegal, namun juga manifestasi dari kesenjangan sosial dan politik yang lebih dalam yang menimbulkan dan mempertahankan konflik.

Faktor-kaktor yang berkontribusi terhadap terjadinya dan persistensi kejahatan Pemilu dapat terdiri dari faktor struktural dan faktor individual.

Faktor Struktural terkait sistem dan struktur sosial seperti ketimpangan ekonomi dan kurang memadainya sistem dan mekanisme demokrasi. Faktor individual terkait dengan individu atau kelompok tertentu, antara lain ketidakdewasaan politik pola pikir yang menindas, dan kepentingan politik.

Kesewenang-wenangan penguasa akan selalu memperburuk kekerasan struktural. Ketika orang diperlakukan hanya berdasar kesadaran atas kemiskinannya sebagai sasaran sogok demi suara, ketika dominasi menjadi keleluasan berada di luar jangkauan hukum demi kepentingan peraihan kekuasaan, ketika regulasi tak dapat tegak, kekerasan struktural sedang diabadikan dengan pengendalian jahat. Paling buruk jika kekerasan struktural telah tiba pada etape yang membuat tumpul kesadaran atas semua bentuk penyimpangan penguasa yang menistakan rakyat.

Kehadiran pemantau independen dari negara lain dapat membantu. Sejalan dengan itu sangat penting prakarsa para intelektual publik untuk mengembangkan strategi dan alat yang lebih efektif untuk mencegah, mendeteksi, dan memberantas kejahatan pemilu dalam berbagai konteks dan tahapan siklus pemilu, dengan menggunakan metode hukum, kelembagaan, teknologi, dan sosial.

Penting membangun jaringan dan kemitraan yang lebih inklusif dan kolaboratif di antara berbagai aktor dan pemangku kepentingan yang terlibat atau terkena dampak kejahatan pemilu, seperti akademisi, praktisi, pembuat kebijakan, aktivis, pemilih, kandidat, partai, pejabat, broker, pengamat, media, dan lain-lain. (*)

Penulis dosen FISIP UMSU. Ketua LHKP PW Muhammadiyah Sumatera Utara. Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

Exit mobile version