TAJDID.ID~Medan || Bekerjasama dengan Laboratorium Indonesia 2045 (Lab 45), Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) menggelar Seminar Nasional “Meniti Jalan Menuju Transformasi Ekonomi Hijau di Indonesia”.
Kegitan yang dilaksanakan di Auditorium Kampus Utama UMSU, Senin (23/10/2023) ini dihadiri dua Analis Ekonomi Politik Lab 45, yakni Radhitya Muhammad dan Rionanda Dhamma Putra. Hadir juga jajaran Pimpinan Fakultas dan Prodi di lingkungan UMSU serta ratusan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi.
Seminar Nasional ini menampilkan dua narasumber, yaitu Nariswari Nurjaman (Analis Bank Dunia dan Curriculum Mentor and Advisor Think Policy) dan Dr Sukma Lesmana SE MSi (Ketua Career Development and Alumni Centre (CDAC) UMSU.
Dalam sambutannya, Wakil Rektor III UMSU Dr Rudianto MSi mengatakan topik yang diperbincangkan pada seminar nasional ini sangat penting dan relevan.
“Topik seminar nasional ini sangat relevan bagi kita semua, karena kita adalah generasi yang akan hidup 10 sampai 50 tahun kedepan. Kitalah generasi yang akan mewarisi bumi. Kitalah yang akan hidup dan menentukan masa depan bumi ini,” ujar Rudianto.
Karena itu, kata Rudianto, paradigma yang tertanam di setiap generasi muda dan mahasiswa di seluruh Indonesia, termasuk di UMSU, adalah harus mengedepankan program pembangunan yang berkelanjutan, dimana pembangunan ekonomi harus memperhatikan bagaimana masyarakat bisa bertumbuh tidak hanya secara fisik, tapi juga secara spritualitas serta kemampuan dalam mengolah pikiran.
“Dan tentu saja kita juga harus memikirkan bagaimana menjaga lingkungan. Karena kita rasakan saat ini bagaimana dunia, termasuk Indonesia sedang mengalami satu persoalan besar terkait krisis iklim, dimana pemanasan global sangat kita rasakan,” jelas Pakar Komunikasi ini.
“Tanpa bermaksud ingin menyalahkan paradigma di masa lalu, tapi tak bisa dipungkiri dimana produksi massal yang bertumpu pada teknologi itu sudah kita lihat dampakanya, dimana terjadinya kerusakan lingkungan yang cukup parah. Karena itu kita harus berusaha bagaimana kita bisa hidup tanpa harus lebih banyak lagi memtong pohon-pohon di tengah hutan dan tanpa kita harus menambah lagi emesi karbon yang sangat mengganggu kulitas kehidupan kita,” imbuhnya.
Rudianto mengakui, ini merupakan pekerjaan besar, bukan saja bagi generasi senior tapi juga generasi muda.
“Karena itu topik pembahasan tentang green economy sangat tepat jika dibicarakan oleh anak-anak muda, karena merekalah yang nanti akan berpikir jauh ke depan tentang masa depan kehidupan di muka bumi ini,” kata Rudianto.
Tantangan Transformasi Ekonomi Hijau di Indonesia
Kemudian, Analis Ekonomi Politik Lab 45, Rionanda Dhamma Putra memaparkan hasil riset Laboratorium LAB 45 tentang transformasi ekonomi hijau di Indonesia.
Diungkapkannya, ada sejumlah tantangan utama transformasi ekonomi hijau di Indonesia, yaitu regulasi yang belum memberikan kepastian hukum, kelembagaan yang masih tumpang tindih, dan alokasi pendanaan hijau yang belum menjadi prioritas dalam APBN ditambah dengan sistem evaluasi finansial yang belum transparan.
Rionanda menyatakan bahwa kajian yang dilakukan Lab 45 berfokus kepada alasan di balik tantangan tersebut dan cara yang dapat ditempuh untuk diatasinya, termasuk bentuk konkret dari proyek yang dapat dilakukan untuk mempercepat jalan Indonesia menuju ekonomi hijau.
“Indonesia perlu bergerak dari posisi pendanaan tidak optimal dan regulasi-kelembagaan yang tidak efektif pada tahun 2022 menuju posisi pendanaan optimal dan regulasi-kelembagaan efektif pada tahun 2045. Kita hanya punya waktu hingga tahun 2030 untuk melakukan gerakan itu,” tegasnya.
Di sisi rekomendasi kebijakan, riset LAB 45 memberikan masukan berupa pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Ekonomi Hijau, penataan kembali sektor-sektor prioritas, pengalihan subsidi BBM menuju mobilitas umum, dan penentuan megaproyek Hijau secara spesifik dengan memberikan Pumped Hydro Energy Storage (PHES) sebagai contoh.
Hubungan Green Economy dan Sustainable Development
Membawakan topik “Green Economy: Tantangan dan Harapan”, Ketua CDAC UMSU Dr Sukma Lesmana tampil sebagai pemateri pertama. Dalam paparannya dosen FEB UMSU ini mengatakan, bahwa berbicara tentang green economy itu sangat terkait dengan karir mahasiswa di masa depan.
“Ini realistis, karena tidak ada orang yang kuliah kemudian sesudah jadi sarjana ingin nganggur. Pasti semua mahasiswa sesudah tamat ingin berkarir. Dan tentunya green economy memiliki hubungan dengan masa depan karir kita semua, di mana di dalamnya terdapat tantangan dan juga harapan,” kata Sukma.
Sukma juga menjelaskan, bagaimana potret pembangunan ekonomi yang terlalu mengedepankan aspek pertumbuhan ekonomi (brown economy) telah menciptakan dampak yang destruktif terhadap lingkungan hidup dan mengancam masa depan.
“Ini fakta, bahwa pembangunan yang terlalu mengedepankan pertumbuhan ekonomi telah menimbulkan dampak negatif, seperti polusi udara, kerusakan hutan, ancaman kelangkaan dan lain sebagainya. Sehingga akhirnya tidak ada keadilan sosial dalam mendapatkan kesejahteraan,” ujar Sukma.
Selanjutnya Sukma menegaskan bahwa konsep green economy yang berisi bembangunan rendah karbon (low carbon growtth), efisiensi penggunaan sumber daya alam (resource efficiency) dan inklusi sosial (social inclusivity) memiliki hubungan dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
“Ekonomi hijau merupakan kegiatan ekonomi yang selain dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan akhir kegiatan ekonomi, juga diharapkan memberi dampak tercapainya keadilan, baik keadilan bagi masyarakat maupun lingkungan dan sumber daya alam itu sendiri. Filosofi ekonomi hijau adalah adanya keseimbangan antara kesejahteraan ekonomi rakyat dan keadilan sosial dengan tetap mengurangi resiko-resiko kerusakan lingkungan dan ekologi. Dalam hal inilah esensi ekonomi hijau sebagai model pembangunan ekonomi yang berbasis pembangunan berkelanjutan,” jelas Sukma.
Transformasi dari Ekonomi Coklat ke Ekonomi Hijau
Tampil sebagai narsum kedua, Nariswari Nurjaman membawakan topik “Mendukung Transisi Ekonomi Hijau di Indonesia”. Dalam paparannya Nariswari menjelaskan bagaimana diskursus ekonomi hijau di tingkat global dan bagaimana semestinya kaum muda dan mahasiswa Indonesia menyikapinya.
Mengutip pernyataan Sekjen PBB Antonio Guterres, Nariswari mengatakan kita harus memperdalam basis pengetahuan dengan data, informasi dan analisis yang lebih baik.
“Karena kita tidak bisa memperbaiki sesuatu yang tidak kita ukur. Jika kita ingin memperbaiki sistem ekonomi dari ekonomi coklat ke ekonomi hijau, maka kita harus belajar untuk mengukur lebih baik.
Terkait mengukur mengukur ekonomi, Naraswari mengkritik pandangan filsuf ekonomi Skonlandia, Adam Smit yang menyebut bahwa kesejahteraan suatu negara dapat diukur dari seberapa banyak barang dan jasa yang dapat diproduksi dan dikonsumsi oleh negara tersebut. Konsep ini kemudian diturunkan menjadi ukuran Produk Domestik Bruto (PDB)
“Jika kita ingin bergeser ke ekonomi hijau, tentunya ada yang salah dengan indikator dari Produk Domestik Bruto ini. Sebenarnya PDB cocok digunakan sebagai indikator ukuran ekonomi sebuah negara. Namun, masalah sebenarnya muncul ketika PDB malah digunakan untuk menggeneralisir pertumbuhan.
“Politisi, pengusaha dan masyarakat umum seringkali bergantung pada PDB sebagai indikator utama keberhasilan suatu negara secara keseluruhan. Padahal ketergantungan pada PDB ini bisa berbahaya, karena kecanduan terhadap PDB ini kita lebih mengumakan pertumbuhan jangka pendek dan mengabaikan dampak jangka panjang,” imbuhnya. (*)