Oleh : Muhammad Zaidan
Islam adalah agama rahmatan lil-alamiin, menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta. Allah subhaanahu wa ta’ala sendiri telah menegaskan dalam firmannya yang agung yaitu dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah (5) ayat 3, yang artinya: “ …pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan telah Aku sempurnakan pula nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridho Islam sebagai agama bagi kalian…”.
Terlepas dari isu-isu dan stigma negatif yang melekat, sejarah telah membuktikan bahwa Islam berhasil membawa kedamaian dan kemakmuran dari masa ke masa bahkan menurut penelitian para ilmuwan barat itu sendiri. Mereka menemukan bukti bahwa orang-non muslim yang tinggal dalam perlindungan pemerintahan Islam sangat merasa makmur dan bahagia ketimbang dipimpin oleh petinggi gereja. Kejayaan itu berlangsung beratus-ratus tahun sampai pada akhirnya kekhilafahan terakhir runtuh dan dunia mulai didominasi oleh barat.
Politik sebagai senjata untuk menyudutkan umat Islam
Pertanyaan yang muncul adalah kenapa Islam yang kita kenal sekarang memiliki image yang berbeda? Islam pada saat ini dikenal dengan agama yang menakutkan, mengerikan, dan selalu dikaitkan dengan isu teroris dan peperangan. Pada dasarnya kita tau bahwa semua itu sangat tidak benar dan berkebalikan sekali dengan apa yang sejarah catat tentang Islam.
Lalu apa yang ‘membutakan’ orang-orang dan masyarakat luas di seluruh dunia tentang ini?. Siapa yang menggiring opini dan pemikiran mereka?. Jawabannya sederhana sekali, yaitu siapa-siapa yang memusuhi dan membenci Islam. Dalam Alquran surah Al-Baqarah ayat 120 disebutkan dengan jelas “ orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sampai engkau mengikuti agama/tatacara mereka,”. Mereka akan melakukan apapun untuk menghancurkan Islam baik dari luar maupun dari dalam. Mereka sukses memanipulasi informasi dan isu negatif tentang islam sehingga terciptalah istilah ‘Islamofobia’.
Dikutip dari wikipedia: Islamofobia adalah istilah kontroversial yang merujuk pada prasangka, diskriminasi, ketakutan dan kebencian terhadap Islam dan Muslim. Istilah ini sudah ada sejak tahun 1980-an, tetapi menjadi lebih populer setelah fitnah besar terhadap umat muslim yaitu peristiwa Serangan 11 September 2001.
Ada fenomena yang menarik di sini, sebelumnya telah disampaikan dalam paragraf di atas pada diksi “Siapa yang menggiring opini dan pemikiran mereka?. Jawabannya sederhana sekali, yaitu siapa-siapa yang memusuhi dan membenci Islam.” Perhatikan kalimat ‘Siapa-siapa yang memusuhi dan membenci islam’. Kalimat tersebut memiliki peran penting yang menjelaskan bahwa :
1. Tidak semua orang Kafir memusuhi Islam.
2. Ada sekelompok orang yang mengatas-namakan islam dan ingin menghancurkan Islam
Dengan demikian kata’musuh’ disini merujuk pada mereka yang bukan hanya terdiri dari orang-orang dari luar Islam, akan tetapi juga orang dari dalam islam itu sendiri. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut diantaranya :
- Kebodohan dan ketidak-pahaman tentang ilmu agama sehingga mudah dipengaruhi oleh pemikiran yang merusak islam.
- Fanatik dan tidak menghargai perbedaan pendapat dalam islam sehingga timbul perpecahan dan permusuhan antar kelompok.
- Orang yang memiliki kepentingan terntentu, biasanya terkait kekuasaan dan politik.
Perang pemikiran dan konspirasi
Miris sekali pada zaman ini ketika kita melihat saudara sesama muslim yang tidak bisa menerima saudaranya hanya karena perbedaan pandangan atau madzhab. Mereka memiliki pengkultusan yang kuat kepada tokoh-tokoh panutan mereka dan seringkali tidak memiliki pemikiran yang terbuka. Menganggap selain dari madzhab mereka adalah bukan islam dan bukan ahlu sunnah wal jama’ah.
Padahal kenyataannya tidak demikian. Mereka mengusung-usung toleransi, mengatas-namakan keadilan bersama. Bahkan mereka mampu duduk bersama orang kafir yang berpakaian tidak menutup aurat, mereka mampu untuk bergaul dan berdiskusi dengan siapapun dari agama manapun atas dasar toleransi beragama. Akan tetapi ironisnya mereka tidak mau menerima dan bergaul dengan saudaranya sendiri sesama muslim hanya karena berbeda pandangan dengan hal yang bersifat furu’ (cabang).
Tentunya pemikiran seperti itu harus dirubah. Islam adalah agama yang satu. Tidak ada Islam versi Imam- imam tertentu. Mereka semua adalah Islam. Islam yang disatukan dengan akidah yang sama. Adapun perbedaan dalam hal furu’ itulah yang harus disikapi dengan tepat guna menghindari perpecahan dan menjadi titik awal persatuan dan kebangkitan umat islam untuk menghadapi musuh-musuhnya pada masa kini.
Kita sampai pada faktor terakhir yang sangat sensitif dan menjadi titik pembahasan yaitu golongan yang memiliki keperluan tertentu dibalik isu negatif tentang islam. Sejenak coba kita pikirkan fakta berikut ini :
- Warga berkebangsaan palestina yang tinggal di daerah Israel tidak dimusuhi.
- Warga berkebangsaan palestina yang tinggal di daerah israel memiliki hak politik dalam pemerintahan Israel.
- Penduduk Israel sangat ramah dan sama sekali tidak membenci orang islam yang tinggal di wilayah mereka.
Kesimpulan dari 3 fakta di atas saya serahkan pada masing-masing pembaca. Tapi yang jelas disini saya mencoba memaparkan sudut pandang yang berbeda tentang apa yang selama ini dibicarakan media. Isu agama adalah senjata paling efektif dalam menarik perhatian dan opini.
Kita ambil contoh kasus pengeboman yang telah terjadi di indonesia, dari sekian kasus pengeboman yang telah terjadi, mereka mengaku telah dicuci otak sehingga salah mengartikan jihad dan dimanipulasi oleh oknum ‘ustadz’. Dan ini dilakukan secara sistematis, terstruktur dan terencana. Mereka memiliki target dan berusaha masuk ke berbagai lapisan masyarakat guna mencari orang yang mempercayai doktrin mereka. Saya menyebut mereka adalah seorang ‘konseptor’. Secara logika jika mereka mempercayai bahwa mengebom umat agama lain di tempat umum tanpa alasan yang tidak bisa dibenarkan secara syar’i sebagai tindakan mulia, pasti para petinggi dari ajaran tersebut adalah orang yang paling pertama melaksanakannya. Namun pada kenyataannya mereka selalu menumbalkan orang lain.
Maka kesimpulan yang penulis dapat adalah mereka sendiri sebenarnya tidak peduli dengan konsep agama, yang mereka utamakan adalah kepentingan. Kepentingan untuk berkuasa, kepentingan untuk memonopoli dan lain sebagainya. Apapun yang bisa mereka gunakan sebagai alat untuk mencapai tujuannya akan mereka gunakan, termasuk agama.
Bagaimanapun ini adalah masalah politik. Masalah politik yang dibumbui dengan agama. Mereka memanfaatkan kebencian dan menggunakannya untuk kepentingan. Politik yang menghalalkan segala cara dan harus kita perjuangkan perlawanan kepada mereka lewat sistem politik islam yang baik dan sesuai syari’ah.
Ada ungkapan populer terkait politik yang berbunyi “Tidak ada musuh abadi, tidak ada pula teman abadi. Yang abadi adalah kepentingan.”. Dan ungkapan tersebut benar adanya. Kepentingan adalah motivasi terbesar dalam dunia politik. Suatu golongan bisa menyatukan kekuatan tanpa ragu jika mereka memiliki kepentingan didalamnya. ‘Musuh dari musuhku adalah temanku’. Begitulah kira-kita perumpamaan yang bisa menggambarkannya.
Apa yang menimpa umat islam pada saat ini adalah kombinasi dari serangan kebencian dan kepentingan politik dari beberapa golongan. Manipulasi informasi dan doktrin adalah senjata utama di era digital ini. Dan ujaran kebencian dan konspirasi itulah yang dijadikan alasan untuk menyerang kaum muslimin dan menghancurkannya. Islamophobia adalah salah satunya.
Islam adalah satu-satunya agama yang memiliki istilah ini. Tidak ada orang kristen yang phobia dengan kristen. Dan begitu pula umat beragama lain dengan agamanya sendiri. Anehnya ada umat islam yang Islamophobia, Takut dengan hal-hal seperti berjenggot, celana tinggi dan cadar. Ketahuilah bahwa itu semua hanyalah sebuah doktrin. Mereka sengaja dan berusaha menanamkan image buruk terhadap Islam.
Pentingnya Politik dalam Islam
Di dalam bahasa Arab, Politik dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulamasalafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah, misalnya. Dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa – yasûsu. Dalam kalimat sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara).
Jadi, asalnya makna siyasah (politik) tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia; dan pelaku pengurusan urusan-urusan manusia tersebut dinamai politikus (siyasiyun). Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amri mengurusi (yasûsu) rakyatnya, mengaturnya, dan menjaganya. Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib).
Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya : “Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para Nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah”.
Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti ditegaskan dalam banyak hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda : “Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka.” (HR. Al Hakim)
Peran Politik Islam sebagai Sarana Perlindungan dan Penyejahteraan Umat
Masyarakat kita masih banyak yang berpendapat bahwa politik itu kotor dan harus dijauhi. Sehingga anggapan seperti itu membuat masyarakat kita sangat apatis, apriori (benci), dan alergi dengan politik dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Hal itu mungkin terjadi karena hasil pantauan masyarakat dilapangan dan lewat media terhadap politik selama ini selalu menunjukkan gejala yang buruk. Orang-orang yang terlibat di dalamnya dapat bergeser orientasi politiknya menjadi politik imperialis, berkhianat, koruptor dan semena-mena. Apalagi, setelah panggung politik dunia dirasuki politik Machiavelli yang menghalalkan segala cara, semakin menjadi-jadilah kebencian masyarakat terhadap politik.
Lantas pertanyaannya, apakah politik itu selalu buruk? Itulah yang harus dimengerti oleh masyarakat secara benar, Karena Persepsi yang keliru terhadap politik tentu akan melahirkan sikap-sikap yang keliru pula. Padahal, politik itu keharusan yang tak bisa dihindari. Karena secara praktis, politik merupakan aktivitas yang mulia dan bermanfaat karena berhubungan dengan peng-organisasian urusan masyarakat/publik dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Tak ada orang yang bisa menghindari politik karena setiap orang pasti hidup di suatu negara, sedangkan negara adalah organisasi politik tertinggi. politik merupakan bagian dari kehidupan manusia dan tidak ada seorang pun yang bisa lepas dari politik. Begitu kita lahir, kita sudah bergabung dengan organisasi tertinggi yakni negara.
Tidak ada seorangpun yang hidup tanpa terikat oleh politik. Orang yang ingin mempengaruhi kebijakan negara haruslah merebut kekuasaan politik. Orang yang menyatakan tidak mau terlibat dalam politik dan membiarkan kekuasaan politik diambil orang, maka dia terikat pada kebijakan-kebijakan pemenang kontes politik, betapa pun tak sukanya dia pada kebijakan itu. Karena itu, dapat dikatakan bahwa politik itu adalah fitrah atau sesuatu yang tak bisa dihindari.
Islam adalah agama universal, meliputi semua unsur kehidupan, dan politik, Negara dan tanah airi adalah bagian dari islam. tidak ada yang namanya pemisahan antara agama dan politik. karena politik bagian dari risalah Islam yang sempuran. Seperti ungkapan bahwa tidak ada kebaikan pada agama yang tidak ada politiknya dan tidak ada kebaikan dalam politik yang tidak ada agamanya.
Di dalam Islam pun, politik mendapat kedudukan dan tempat yang hukumnya bisa menjadi wajib. Para ulama kita terdahulu telah memaparkan nilai dan keutamaan politik. Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa Dunia merupakan ladang akhirat. Agama tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan dunia. memperjuangkan nilai kebaikan agama itu takkan efektif kalau tak punya kekuasaan politik. Memperjuangkan agama adalah saudara kembar dari memperjuangkan kekuasaan politik (al-din wa al-sulthan tawamaan).
Lengkapnya Imam Al- Ghazali mengatakan: “Memperjuangkan kebaikan ajaran agama dan mempunyai kekuasaan politik (penguasa) adalah saudara kembar. Agama adalah dasar perjuangan, sedang penguasa kekuasaan politik adalah pengawal perjuangan. Perjuangan yang tak didasari (prinsip) agama akan runtuh, dan perjuangan agama yang tak dikawal akan sia-sia”.
Dari pandangan Al-Ghazali itu bisa disimpulkan bahwa berpolitik itu wajib karena berpolitik merupakan prasyarat dari beragama dengan baik dan nyaman. Begitulah islam memandang pollitik
Karena paraktiknya politik itu banyak diwarnai oleh perilaku jahat, kotor, bohong, dan korup, timbullah kesan umum bahwa politik (pada situasi tertentu) adalah kotor dan harus dihindari. Mujaddid Islam, Muhammad Abduh, pun pernah marah kepada politik dan politisi karena berdasarkan pengalaman dan pengamatannya waktu itu beliau melihat di dalam politik itu banyak yang melanggar akhlak, banyak korupsi, kebohongan, dan kecurangan-kecurangan.
Muhammad Abduh pernah mengungkapkan doa taawwudz dalam kegiatan politik ,”Aku berlindung kepada Allah dari masalah politik, dari orang yang menekuni politik dan terlibat urusan politik serta dari orang yang mengatur politik dan dari orang yang diatur politik”. Tetapi dengan mengacu pada filosofi Imam Al-Ghazali menjadi jelas bahwa berpolitik itu bagian dari kewajiban syari’at karena tugas-tugas syari’at hanya bisa direalisasikan di dalam dan melalui kekuasaan politik atau penguasa (organisasi negara).
Dalam kaitan inilah ada kaidah ushul fiqh yang menyebutkan “ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib” (jika ada satu kewajiban yang tidak bisa dilaksanakan kalau tidak ada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain wajib juga diadakan/ dipenuhi). Dengan kata lain, “jika kewajiban mensyiarkan nilai kebaikan Islam tak bisa efektif kalau tidak berpolitik, maka berpolitik itu menjadi wajib pula hukumnya.”
Inilah yang menjadi dasar, mengapa sejak awal turunnya Islam, muslimin itu sudah berpolitik, ikut dalam kegiatan bernegara, bahkan mendirikan Negara, dan Rasulullah, SAW, Khulafaur Rasyidin serta para pemimpin Islam terdahulu telah membuktikanya. Bahwa Politik adalah salah satu sarana penting untuk melindungi umat dari berbagai hal yang tidak diinginkan. (*)
Wallahu A’lam Bi shawab.
Muhammad Zaidan, Mahasiswa yang berasal dari Malang, Semester 6 jurusan Manajemen Bisnis Syariah di Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI, Depok, Jawa Barat.