Oleh: Muhammad Nizhamuddin
Perbincangan mengenai kesetaraan merupakan topik yang terus menerus digaungkan di era postmodernis yang terkenal akan masyarakatnya yang egaliter. Hal ini lahir dari sebuah trauma manusia akan perbedaan kasta sosial yang mencolok, hingga puncaknya pada praktik perbudakan di masa lampau yang menodai martabat kemanusiaan. Fitrah manusia sebagai makhluk sosial tentu membuat mereka ingin keluar dari keadaan tersebut dari generasi hingga generasi terus melakukan upaya revolusi untuk menumpas kejomplangan kasta sosial yang ada, hingga puncaknya lahirlah egalitarianisme.
Egalitarianisme adalah sebuah aliran pemikiran dalam filsafat politik yang memprioritaskan kesetaraan sosial bagi semua orang. Pemikiran ini merupakan salah satu bibit yang memantik revolusi perancis yang merubah sistem negara dari kerajaan dibawah kuasa gereja, menjadi negara liberal-sekuler yang berasaskan kebebasan, kesetaraan, hingga persaudaraan. Dan revolusi tersebut menjadi kiblat dunia dalam berubahnya tatanan sosial dengan demokrasi sebagai sistem pemerintahan di banyak negara.
Namun, diskriminasi sosial yang lahir dari skat keberagaman belumlah sirna. Kebutuhan hidup dan persaingan menjadi kompetisi antar kelompok dan lapisan masyarakat merupakan penyebab utamanya. Ini dibuktikan dengan masifnya gerakan anti semitisme di Jerman, isu perbedaan warna kulit color line di Amerika. Di Afrika juga dikenal istilah politik apartheid, hingga di india yang terkenal akan sistem kastanya (brahmana, ksatria, waisa dan sudra).
Lalu, esensi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin tentu tak luput dari pembahasan ini. Dimana jauh sebelum meletusnya Revolusi Perancis tahun 1789, agama Islam telah berperan aktif dalam memperjuangkan kesetaraan sosial. Maka, dalam pembahasan kali ini, penulis ingin mengajak pembaca bersama-sama menyelam lebih dalam mengenai beberapa dogma equality yang terkandung dalam Al-qur’an.
Dua Permasalahan Kasta Sosial secara Global.
Pada umumnya, permasalahan diskriminasi sosial di berbagai belahan dunia tidaklah jauh dari dua bentuk global, yakni patronase dan Apartheid. Keduanya merupakan bentuk dari diskriminasi soisal dimana biasanya patronase banyak terjadi pada kasus kasta dan eksploitasi. Sedangkan apartheid merupakan istilah dari tindakan diskriminatif yang dilandasi atas perbedaan ras,suku, hingga warna kulit. Keduanya merupakan bentuk dari diskriminasi sosial dalam sejarah peradaban hingga era modern yang berguna sebagai studi kasus alqur’an dalam menanggapi isu permasalahan sosial.
Patronase
Patronase merupakan interaksi antar sesama manusia dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan keuntungan yang tidak seimbang. Pada dasarnya, manusia membutuhkan sesama dalam memenuhi kebutuhan mereka. Mereka saling melengkapi dalam simbiosis mutualisme untuk memenuhi kebutuhan.
Namun seiring berjalannya waktu, terjadi eksploitasi keuntungan dari salah satu fihak. Dalam kasus ini, penjajahan negri barat terhadap timur merupakan contoh. Patronase juga menonjol dalam kasus politik kekuasaan. Disini, penguasa sebagai patron, dan rakyat sebagai klien, dimana penguasa diasumsikan sebagai pihak yang selalu disegani,dihormati serta ditaati. Sedangkan rakyat identik dengan pihak yang selalu tunduk dengan tertindas.
Bukti sejarah dengan adanya negara dengan system monarki absolut, dimana tampuk kekuasaan terletak mutlak pada keturunan kerajaan, sedangkan rakyat eksternal tidak memiliki hak yang sama merupakan contoh puncak dari patronase di lingkup politik kekuasaan. Kelas kasta di India merupakan contoh dari paraktik patronase dalam lingkup sosial masyarakat.
Apartheid
Keberagaman ras dalam peradaban manusia merupakan sunnatullah yang Allah sebutkan dalam surah al-Hujurat ayat 13. Namun, dari keragaman tersebut menimbulkan potensi sebuah konflik atas ketidak samaan latar belakang suatu kelompok. Di era modern, diskriminasi rasial menjelma ke beberapa bentuk. Di Amerika, rasisme yang sistematis dan supremasi kulit putih sudah menjadi racun di AS sejak lama. Tak hanya terhadap penduduk berkulit hitam, sentimen anti-asia dari sebagian penduduk asli sana juga cukup masif. Sedangkan di Afrika, yang notabene penduduk asli kulit hitam, malah lebih parah. Apartheid disana berbentuk pemisahan tiga kasta antara penduduk asli dengan natif kulit hitam yang terendah, kemudian kelas kulit bewarna di atasnya, dan puncaknya orang kulit putih Eropa.
Kesetaraan Kelas Sosial dalam Surah Abasa.
Allah befirman dalam surah abasa ayat 1-10 :
- Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling.
- karena telah datang seorang buta kepadanya.
- Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa).
- atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
- Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup,
- maka kamu melayaninya.
- Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).
- Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),
- sedang ia takut kepada (Allah),
- maka kamu mengabaikannya.
Surah abasa berarti “yang bermuka masam”. Surah ini merupakan surah makkiyah. Dalam kitab Asbabun Nuzul karya Imam Jajaludin Assuyuthi, diriwayatkan dari Aisyah RA tentang kisah dibalik turunnya surah tersebut. Dikisahkan pada suatu hari, rumah Rasulullah kedatangan para pembesar Quraish. Dan yang paling tersohor adalah Amr bin Hisyam atau Abu Jahl.
Sebagaimana kita tahu, salah satu ciri dakwah Rasul adalah mengutamakan para pembesar kaum dalam menyeru Islam, untuk memperkokoh barisan internal dakwah. Dan diwaktu tersebut sangatlah tepat. Namun tiba-tiba, datanglah salah seorang sahabat yang bernama, Abdullah ibn Ummi Maktum. Dimana ia seorang mantan budak yang buta. Ia datang memotong pembicaraan Rasul, lalu meminta nasehat darinya. Namun, Rasulullah yang merasa di potong pembicaraannya, apalagi dihadapan para pembesar kaum merasa terganggu. Beliau pun bermuka masam dan berpaling dari nya, serta melanjutkan dakwahnya. Maka turulah surah Abasa sebagai peringatan dan sindiran kepada Rasulullah, yang tak seharusnya bermuka masam dan memalingkan wajah dari Ibn Ummi Aktum, hanya karena perbedaan kelas sosial. Dan dikemudian hari, Rasul pun memuliakan Ibn Umi Maktum dengan mengangkatnya sebagai utusan di Madinah bersama Mus’ab bin Umair. Ia juga diangkat menjadi muadzin kaum muslimin.
Dari kisah diatas, dapat kita ambil hikmah begitu besar, dimana Islam begitu memerangi perbedaan kelas sosial. Bahkan kisah diatas tidak ada sedikitpun unsur diskriminatif, hanya perbedaan pelayanan saja. Namun Allah SWT langsung memperingatkan Nabi Muhammad SA dengan sindiran halus dalam surah Abasa. Dalam Islam, tidaklah dikenal sistem kasta, kesetaraan derajat seluruh manusia merupakan kiniscayaan. Berbagai macam bentuk patronase Islam perangi dari hikmah yang dapat diambil dari ibrah ayat beserta asbabun nuzul surah Abasa.
Kesetaraan Rasial dalam Surah Al-Hujurat
Allah Swt berfirman dalam surah al-hujurat ayat 13: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Dalam tafsir al misbah karya Prof Quraish Shihab, sebab diturunkannya ayat diatas adalah kisah yang diriwayatkan dari Abu Dawud, suatu ketika Rasulullah SAW meminta kepada Bani Bayadhah untuk menikahkan salah satu putri mereka dengan seorang sahabat yang bernama Abu Hind. Sedangkan ia adalah mantan budak. Mereka pun enggan menikahkan salah satu putri mereka dengan Abu Hind.
Dikarenakan gengsi akan status sosialnya yang mantan budak, beserta ras nya yang dari luar arab, maka turunlah ayat ini, sebagai pesan cinta Allah kepada manusia, bahwa keragaman ras, suku, serta warna kulit merupakan kehendaknya. Maka janganlah manusia untuk membeda-bedakan diantara mereka berlandaskan hal tersebut. Serta tujuan dari heterogennya ras manusia ialah untuk saling mengenal, bukan saling menindas.
Lebih lanjut, dalam suatu khutbah, Nabi berbicara mengenai egalitarianisme universal, beliau bersabda : “Semua umat manusia adalah keturunan Adam dan Hawa. Orang Arab tidak memiliki keunggulan dibandingkan orang non-Arab dan orang non-Arab tidak memiliki keunggulan dibandingkan orang Arab. Orang kulit putih tidak memiliki keunggulan dibandingkan orang kulit hitam, atau orang kulit hitam tidak memiliki keunggulan. Superioritas atas orang kulit putih, kecuali dengan kesalehan dan tindakan yang baik.”
Kesimpulan
Setelah penguraian diatas, dapat kita simpulkan bahwa islam adalah agama yang visioner. Dimana skat perbedaan ras,suku dan kasta dibabat habis dengan menjadikan ketaqwaan sebagai barometer derajat Identitas Islam. Maka jauh sebelum kesadaran manusia modern akan equality, Islam jauh lebih dahulu berperan aktif dalam memerangi loyalitas ras, suku dan kasta yang berimplikasi pada sebuah penindasan. (*)
Islamabad, 9 september 2023.
Muhammad Nizhamuddin, Mahasiswa International Islamic University Islamabad (IIUI).