Site icon TAJDID.ID

Simalungun Masuk dalam Daftar Daerah Tertinggi Rawan ‘Politik Uang’, Shohibul: Saya Tidak Percaya Hasil Survei Bawaslu itu

Ilustrasi politik uang.

TAJDID.ID~Medan || Belum lama ini Badan Pengawasan Pemilihan Umum Republik Indonesia (Bawaslu RI) melalui akun media sosial (medsos) Facebook dan Instagram memosting 20 Kabupaten/Kota tertinggi rawan politik uang (money politic). Menariknya, Kabupaten Simalungun pun masuk dalam urutan ke 20 dan paling rawan di Sumatera Utara.

Terkait masuknya Simalungun dalam daftar daerah tertinggi rawan politik uang (money politic), Dosen FISIP UMSU Shohibul Anshor Siregar angkat bicara. Ia tidak begitu yakin data hasil survei Bawaslu tersebut.

“Saya tak begitu yakin data (Bawaslu-red) itu,” ujar Shohibul, Jum’at (1/9).

Pertama, kata Shohibul, di Indonesia saat ini instrumen survei bukan lagi metode ilmiah untuk mencari kebenaran objektif.

“Kekuatan politik dan oligarki telah membajaknya sejak lama dan mereka tetap menikmati kebobrokan itu hingga saat ini,” tegas Ketua Lembaga Hikmah Kebijakan Publik (LHKP) PW Muhammadiyah Sumut ini.

Kedua, kebobrokan pemilu di Indonesia saat ini dan sejak awal (khususnya pasca 1999) tak hanya dalam segi transaksi suara. Menurutnya, itu gejala hilir belaka, yang mencerminkan betapa bobroknya sistim yang dibangun termasuk produk sistem itu seperti KPU dan Bawaslu.

“Dalam pemahaman saya tak ada daerah di Indonesia yang tak menyukai kebobrokan bersama politik uang itu. Ekspresinya sajalah yang berbeda. Ada yang lebih terus terang dan ada yang lebih tertutup,” ungkap Shohibul.

“Politik uang itu tradisi besar Indonesia yang melanda di hulu dan dihilir, tak mungkin terjadi jika hampir semua unsur tak terlibat,” imbuhnya.

Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS) ini menegaskan, transaksi suara itu akan memunculkan anomali perolehan suara yang mestinya terlalu naif jika KPU dan Bawaslu tak faham gejala itu.

“Tetapi faktanya berlanjut terus. Ada DKPP dan ada Mahkamah Konstitusi. Keduanya pun lembaga lumpuh,” kata Shohibul.

Secara metodologis Shohibul menduga cara pengumpulan data dan penentuan samplenya yang keliru hingga surveinya tak dapat menjangkau dan menjelaskan fenomena kemerataan kedoyanan tradisi besar politik uang itu secara baik.

“Jadi saya tak yakin hasil survei itu. Itu tak bermanfaat sama sekali. Apalagi harus disadari bahwa semua sama-sama penyembah uang, Kini Indonesia sedang diterpa krisis kepercayaan yang luar biasa. Lembaga-lembaga demokrasinya rontok menjadi instrumen oligarki,” ujar Shohibul

Dalam konteks pemilu, lanjut Shohibul,  justru peran penyelenggaralah (KPU dan Bawaslu) yang paling dikhawatirkan menyumbang masalah besar.

Pertama, keduanya tidak pernah independen karena penentu orang yang bisa masuk ke situ adalah partai-partai besar dan seleksinya pun sangat buruk.

Shohibul mengatakan, saat verifikasi partai penyelenggara didikte untuk menentukan secara subjektif partai tertentu agar tak masuk sebagai kontestan.

“Jangan bilang itu kerja KPU belaka, karena sebagai pengawas Bawaslu juga tak menunjukkan tanggung jawab. Tetapi tak ada orang yang dibawa ke DKPP dan tak ada orang yang masuk penjara seperti Wahyu yang mestinya melibatkan yang lain sesuai doktrin kolektif dan kolegialitas dalam mekanisme kerja ketika dalam kasus Harun Masiku yang juga melibatkan partai itu,” ungkapnya,

Shohibul melihat, ada kecenderungan kesan dan kecurigaan kuat di tengah masyarakat, bahwa KPU dan Bawaslu itu adalah peluang kerja belaka bagi orang yang sengaja dipilih untuk mengamankan kekuasaan.

“Jadi kedua lembaga itu diisi oleh para job hunter dengan kadar integritas yang rendah. Tugas teknis KPU dan Bawaslu itu amat sederhana. Bahkan lulusan SMP dilatih sepekan sudah bisa mahir. Tak ada yang rumit dan butuh keahlian di situ. Karena masalah utama kepemiluan lebih pada integritas,” ujar Shohibul.

Terakhir, Shohibul menyampaikan simpati kepada Kabupaten Simalungun yang terlanjur dinyatakan sebagai daerah terbobrok dalam hasil survei itu.

“Semoga rakyat Indonesia sadar bahwa politik uang hanya satu elemen hilir dari hulu masalah kebobrokan parah demokrasi di Indonesia,” pungkasnya. (*)

Exit mobile version