Oleh: M. Risfan Sihaloho
Berani muncul melawan arus, mendobrak kepalsuan yang terlanjur serius.~Najwa Shihab
Adalah fakta yang tak terbantahkan, bahwa bangsa ini begitu akrab dengan hal-hal yang tidak orisinil alias palsu. Virus palsu nyaris menjangkiti hampir seluruh sisi dan lini kehidupan masyarakat kita. Bahkan kecenderungan ini sudah sedemikian sistemik dan masif. Kehidupan kolektif bangsa ini menggeliat dalam dinamika yang penuh kepalsuan.
Ya. Di negeri ini, tercatat sejumlah kasus kepalsuan pernah terkuak dan sempat menjadi isu publik yang menghebohkan, mulai dari kasus uang palsu, ijazah palsu, nabi palsu, pupuk palsu, KTP palsu, dan sebagainya.
Bukan hanya itu, sebenarnya masih banyak kasus lain dengan nama berbeda, tapi sebenarnya konotasinya sama dengan palsu, yang juga pernah terungkap dalam kehidupan masyarakat kita, seperti beras plastik, VCD/DVD bajakan, HP rekondisi, minyak dan miras oplosan, wartawan dan aparat gadungan, berita hoaks, pemimpin boneka dan sebagainya.
Seperti yang tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah palsu artinya tidak tulen, tidak sah, lancung, gadungan, curang, tidak jujur, sumbang. Dan bila ditelisik, ternyata istilah palsu bukan berasal dari akar bahasa nusantara, tetapi dari bahasa asing: Inggris (false), Belanda (valse), Perancis (faux).
Para sejarawan dan ahli bahasa menduga perkataan palsu masuk kenegeri ini melalui penjajahan belanda, dari valse diindonesiakan menjadi palsu. Padananya dalam bahasa Indonesia adalah lancung, tidak sah, tiruan, bohong, tidak berlaku, dan sebagainya. Pada umumnya mengidentifikasikan keburukan, cacat secara moral.
Situasi dan kondisi bangsa yang dipenuhi oleh kepalsuan ini tentunya sangat membuat kita prihatin. Lantas menyumbul pertanyaan, mengapa sesuatu yang palsu begitu digandrungi oleh bangsa ini? Apakah hal-hal tulen, otentik, orisinil dan genuine sudah menjadi sebegitu langka dan mahal, sehingga musykil untuk dimiliki dan masyarakat kita kurang mengapresiasinya?
Bila kita cermati, sebenarnya benih-benih kepalsuan diam-diam sudah melekat dalam tradisi budaya bangsa ini. Misalnya tradisi bahasa eufemistik dan basa-basi yang mendapat tempat tersendiri dalam kultur masyarakat bangsa kita. Anehnya, justru itu dianggap sebagai bagian dari kekhasan budaya orang Indonesia. Dan jika ada yang tidak mengindahkannya atau gemar berterusterang dalam berbahasa, maka itu dinilai tak punya etika dan sopan santun.
Di bidang sosial-ekonomi, karena pertimbangan kempuan finansial, harus diakui sebahagian dari masyarakat kita kemudian memutuskan lebih suka membeli dan mengkonsumsi barang-barang palsu. Dan sebenarnya, selama barang-barang palsu itu tak menimbulkan efek negatif, merugikan atau membahayakan jiwa konsumen, maka semua tenang-tenang saja, seperti tak ada masalah.
Di sini terlihat, betapa ternyata permisivisme masyarakat terhadap sesuatu palsu adalah wujud dari ketidakberdayaan mereka menyiasati tuntukan kehidupan sosial yang kian pragmatis. Akibatnya, dalam konteks tertentu sesuatu yang palsu kemudian lebih ditolerir, menjadi semacam opsi dan alternatif bagi masyarakat untuk mengekspresikan diri agar tetap bisa memenuhi tuntutan kehidupan sosial yang semakin hedonistik. Sepanjang dianggap bisa memenuhi standar tuntutan struktur sosial yang dipenuhi prestise, bagi sebagian masyarakat tidak manjadi persoalan menggunakan barang-barang palsu.
Khusus untuk barang-barang konsumsi, selama pemerintah tak mampu dan becus mengendalikan harga, sementara daya beli masyarakat masih rendah, maka dapat dipastikan kecenderungan membeli dan memakai barang-barang palsu akan tetap menjadi kegandrungan.
Sebenarnya kita bukan tidak mengetahui bahwa prilaku memproduksi dan mengkonsumsi barang palsu bukanlah sesuatu yang positif dan baik. Bahkan kita sangat paham hal itu berpotensi menimbulkan resiko–bahkan kadang sampai mengancam nyawa– dan kerugian bagi negara. Tapi ironisnya, sebagian besar dari kita seperti tak peduli, bangsa ini tetap menggandrungi kepalsuan.
Peran Negara
Lantas, dimanakah peran negara yang mestinya jadi pelindung utama rakyatnya dari teror kepalsuan ?
Di republik ini, aktivitas maupun kreativitas “memalsukan” suatu barang (goods) justru memberikan preseden buruk : menyeret masyarakat untuk nekad mengambil risiko sekali pun harus mempertaruhkan nyawa, dan menghasilkan kerugian bagi negeri ini. Kepalsuan yang melanda negeri ini makin sulit dipahami atas perannya untuk mengintervensi, mereduksi, dan memberantas kepalsuan yang ada.
Selama ini, negara justru seolah-olah membuka ruang hadirnya produksi kepalsuan di mana-mana. Dari waktu ke waktu masyarakat justru merasa nyaman dengan kepalsuan itu. Selain memberikan keuntungan bagi pihak yang tidak bertanggung jawab, murah bagi konsumen kebanyakan, dan warga masyarakat yang tidak mampu memiliki barang mahal akan terdongkrak status sosial ekonominya. Inilah cara dan modus masyarakat untuk menaikkan statusnya secara vertikal, ketika hampir semua struktur sosial mempertimbangkan gengsi dan status.
Tidak sedikit pula anak bangsa ini, khususnya anak muda, yang pernah terjebak pada merk-merk mahal yang menempel pada tas, kemeja, celana jeans, parfum, jam tangan, atau aksesories kecantikan (kosmetik). Terkadang karena telah terpengaruh trend mereka nekat untuk tetap mendapatkan barang-barang yang berkelas itu walaupun bukan yang originil alias palsu.
Pun hal yang sama kita pernah berbangga dengan rambut palsu, gigi palsu, hidung palsu, dan wajah palsu sekadar mengingatkan memori kolektif tentang kepalsuan yang menjadi determinasi fenomena “simulakra”.
Dalam simulakra, kita tak lagi bisa membedakan, mana asli, palsu, real (fakta), dan semu. Kita dikepung dengan “reproduksi objek dan/atau peristiwa” (Kellner, 1989). Kita lalu membangun kebiasaan (habitus) pada struktur mental dan kognitif yang digunakan untuk menghadapi kehidupan sosial serba saling mempertontonkan simbol dan status ekonomi.
Apa yang kita lakukan dengan fenomena kepalsuan semata-mata sebagai rangkaian skemata atau pola yang diinternalisasikan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial di mana kita hidup dan saling berinteraksi. Kita lalu membentuk apa yang diistilahkan Pierre F. Bourdieu sebagai “habitus”, yang memproduksi internalisasi struktur dunia sosial, yang kemudian digerakkan melalui tindakan-tindakan dalam dunia sosial itu sendiri.
Menurut Baudrillard, kepalsuan kemudian bermain-main dan menjadi doxa. Membangun “seolah-olah” dunia nyata itu sendiri yang ternyata bisa dimanipulasi. Sebuah hiperealitas, mengatasi realitas nyata, sebuah simulasi atas produksi artifisial kenyataan, yang pada akhirnya menciptakan realitasnya sendiri. Dunia kepalsuan lalu mengental, menghampiri sesuatu yang asli. Sementara dunia nyata yang asli lalu menjauh karena dikonstruksi secara mahal, langka, dan hanya kalangan tertentu yang dapat memiliki dan menikmatinya. Keaslian kemudian berubah sebagai patafisika (pataphysics), sebuah kekuatan citra dalam membentuk dan mendefinisikan realitas.
Bukan cuma itu, kepalsuan juga diimprovisasi dalam dunia politik melalui apa yang disebut Lewis A. Coser (1977) sebagai endowed (membantu dengan pemberian). Sewaktu kita memilih wakil-wakil rakyat atau pemimpin, semestinya dapat menghasilkan aktor-aktor konkrit, aktor-aktor dengan otentisitas teruji. Namun dalam perjalanan waktu, aktor-aktor itu berubah menjadi tidak konkrit, palsu. Mereka tidak cukup cakap menjadi elit dan aktor sesungguhnya sebagaimana diharapkan.
Mereka hadir sebagai aktor dan elit karena didongkrak dengan pemberian-pemberian (endowed) berdasarkan : satu daerah, satu keluarga, dan kepentingan yang sama. Atau boleh jadi karena didukung kemampuan bermain “manipulasi”, maka jadilah dia “seolah-olah” sebagai aktor, padahal hanyalah aktor semu belaka.
Pemimpin atau penguasa palsu potensial juga akan gemar membuat kebijakan palsu. Pemimpin palsu adalah pemimpin yang gemar melakukan pencitraan, tidak sesuan ucapan dan tindakan, kaya janji dan miskin bukti.
Dengan demikian, tak salah lagi bangsa ini memerlukan aktor-aktor dengan kemampuan memikul tanggung jawab mengurus hajat hidup publik, serta memiliki kekuatan hati menggerakkan kehidupan yang lebih baik. Kulminasi krisis aktor konkrit dan otentik yang selama ini kita dukung, pilih, bentuk, harus ditekan agar tidak menjadi beban bagi perjalanan sejarah masa depan martabat kemanusiaan yang tengah dirundung oleh nestapa kepalsuan. (*)