Site icon TAJDID.ID

Muhammad Abduh, Tokoh Pembaruan Islam dari Mesir

Muhammad Abduh

Nama lengkapnya Muhammad Abduh ibn Hasan Khayr. Ia merupakan salah satu figur penting Islam pada abad ke-20. Di tempat asalnya, Mesir ia dikenal sebagai ilmuwan besar dan seorang pembaharu dalam dunia Islam. Selama masa hidupnya ia menggiatkan modernisme Islam dengan cara menyintesiskan ajaran Islam dengan pemikiran modern.

Abduh  lahir pada tahun 1266 H/1849 M di sebuah distrik Sibsyir kota Mahalah Nasr, provinsi Al-Bahirah, Mesir. Lahir dari seorang ibu  bernama Junaidah Uthman yang nasabnya sampai kepada Khalifah Umar bin Khathab. Sedangkan ayahnya bernama Abduh bin Hasan Khairullah adalah seorang petani dan mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa Turki.

Muhammad Abduh hidup dalam lingkungan pedesaan yang hijau, karena ayahnya adalah seorang petani. Berbeda dengan saudara-saudaranya, Muhammad Abduh disuruh orang tuanya untuk fokus menuntut ilmu daripada membantu orang tuanya bertani. Perjalanannya menuntut ilmu diawali dengan belajar berbagai  disiplin keilmuan mulai dari fikih, Al-Qur’an dan lainnya di masjid Al-Ahmadi yang berada di Thanta.

Ketika kembali ke rumah setelah dua tahun belajar, Muhammad Abduh langsung dinikahkan. Namun setelah menikah, ayah Muhammad Abduh ingin anaknya kembali menuntut ilmu, namun Muhammad Abduh menolak dan melarikan diri ke Syibril Khit tempat pamannya. Setelah bertemu dengan pamannya yang bernama Syekh Darwisy Khidr, Abduh berubah pikiran yang tadinya tidak mau melanjutkan menuntut ilmu kembali mau melanjutkannya.

Tahun 1866 M, Muhammad Abduh kembali ke masjid pertama kali ia belajar dan setelah itu melanjutkan ke Univeristas Al Azhar. Di Al Azharlah Muhammad Abduh kemudian mengenal banyak orang-orang hebat, seperti Syekh Hasan at-Thawi yang mengajarkan tentang filsafat Ibnu Sina, Aristoteles dan lainnya, padahal pelajaran tersebut tidak diajarkan di Al Azhar waktu itu. Juga ada Muhammad Al-Basyuni, seorang ilmuan yang banyak memberikan perhatian terhadap bahasa dan sastra. Tahun 1871 M adalah tahun penting dalam kehidupannya, karena pada tahun ini beliau bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani, yang kemudian mengajarkannya berbagai ilmu seperti filsafat dan kalam serta mempengaruhi corak pemikiran Muhammad Abduh sebagai tokoh pembaharuan.

Kondisi umat Islam di masa kehidupan Muhammad Abduh yaitu akhir abad 18 dan awal abad 19 M adalah bagian dari rentetan kemunduran umat Islam. Pada masa inilah umat Islam mengalami kemandekan pemikiran, dan situasinya berbanding terbalik dengan bangsa eropa yang maju karena tersentuh oleh renaissance.

Pada masa itu, Mesir terbagi menjadi dua kelompok. Pertama adalah mereka yang berpikiran konservatif yang terwakili oleh para pembesar ulama Al Azhar. Yang sangat menolak segala bentuk perubahan. Pandangan mereka hanya mengacu pada kejayaan Islam masa klasik, yang acuannya selalu berbalik ke sebuah zaman klasik. Dengan menilai masa itu, dengan semangat kultuisme atau fanatik tanpa boleh disentuh oleh pembaharuan-pembaharuan.

Kedua adalah kelompok pembaharu atau kelompok terpelajar dari Barat yang mulai mengenal seperangkat metode modern. Mereka meyakini bahwa melihat sejarah keemasan Islam dengan semangat pengkultusan adalah usaha bodoh yang hanya memasung kebebasan berpikir. Dalam pandangan kelompok kedua ini, cara pandang kelompok pertama mustahil akan mencapai kemajuan.

Kondisi keterpilahan umat Islam pada masa ini secara cerdas hendak didamaikan oleh Muhammad Abduh. Ia menempatkan diri layaknya tali penyambung antara dua kubu yang berbeda sudut pandang itu. Sedikit demi sedikit, ia membuka kayu pemasung yang mengkungkung pemikiran kaum konservatif dan di waktu yang sama, ia pun tetap tidak mau bertindak gegabah agar kemajuan Islam tak secara absolut meniru kemajuan Barat.

Mulai dari sini, langkah pembaharuan Muhammad Abduh dimulai. Beliau tidak hanya merombak hal-hal pragmatis, namun lebih dalam lagi, cara keberagamaan (fiqh) dan keyakinan (tauhid) mendapatkan suntikan pemikiran-pemikirannya. Ide pembaharuan ini tak hanya terjadi di Mesir saja yang diwakili oleh Muhammad Abduh.

Di Saudi misalnya, ide pembaharuan mulai digalakkan oleh seorang pengikut Ibnu Taimiyah, Muhammad ibn Abdul Wahab (1703-1787 M) yang merupakan cikal bakal tumbuh kembangnya paham Wahabi. Namun bedanya, pembaharuan yang dibawa Muhammad ibn Abdul Wahab berkutat pada pembersihan dan pemurnian ajaran-ajaran Islam dari khurafat dan bid’ah, serta sikap skeptisismenya dalam menerima kemajuan bangsa Eropa.

Sedangkan Muhammad Abduh lebih jauh dari itu, karena tantangan di Mesir adalah bagaimana umat Islam bisa bersatu mengusir kolonialisme Inggris bersama-sama dari tanah air mereka. Dan membangkitkan spirit kemajuan dengan prinsip mengambil apa yang patut dari Barat, dan menampik apa yang tidak selaras dengan konsep Islam.

Muhammad Abduh melancarkan pemikiran-pemikiran pembaharuannya sudah sejak dibangku kuliah, yaitu melalui artikel-artikel pembaharuannya di surat kabar Al-Ahram, Kairo. Melalui media inilah, gema tulisan tersebut sampai ke telinga para pengajar Al-Azhar dan menimbulkan berbagai kontroversi.

Setelah menyelesaikan studinya pada 1877, Abduh menjadi guru di al-Azhar dan Dar al-Ulum (tempat belajar) baru. Di sekolah-sekolah tersebut Abduh mengajar filsafat, sejarah, dan sosiologi.

Pada 1880 ia diminta untuk mengedit Al-Waqai al-Misriyah (Peristiwa Mesir), lembaran resmi. Di bawah kepemimpinannya, Al-Waqai al-Misriyah menjadi model untuk standar baru prosa yang modern dan lugas serta media untuk opini liberal.

Kehidupan Abduh tidak dapat dikatakan tenang tanpa permasalahan. Ketika pemberontakan Kolonel Urabi terjadi pada tahun 1882, Abduh terlibat dan diasingkan.

Muhammad Abduh

Ia lalu tinggal di Beirut dan kemudian pergi ke Paris, di mana Jamaluddin telah menetap di sana terlebih dahulu. Bersama-sama mereka mengedit jurnal yang  cukup berpengaruh, Al-Urwa al-Wuthqa (The Strongest Bond). Jurnal itu menyerukan pembaharuan Islam dan mengecam kolonialisme di dunia muslim.

Tidak seperti mentornya, Jamaluddin al-Afghani, Abduh mencoba memisahkan politik dari reformasi agama. Abduh menganjurkan reformasi Islam dengan membawanya kembali ke keadaannya yang murni dan menyingkirkan apa yang dilihatnya sebagai dekadensi dan perpecahan kontemporer. Pandangannya ditentang oleh tatanan politik dan agama yang telah mapan, tetapi kemudian dianut oleh nasionalisme Arab setelah Perang Dunia I.

Abduh menghabiskan tahun 1884 dan 1885 untuk melakukan pengembaraan sebelum akhirnya menetap di Beirut. Di kota itu ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengajar.

Pada tahun 1888, Abduh kembali ke tanah kelahirannya Mesir, di mana ia telah menjadi tokoh yang dikenal. Di Mesir ia bekerja sebagai hakim di pengadilan tradisional, ia mengawali pekerjaannya di provinsi dan kemudian pada tahun 1890 di Kairo. Selain aktif di pengadilan, ia juga menjadi juru bicara bagi orang-orang Mesir yang kala itu berada di bawah Pemerintahan Kolonial Inggris.

Pokok-pokok gagasan pembaharuan Muhammad Abduh, bisa dilacak dalam karya-karyanya seperti Risalah Al-Waridat, Hasyiyah Ala Syarh Al-Dawwani Lil Aqaid Al-Adhudiyah, Nahj Balaghah, Risalah Tauhid, Tafsir Al-Manar, Al-Islam Baina al-Ilm wa al-Madaniyah. Muhammad Abduh meninggal pada 11 Juli 1905 M. Sebelum meninggal, Muhammad Abduh mencetuskan konsep kampus Mesir, dan baru terealisasi berdiri ketika beliau sudah meninggal. Gagasan konsep kampus Mesir tersebut kemudian berdiri menjadi Universitas Kairo. (*)

Artikel ini disarikan dari pelbagai sumber.

Exit mobile version